Berebut Tahta Pundi Intan
Penulis : Achmad Syarif
Prabu Dinar Agung Turun Tahta
Ratu Tantri yang bernama lengkap “Ratu Tantri Tunggal Putri Jauh Dimata
Dekat Dihati Penguasa Nagari” naik tahta karena Prabu Dinar Agung yang hanya
memiliki putri tunggal mengundurkan diri.
Undang-undang yang dibuat dinegeri itu, bilamana raja hanya memiliki
satu putri, maka dia sah diangkat menjadi ratu. Aturan itu dibuat dadakan. Draf
aturannya pun dibuat hanya dalam waktu satu malam. Hanya beberapa ayat yang
dirubah oleh patih kerajaan atas perintah raja. Khawatir akan ada kudeta oleh
kelompok tertentu yang suatu saat bisa jadi melawannya. Begitu kira-kira latar
belakang perubahan pengangkatan Ratu Tantri menjadi orang nomor wahid di
Kerajaan Kati'isan, nama kerajaan Pundi Intan dulu.
Prabu Dinar Agung mengambil keputusan pensiun dini setelah mendengar
penjelasan penyakit HIV/AIDS akut yang dimilikinya dari Kepala Dokter Kerajaan
atau disingkat Kedoja. Ini adalah penyakit langka di kerajaan itu.
”Mohon ampun Baginda, hasil diagnosa tim kedokteran kerajaan baginda
menderita penyakit HIV/AIDS. Sangat disarankan baginda untuk tidak memiliki
anak karena khawatir akan juga mengidap penyakit serupa.” Begitu kira-kira
ketika Kepala Dokter Kerajaan menjelaskan hasil pemeriksaan.
“Apa???? Darimana aku bisa tertular? Mungkin kamu salah diagnosa
dokter!”
Prabu Dinar Agung berkata antara marah dan putus asa. Mahkota yang
dipakainya sampe miring. Raja bertubuh gendut ini sangat kaget dengan yang
dikatakan dokter yang baru beberapa bulan diangkatnya menjadi Kepala Dokter
Kerajaan itu.
Sebelumnya, Empu Centong bukan dokter, karena tak pernah kuliah
kedokteran. Tapi Empu Centong pernah sekolah perawat milik kerajaan. Lulus
sekolah dia mulai jadi mantra keliling.
Lama-lama namanya mulai dikenal sebagai mantri yang pintar mengobati
penyakit. Saking banyak pasien yang datang ke rumah, Empu Centong mulai buka
praktek dirumah. Pasieun yang sekarang antri dirumahnya.
Kabar keahlian Mantri Centong mengobati penyakit tersebar ke seantero
kerajaan. Koran-koran dan televisi kerajaan sering membuat berita tentang
mantri canggih ini. “Tangan Ajaib” begitu beberapa koran menulis besar-besar
judul beritanya.
Kabar ini pun sampe ke istana. Raja pun mengangkat Mantri Centong
menjadi dokter. Gelar dokter dilakukan dengan pengucapan sumpah dihadapan para
pembesar kerajaan. Beberapa bulan setelah diberi gelar dokter, Empu Centong
kemudian naik jabatan menjadi Kepala Dokter Kerajaan. Pria bertubuh kerempeng
dan berkacamata tebal ini memang beruntung.
“Ampun baginda, hamba tidak
berbohong. Tes darah yang dilakukan menyatakan baginda positif…”
“Positif hamil maksudmu?”
“Positif HIV baginda.”
“Kamu yakin? Kalau sampai diagnosamu salah, kamu bisa dipancung karena
menipu raja!” bentak Prabu Dinar Agung.
“Benar baginda, hamba yakin. Ini data-datanya…”
Dokter Empu Centong menyodorkan map warna merah.
Disampul map itu ada logo ular membelit suntikan.
“Kenapa gambar logo ini ular membelit suntikan dokter?”
“Itu simbol bahwa …”
Belum selesai Empu Centong menjawab Prabu Dinar Agung sudah membentak.
“Saya tidak suka logo ini. Mulai hari ini ganti gambar logo Pemangku
Kesehatan Kerajaan dengan gambar gadis cantik tersenyum!"
“Mohon maaf baginda. Koq menurut hamba kurang pas. Itu artiya apa
baginda?”
“Itu artinya rakyat senyum senang karena sehat. Bagus kan?”
“Sangat bagus baginda. Hamba sangat bangga dengan kecerdasan
baginda.”
Dokter Empu Centong memuji rajanya, padahal dalam hati dokter ini. Dia
sangat tidak setuju dengan perintah rajanya yang konyol. Tapi mau bilang
apa, menolak berarti jabatan Kepala Dokter Kerajaan akan lepas.
Jabatan Kepala Dokter Kerajaan adalah posisi yang sangat bagus. Istrinya yang dulu cuma satu, sekarang sudah nambah jadi selusin. Semua kawin resmi dan dicatat di Kantor Resmi Kerajaan. Belum lagi wanita-wanita simpanannya. Semua bisa aman sejak dia jadi Kepala Dokter Kerajaan.
Jabatan Kepala Dokter Kerajaan adalah posisi yang sangat bagus. Istrinya yang dulu cuma satu, sekarang sudah nambah jadi selusin. Semua kawin resmi dan dicatat di Kantor Resmi Kerajaan. Belum lagi wanita-wanita simpanannya. Semua bisa aman sejak dia jadi Kepala Dokter Kerajaan.
“Penyakitku ini apa bisa disembuhkan dokter?”
“Mohon ampun baginda. Sampai saat ini belum ada obatnya.”
“Apa tidak bisa dengan ramuan kumis kucing dokter?”
“Ampun baginda. Itu mah obat untuk kencing manis baginda..”
“Jangan ajari aku dokter bodoh. Aku juga tau..”
“Ampun baginda…ampun hamba lancang…ampun..”
Dokter Empu Centong gemetar ketakutan.
“Masa sih gak ada obatnya?”
“Sungguh belum ada baginda.”
“Lalu aku akan cepat mati dokter?”
“Mungkin bisa seperti itu. Tapi saya gak berharap seperti itu baginda”
“Kenapa aku bisa kena penyakit aneh ini dokter?”
“Ampun baginda. Mungkin baginda pernah berhubungan badan dengan wanita
yang menderita penyakit HIV/AIDS baginda..ampun baginda.”
“Jangan asal ngomong kamu dokter ! Aku tidak pernah berhubungan dengan
wanita seperti itu..”
“Apa maksud baginda, baginda pernah berhubungan dengan pria?”
“Guuuuuuobloooog!!!! Belum pernah!!!!! Aku normal!!!!”
“Lalu dengan siapa baginda pernah berhubungan badan selain dengan Gusti
Permaisuri?”
“Aku ini kan raja. Banyak wanita yang pernah ku cicipi. Tentu aku lupa
lagi. Ratusan perempuan mungkin yang sudah pernah ku tiduri. Apa perlu mereka
semua didata dan diperiksa?”
“Untuk apa baginda?”
“Untuk dipancung di alun-alun!”
“Tapi kan nanti akan tersebar kabar ini ke rakyat baginda, baginda akan
malu kalau rakyat tau..ampun baginda.”
“Lalu kesimpulanmu bagaimana?”
“Baginda jangan lagi berhubungan badan lagi dengan perempuan. Perempuan
yang baginda tiduri bisa juga tertular. Dan bila punya anak pun anaknya
kemungkinan besar juga akan tertular.”
“Lah terus…?
“Bisa saja baginda pake pengaman..”
“Dijaga pengawal maksudmu?”
“Ampun bukan itu baginda. Pake pengaman itu maksud saya pake kondom.”
“Oh..kondom ya..?”
“Benar baginda, kondom. Karena anunya baginda tidak akan bersentuhan
langsung dengan anunya perempuan yang baginda anui.”
“Anu apanya?”
“Iya anunya baginda.”
Dokter Empu Centong berkata sambil menunjuk selengkangannya sendiri
dengan jempol tangan.
Prabu Dinar Agung termangu. Dia masih berpikir keras kira-kira perempuan
mana yang telah menularinya penyakit aneh itu.
”Ku pancung kepalanya kalo aku tau.”
Gumamnya dalam hati. Dokter Empu Centong hanya bisa menunduk.
Dia tau majikannya itu sedang berpikir keras.
“Terus masalah kondom tadi, dimana aku bisa dapat agar aku bisa
berhubungan lagi dengan perempuan seperti biasa? Bisa botak aku kalau gak boleh
begituan dokter.”
“Di negara tetangga juga banyak baginda. Bahkan di negara tetangga
penggunaan kondom juga dianjurkan oleh kerajaannya. Saya pernah berkunjung
kesana dan banyak poster-poster yang menawarkan kondom baginda…ampun.”
“Kalo di kerajaan tetangga dianjurkan kenapa dikerajaan ini tidak kau
lakukan dokter?”
“Ampun baginda. Hamba khawatir baginda akan murka bila saya meniru yang
dilakukan dokter dari kerajaan tetangga.”
“Kepaaaraaaat. Berarti aku kena penyakit aneh ini bukan karena salahku.
Ini semua salahmu. Kamu tidak pernah menyebarkan informasi tentang kondom di
kerajaan ini. Kamu bersalah!”
Prabu Dinar Agung sambil berdiri menunjuk ke dokter Empu Centong yang mulai
ngompol.
“Ampuni saya baginda. Saya terima salah baginda. Ampuuuuuun
baginda….”
Dokter ini berkata sambil menangis. Tangannya menyembah ke junjungannya
yang terlihat murka itu.
Prabu Dinar Agung berteriak dengan murka.
“Prajurit !!! bawa dokter ini ke penjara bawah tanah. Pecat dia dari
jabatan kepala dokter kerajaan. Potong kemaluannya jangan tersisa. Bawa
cepat!!!”
Dua prajurit yang sedari tadi berdiri tegak langsung setengah berlari
menghampiri dokter Empu Centong yang masih menangis bersimpuh. Lututnya lemas
mendengar hukuman yang akan diberikan. Dua prajurit yang berbadan besar seperti
Mike Tyson langsung menggusur paksa dokter berbadan kerempeng ini yang terus
menangis. ****
Pagi itu Prabu Dinar Agung bangun lebih awal dari biasanya. Semalaman
hampir dia tak bisa tidur. Sampe ayam berkokok dia hanya memainkan HP android
type terkini. Berbagai situs kesehatan dibuka dibolak balik. Kata AIDS dan HIV
diketiknya melalui google
berulang-ulang.
Hampir semua situs kesehatan dimasa itu menyatakan AIDS yang belum ada obatnya. “Mungkin aku akan
segera mati. Padahal aku masih betah di dunia ini.” Pikiran ini terus
mengganggunya sampai ayam jantan berkokok.
Prabu Dinar Agung keluar dari bilik langsung duduk di ruang tengah
istana. Penjaga di depan pintu yang sudah terkantuk-kantuk karena dari semalam
berjaga langsung berdiri dalam posisi tegap berdiri. Senjata laras panjang AT
57, senjata yang diimpor dari kerajaan tetangga cepat disandangnya. Posisi siap
menunggu perintah dari raja.
Prajurit penjaga pintu melirik ke tengah ruangan. Raja sedang membakar
rokok putihnya. Prajurit tadi berbisik pada prajurit lainnya yang ada di
sampingnya.
”Dul, cepat SMS asisten rumah tangga! Bilangin raja sudah bangun. Cepat
siapkan sarapan.”
Temannya yang disuruh pun langsung merogoh HP disaku celananya.
“Rj sdh bngn.cpt bikin srapan. Pisang grg dan kopi. Kopinya tambah 2.
Sy n Cungkring lom ngopi jg. Ok”
Begitu bunyi SMS prajurit penjaga pintu ini ke asisten rumah tangga
yang biasanya sudah stand by di dapur sejak subuh.
“Tring-tring” ada nada pesan terkirim.
“Tring-tring” sekali lagi HP berbunyi. “OK” balasan SMS dari asisten
rumah tangga.
Andini nama staf bagian dapur istana itu pun keluar dari dapur membawa
baki. Diatas baki itu ada sepiring pisang goreng dan 3 gelas kopi. Pisang
goreng dan 1 gelas kopi ditaruhnya di meja yang ada dihadapan Prabu Dinar
Agung. Sementara raja hanya melirik sebentar ke pembantu yang montok ini. Usai
menyuguhkan kopi dan pisang goreng, Andini melangkah meninggalkan junjungannya
itu.
“Tunggu Andini! Sini kamu!”
Andini pun berbalik menghampiri raja. Dia bersimpuh di hadapan Prabu
Dinar Agung yang duduk di kursi ukiran jati. Nampan berisi 2 gelas kopi
diletakkan Andini disampingnya.
Prabu Dinar Agung menatap ke Andini yang hanya menunduk didepannya.
Sangat dilarang seorang abdi memandang wajah raja. Itu sudah aturan baku di
kerajaan itu.
“Kamu tau penyakit HIV AIDS?”
“Ampun baginda, hamba tidak tau.” Jawab asisten rumah tangga yang sudah
sejak perawan mengabdi di istana itu menggantikan ibunya.
“Apa kamu sering sakit-sakitan Andini?”
“Ampun baginda. Kalau sering sih tidak, tapi kalau sekedar pilek dan
masuk angin kadang-kadang saya juga ngalami.” Jawab Andini.
“Jadi kamu sehat-sehat saja?”
“Sehat baginda” jawab Andini.
Dalam hati Andini bingung dengan pertanyaan junjungannya itu. Tumben
raja menanyakan tentang kesehatannya.
“Terakhir kamu kupanggil untuk mijit aku kapan Andini?”
“ Ampun baginda, malem jum’at dua minggu yang lalu baginda. Waktu
baginda sering nonton Piala Euro.” Jawab Andini.
“Waktu aku meniduri kamu itu?” kata Prabu Dinar Agung setengah
berbisik. Sepertinya dia takut terdengar oleh penjaga.
“Ampun baginda, waktu habis mijit kan baginda mau gituin saya. Tapi
saya kan pas datang bulan. Jadi kan baginda urung mau gituin saya. Kalo saya
enggak lagi datang bulan kan pasti saya siap digituin sama baginda, sebagai
bagian dari service abdi kepada raja,” kata Andini sambil gemeteran.
Andini takut karena kejadian dua minggu sebelumnya, maka raja
menanyakan tentang kesehatannya.
“Apa karena aku gak jadi dianu ya, raja jadi marah. Ya kalo lagi merah
mau dihajar juga ya gak apa-apa. Tapi kan raja yang bergidik dan mengurungkan
niat. Padahal raja sudah siap menembakkan rudalnya.” Gumam Andini dalam hati.
“Jadi kamu gak penyakitan ya? Gak menularkan penyakit ke aku?” Tanya
Prabu Dinar Agung dengan nada keras.
“Ampun baginda. Hamba sehat. Apa baginda mau saya pijitin sekarang,
mumpung hamba sedang lampu hijau…”
“Tidak. Aku sedang bad mood. Pergi sana!”
Andini bangkit dan berdiri meninggalkan raja. Dia melangkah menuju
ruang depan mengantarkan 2 gelas kopi kearah dua prajurit yang sudah dari tadi
nunggu kopi diantarkan.
“Ada apa itu tadi kamu ditanyai sama baginda?”
“Baginda mau ngajak pijitan nanti malem..” jawab Andini.
“Wah, dapat hadiah lagi dong kamu dari raja, bagi-bagi aku dan si Dul
ya..” kata prajurit penjaga yang badannya tinggi kurus.
“Iya tenang. Nanti aku belikan sebungkus rokok sampeyan.”
Andini sambil beranjak meninggalkan penjaga.
Dalam aturan yang berlaku di kerajaan Pundi Intan, seorang raja boleh
menggauli siapapun rakyatnya. Digauli oleh raja merupakan sebuah kehormatan dan
keberuntungan. Demikian kira-kira peraturan yang berlaku dinegeri itu.
“Dul..! Sini kamu!
Raja berteriak memanggil salah satu dari penjaga pintu.
Yang dipanggil berlari menghampiri Prabu Dinar Agung.
“Siap baginda. Ada perintah?” kata Si Dul dalam posisi berdiri siaga.
“Kamu sekarang pergi ke padepokan Resi Samantha. Suruh Resi Samantha
menghadap cepat. Katakan ada hal penting.”
“Baik baginda..”
“Biar cepet, minta ke supir ngantar kamu pake mobil TMW!”
“Siap laksanakan bagianda..”
Penjaga itu langsung bergegas pergi.
Prabu Dinar Agung kemudian meraih remote TV yang ada didepannya. Dia
ingin menonton berita dari TV.
***
Resi Samantha
Resi Samantha
Siang itu mobil TMW yang dikendarai prajurit
jaga bernama Dul sudah sampai ke gerbang padepokan Candradimuka, milik Resi
Samantha. Dua orang cantrik yang menjaga gerbang tergopoh-gopoh membukakan
pintu. Plat nomor mobil itu sangat mereka kenali. Angka 1 dan Lambang trisula
adalah nomor khusus petinggi kerajaan.
“Tuan Resi ada?” tanya Dul ke cantrik.
“Ada, sedang mengajar murid senior.” Jawab
cantrik sambil membukakan pintu.
Mobil TMW warna silver itu masuk ke dalam
pekarangan padepokan dan memarkir kendaraan. Pagi itu suasana padepokan sangat
sepi, karena kegiatan belajar murid sedang berlangsung. Padepokan Candradimuka
sangat luas. Ada puluhan bangunan disana.
Bangunan utama adalah 10 ruang kelas yang
berjajar disebelah timur, tepat dibukit yang masih ada didalam lingkungan
padepokan. Sedangkan di sampingnya, bangunan puluhan rumah-rumah kecil berjejer
rapih sebagai tempat tinggal para murid.
Sebuah rumah besar adalah tempat tinggal Resi
Samantha. Disampingnya juga ada beberapa rumah tempat tinggal para pengajar.
Tepat ditengah-tengah lingkungan padepokan ada lapangan besar untuk tempat
berlatih kanuragan para murid.
Cantrik yang tadi membuka pintu gerbang
mengantar prajurit kerajaan tadi ke beranda rumah Resi.
”Silahkan tunggu disini saja. Sebentar lagi
tuan resi selesai mengajar.” kata Cantrik.
“Apa disini boleh merokok?” tanya prajurit
kepada cantrik.
“Boleh…silahkan!” jawab cantrik sambil pamit
kembali ke gerbang.
Tak lama kemudian, dari arah timur Resi
Samantha datang. Prajurit yang tadi duduk di kursi beranda langsung berdiri
menghormat pada Resi yang sangat disegani itu.
Resi Samantha umurnya sekitar 60 tahun. Dia
adalah resi senior yang paling berpengaruh di kerajaan Pundi Intan.
Murid-muridnya tersebar diseantero kerajaan, bahkan dikerajaan tetangga.
Resi senior ini adalah putra dari Resi Matigeni
yang sudah turun menurun mengelola padepokan Candradimuka. Bertahun-tahun Resi
Matigeni menggembleng putranya itu dengan berbagai pengetahuan. Berbagai
kitab-kitab kuno pun habis dilalap oleh Resi Samantha sejak masih belia.
Setelah dianggap mempuni, Resi Matigeni
mengirim Samantha muda berguru ke negeri Tibet. Ada seorang guru dinegeri itu
yang terkenal dengan ilmu kebijakannya. Nama guru itu adalah Bhiksu Kampala.
Bertahun-tahun Samantha menimba ilmu dari Bhiksu Kampala sampai kemudiaan
dinyatakan lulus dengan predikat terbaik.
“Ada apa prajurit?” tanya Resi Samantha kepada
Dul.
“Ampun tuan resi. Baginda meminta tuan untuk
datang ke istana. Ada hal penting kata Baginda.” Kata Dul.
“Baiklah. Pergilah kau duluan.”
“Apa tuan resi akan pergi ke istana dengan
kesaktian tuan?” tanya prajurit.
“Kesaktian apa prajurit. Aku kesana mau naik
motor matic saja.” kata Resi.
“Oh. Saya kira tuan akan pakai kesaktian
seperti film di TV. Menghilang, tau-tau sudah ada di istana.” Kata prajurit.
“Ah….gak begitu…”kata Resi sambil masuk untuk
ganti pakaian.
Prajurit yang ditugaskan menyusul ini
ditinggalkan. Dul tau bahwa dia sudah selesai melaksanakan tugas.
***
Penyakit Raja
Resi Samantha menghadap kepada Raja Dinar Agung. Dia sudah tau bahwa
ada hal penting yang ingin disampaikan
sang Raja.
“Ampun Adinda Raja, hamba memenuhi panggilanmu. Ada apa gerangan
sehingga adinda Raja yang agung memanggil hamba yang hina dina ini?”
“Wahai tuan resi nan bijak. Ada masalah penting yang ingin kutanyakan
padamu. Kebijakanmu, tingginya pengetahuanmu mungkin bisa menerangkan hatiku
yang sedang gelap ini.” Kata Raja Dinar Agung dengan sedikit tersendat.
Resi Samantha berkata.
“Katakan apa itu adinda Raja. Keterbatasan pengetahuanku mungkin bisa
menjadi pengobat masalah adinda Raja.”
Raja Dinar Agung menghela nafas panjang. Kemudian dia berucap sambil
menunduk malu.
“Tuan Resi tau penyakit HIV/AIDS?”
“Dengan keterbatasan pengetahuan hamba tau adinda Raja. Itu penyakit
langka yang susah dicari obatnya. Bisa menular karena berhubungan badan dengan
orang yang sudah terkena. Kenapa adinda Raja menanyakan itu?”
“Aku kena penyakit itu tuan resi!”
“Oh. Hamba ikut prihatin adinda Raja…”
Raja Dinar Agung pun tak kuat menahan tangis. Resi Samantha berdiri
dari duduknya. Dipegangnya pundak raja.
“Sabar dinda Raja. Semua penyakit pasti ada obatnya. Hanya mungkin
pengetahuan kita belum bisa menemukannya.” Kata Resi Samanta sambil menepuk
punggung Raja Dinar Agung yang masih menangis.
“Apa saranmu tuan resi?”
“Hmmmmm…apa ada yang bisa menentramkan hati adinda Raja?”
“Aku sudah putus asa tuan resi. Aku sudah tak bisa memimpin kerajaan
ini. Aku ingin mencari ketenangan sebelum ajal menjemputku….”
Tangis Raja Dinar Agung semakin keras.
Resi Samantha kembali ke tempat duduknya. Sebagai orang yang dituakan
dia tak mau terlalu terbawa dalam kesedihan lawan bicaranya.
“Saran hamba yang terbatas pengetahuan ini, Putri Tantri harus segera
dinobatkan menjadi pengganti adinda Raja. Adinda Raja sebaiknya menenangkan
diri ke Gunung Himalaya. Disana tempatnya sangat tenang untuk bisa mendekatkan
diri pada sang Pencipta.”
Resi Samantha bicara dengan suara yang berwibawa. Tangis Raja Dinar
Agung pun terhenti karena pengaruh nada bicara resi sakti ini.
“Tapi sebelum ke Gunung Himalaya, dinda bisa mendapatkan obat
ketenangan batin dari seorang guru di Tibet. Dia adalah Bhiksu Tong, murid dari
guru hamba Bhiksu Kampala. Beliau adalah kakak kelas hamba. Di negeri Tibet
beliau dikenal sebagai Bhiksu yang sangat bisa memberikan semangat bagi orang-orang
yang putus harapan. Saya kira beliau akan bisa memberi jalan keluar dari
masalah yang dinda Raja alami.”
“Baiklah bila itu saranmu tuan resi. Aku akan mengikutinya. Aku
istirahat dulu, pikiranku masih tidak bisa tenang.”
Raja Dinar beranjak dari duduknya. Dia masuk ke bilik tidurnya.
Resi Samantha juga keluar dari ruangan yang sedari tadi memang
dikosongkan. Tak seorang pun boleh ada didalam ruang khusus itu selain mereka
berdua. Mungkin karena sangat rahasia yang dibicarakan.
***
Ratu Tantri Naik Tahta
Hari itu di Istana semua telah siap dan tertata
dengan baik untuk upacara dan Pesta Penobatan Ratu Tantri. Semua tamu undangan
sudah sejak 3 hari yang lalu ada di kotaraja.
Mereka disambut dan dipersilahkan untuk masuk
kedalam istana. Para raja dan pembesar kerajaan sahabat juga diundang. Semua
hadir dengan mengenakan pakaian kebesaran kerajaan masing-masing.
Setiap
orang ditemani oleh penyambutnya dan setelah itu duduk di tempat yang telah
disediakan, sementara musik terdengar dengan merdu dibawakan oleh sinden yang
didatangkan dari kerajaan Harum Sari. Alunan musik itu mengiringi langkah kaki
para tamu undangan yang datang.
Raja Dinar Agung duduk di kursi singgasana
ditemani Ratu Tantri disampingnya juga diatas kursi singgasana yang bentuknya
serupa dengan kursi ayahnya. Para selir diduduk disamping kanan dan kiri dua
kursi singgasana itu.
Ratu
Tantri hari itu terlihat sangat cantik
dan anggun. Sesekali Raja Dinar Agung bercakap-cakap sambil mengelus-elus tubuh Ratu Tantri. Sementara
Resi Samantha tampak tenang dan duduk disamping kiri ruangan. Dibelakangnya
puluhan resi lainnya juga duduk dengan tenang.
Raja Dinar Agung memperhatikan para tamu
undangan dihadapannya. Sepertinya dia memperhatikan siapa saja tamu yang
datang. Para tamu yang diperhatikan menganggukkan kepala seperti ingin diabsen.
Seperti juga ayahnya, Ratu Tantri pandangan
matanya melihat para tamu yang hadir. Para tamu dan pembesar kerajaan begitu
kagum dengan kecantikan Ratu Tantri. Tampak sekali dia adalah seorang Puteri
raja yang bersahaja dan rendah hati. Hal ini menenteramkan yang hadir,
harapannya agar ratu bisa memimpin kerajaan dengan bijak.
Para tamu undangan semakin lama semakin banyak
dan semua mengenakan baju yang serba indah, setiap tamu diantar oleh petugas
istana menempati tempat duduk yang sudah ada nama sesuai dengan undangan.
Diluar Istana terdapat panggung yang diisi oleh
para penabuh gamelan serta dipertunjukan aneka hiburan kesenian, tari-tarian
dan wayang kulit dengan berbagai kesenian lainnya.
Di beberapa bagian ruangan, nampak beberapa petugas pewarta istana
mengambil gambar dengan kamera digital. Setiap tamu yang datang diambil gambar.
Ratu Tantri sesekali melempar senyum kepada
setiap tamu dan undangan. Tampak para putri bangsawan yang duduk mengumpul
bergerombol sambil berbisik-bisik namun mata mereka tidak lepas dari Raja Dinar
Agung dan Ratu Tantri yang ada didepan.
Tibalah saatnya acara sakral dimulai. Raja
Dinar Agung berdiri memberikan pidato sambutan. “Wahai para tamu undangan dan
pembesar kerajaan yang saya hormat. Dengan ijin yang Maha Kuasa, demi
kemakmuran dan kebesaran kerajaan Pundi Intan, mulai detik ini aku, Raja Dinar
Agung menyatakan mengundurkan diri sebagai raja. Selanjutnya, sesuai dengan
Undang-undang kerajaan Pundi Intan, Ratu Tantri
Putri Jauh Dimata Dekat Dihati Penguasa Nagari ku nobatkan menjadi Ratu
di Kerajaan Pundi Intan. Apa kamu bersedia wahai Ratu Tantri Putri Jauh Dimata Dekat Dihati Penguasa
Nagari?”
Tantri Putri menjawab sambil berdiri, bersedia
!
Seperti paduan suara, para resi yang dipimpin
oleh Resi Samantha merapalkan do’a, diiringi tepukan tangan para tamu undangan.
Dari luar suara petasan, terompet dan sirine dibunyikan dengan riuh. Putri
Tantri pun resmi menjadi ratu di negeri itu.
Demikianlah Pesta Penobatan Ratu yang agung itu
berlangsung meriah dan berjalan hingga tujuh hari tujuh malam. Semua orang
kelelahan namun merasa bahagia.
***
Dinar Agung Berkelana
Pagi-pagi benar Dinar Agung telah berpamitan
kepada Ratu Tantri, putri tunggalnya
yang sudah dinobatkan jadi ratu di kerajaan Pundi Intan. Sejak permaisuri
meninggal, Raja Dinar Agung tidak lagi mengangkat permaisuri.
Selir-selir berlomba merayu ingin jadi
permaisuri namun tak pernah digubris Raja Dinar Agung. Dari tujuh selir hanya dua orang yang memiliki anak.
Dewi Dursari memiliki seorang putra bernama Raden Lanang Jaya, sedangkan Dewi
Kirani memiliki anak bernama Raden Wisageni.
Raden Lanang Jaya, Raden Wisageni dan Ratu
Tantri usianya tak terpaut jauh. Kedua putra dari selir itu sekarang sedang
menimba ilmu di kerajaan Tibet sesuai petunjuk Resi Samantha. Sudah
bertahun-tahun mereka tak pulang ke Kerajaan Pundi Intan.
“Ayah kapan akan kembali ke kerajaan?” Tanya
Ratu Tantri pada ayahandanya.
“Suatu saat mungkin aku kembali. Tapi suratan
takdir yang akan menentukan. Bila kutemukan ketenangan jiwa, ku temukan
ketentraman hidup dimana pun itu adanya, mungkin aku tak akan kembali ke sini
anakku.”
Raja Dinar Agung yang sekarang sudah jadi
mantan raja berkata sambil membelai rambut putrinya.
Ratu Tantri menangis sedih. Dipeluknya ayahnya.
Para selir dan abdi istana juga nampak sedih. Beberapa dari mereka tak kuasa
menahan tangis.
Beberapa abdi istana memasukkan koper-koper
besar ke dalam mobil Lemsus hitam. Dua orang pengawal turut mendampingi
perjalanan Dinar Agung.
Cungkring dan Dul adalah prajurit yang dipilih
menjadi pengawal pribadi Dinar Agung. Kesetiaan kedua prajurit ini sudah
teruji. Selama ini mereka ditugaskan di ring satu pengamanan raja.
Dinar Agung sudah masuk ke mobil. Mereka akan
pergi ke bandara kerajaan. Pesawat kerajaan sudah disiapkan sejak kemarin di
bandara.
“Jangan lupa kirim kabar via BBM atau WA ya
ayah?” pinta Ratu Tantri.
“Jaga diri baik-baik anakku.” Kata Dinar Agung
dari dalam mobil.
Para selir dan abdi istana juga melambaikan tangan dan mengucap perpisahaan. Mobil pun melaju keluar dengan dikawal oleh kendaraan patroli istana.
Para selir dan abdi istana juga melambaikan tangan dan mengucap perpisahaan. Mobil pun melaju keluar dengan dikawal oleh kendaraan patroli istana.
***
Amuk Ranggalawe
“Kau Amuk Ranggalawe?” tanya seorang berpakaian
jubah merah pada pria tua dihadapannya yang sedang menikmati kopi di warung Aki
Silun.
Yang ditanya hanya mengangguk. Pria ini usianya
sekitar 60 tahun. Dibahunya terselempang selendang warna biru. Dikepalanya
sorban besar menutupi rambut.
Lelaki muda yang baru datang tadi duduk tepat
dihadapan Amuk Ranggalawe.
“Aku pesan kopi Ki…! Jangan manis-manis!”
Teriaknya pada Aki Silun, pemilik warung yang dari tadi sibuk mencuci piring
dipojok dapur warungnya.
Tohpati usianya sekitar 40 tahun. Kulitnya
putih, dan hidungnya mancung. Pakaian yang dikenakannya tidak terlalu bagus.
Sama seperti yang dipakai kebanyakan orang di Pundi Intan.
“Kamu siapa?” Amuk Ranggalawe bertanya kepada
pria yang baru datang itu. Yang ditanya tersenyum. Dia menyodorkan tangannya
untuk bersalaman.
“Saya, Tohpati, dari kerajaan Gondola.”
“Jauh sekali. Ada bisnis apa di Intan Pundi Ki
Sanak?”
“Aku datang khusus untuk menemui tuan Amuk.”
“Jangan panggil tuan, panggil aja aku Mas
Amuk!”
Aki Silun datang mengantarkan kopi pesanan
Tohpati. Setelah itu kembali ke bilik dapur warungnya. Pagi itu suasana warung
sepi. Biasanya warung itu hanya ramai ketika pasar desa buka seminggu sekali
pada hari Kamis.
“Apa yang bisa saya bantu dulur?” Amuk
Ranggalawe bertanya pada Tohpati yang baru dikenalnya itu. Dihati Amuk
Ranggalawe penasaran ada orang dari negeri yang jauh datang padanya. Pasti ada
keperluan penting, pikir Amuk Ranggalawe.
“Mas Amuk asli orang Pundi Intan?”
“Iya. Saya asli orang sini.”
“Keluarga Mas Amuk juga ada disini?
“Iya. Semua ada disini. Kami memang menetap
disini. Tidak pernah kemana-mana.”
“Ohw…iya..iya…”
Tohpati kemudian melampaikan tangan memanggil
Aki Silun. Yang dipanggil menghampiri.
“Jualan rokok ki?”
“Ada.”
“Minta dua bungkus rokok Gudang Gandum, Dua bungkus
lagi rokok yang kangmas Amuk !”
“Iya…kang.”
Aki Silun kemudian mengambil rokok di tas plastik
yang tergantung ditiang tengah warung. Disodorkannya masing-masing sesuai
dengan permintaan Tohpati.
“Terimakasih.” Amuk Ronggolawe sambil membuka
rokok Sampukerta pemberian Tohpati.
“Bagaimana menurut Mas Amuk keadaan kerajaan
Pundi Intan sekarang? Lebih enak atau lebih buruk dari dulu-dulu?” Tohpati
mulai lagi bertanya.
“Tidak ada yang lebih enak, tidak ada yang
lebih buruk tentang kerajaan ini.” Amuk Ronggolawe menjawab sambil menikmati
kepulan asap rokoknya.
Dia melanjutkan bicara.
“Kalau disebut enak, kondisinya ya gini-gini
juga. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin melarat.” Tohpati hanya
mengangguk-angguk. Dia menyimak betul perkataan lawan bicaranya.
“Kalau disebut kondisinya lebih buruk. Ya sejak
jaman Mendiang Raja Rakian Dinar, diturunkan ke Raja Dinar Agung, kemudian turunkan
ke Ratu Tantri, ya tetap saja tak ada bagusnya untuk rakyat disini. Makan
susah, hidup susah semua susah.” Kata Amuk Ronggolawe. Sepertinya pria tua ini
begitu hapal kondisi kerajaan yang ditinggalinya.
“Bagaimana Ratu Tantri?” Tohpati melemparkan
pertanyaan.
“Buah tak jauh dari pohonnya. Apa yang bisa
dilakukan oleh anak kecil, memimpin kerajaan miskin ini?” Amuk Ronggolawe malah
balik bertanya.
“Sungguh Mas Amuk begitu paham kondisi kerajaan
ini.” Tohpati memberi pujian pada Amuk Ronggolawe. Yang dipuji tak
memperlihatkan ekspresi apa-apa. Raut wajahnya tetap serius.
“Berapa banyak yang paham tentang kondisi ini?”
Tanya Tohpati.
“Banyak. Teman-teman seperguruanku dulu juga
punya pikiran yang sama. Kami prihatin dengan carut marutnya negeri ini.” Amuk
berkata sambil membuang puntung rokok, dan kembali membakar sebatang rokok.
“Semua saudara seperguruanku menyebar di Pundi
Intan ini. Mereka mendirikan perguruan sendiri. Setiap ada perguruan yang
memakai nama Cakar Geni sudah pasti saudara seperguruanku. Paling ditambahi
lagi nama, ada Cakar Geni Jaya, Cakar Geni Sakti dan Cakar Geni lainnya. Banyak
sekali tersebar. Ada puluhan perguruan Cakar Geni.” Amuk Ronggolawe
menjelaskan. Tohpati hanya mengangguk-angguk.
“Apa bukan saatnya perlawanan Kangmas?” Tohpati
memancing pertanyaan.
“Maksud dulur?”
“Kenapa tidak kita ambil kekuasaan itu. Bukan
demi kita, tapi demi rakyat Pundi Intan tentunya..” Tohpati berkata sambil
memandang wajah Amuk Ronggolawe. Yang dipandang sejenak diam. Sepertinya dia
gusar untuk menjawab.
“Kangmas takut? Atau kangmas punya pertimbangan
lain?” Tohpati kembali bertanya.
“Apa yang aku takutkan. Umurku sudah diujung
kematian. Tapi perlawanan artinya perang. Perang adalah judi. Ada resiko yang
pasti terjadi. Lalu bagaimana nasib rakyat jiga ada perang?”
“Iya, saya paham dengan apa yang Kangmas
maksudkan.”
Sejenak mereka berdua terdiam.
“Sebenarnya apa maksud pembicaraan ini?” Amuk
Ronggolawe ganti bertanya pada Tohpati.
“Sejujurnya saya hanya utusan Kangmas. Ada
adipati yang punya pemikiran yang sama dengan Kangmas. Apa yang dipikirkannya
siang dan malam persis seperti pikiran Kangmas. Harus ada yang berani melawan
Ratu Tantri. Ini demi rakyat yang puluhan tahun tertindas.” Kata Tohpati.
“Adipati mana?” Amuk Ronggolawe bertanya.
“Masih belum bisa saya katakana Kangmas. Tapi
beliau siap dengan segala resikonya. Dia sanggup menanggung semua biaya untuk
perang ini. Maka beliau mengutus saya menemui kangmas. Karena Kangmas punya
kekuatan yang bisa digerakkan untuk perlawanan ini. Kami yakin bila kangmas ada
dipihak kami kemenangan pasti kita dapatkan.” Tohpati berkata sambil tersenyum.
“Ohw…” Amuk Ronggolawe sepertinya mulai
mengerti maksud kedatangan orang yang baru dikenalnya itu.
“Tujuan Adipati itu apa? Tahta, kekuasaan atau
memang untuk memperbaiki kehidupan rakyat Pundi Intan?” Amuk Ronggolawe kembali
bertanya. Sepertinya dia ingin memastikan tak ada niat jahat dari tamunya itu.
“Tentu Kangmas lebih paham. Memperbaiki kondisi
ini harus dengan memegang kekuasaan. Dengan kekuasaan baru kita bisa berbuat.”
”Apa ini serius?”
“Tentu serius Kangmas. Apa alasan Kangmas tidak
yakin?”
“Aku harus bicara dulu dengan saudara-saudara
seperguruankku. Aku harus minta pandangan dan sikap mereka.”
“Saya yakin mereka akan mendukung bila Kangmas
yang ajak.”
“Ya. Itu pasti. Tapi tetap mereka harus diajak
bicara.”
Mereka berdua kembali terdiam.
“Sampaikan juga ke Adipati itu. Ada beberapa
hal yang harus dia lakukan. Perang ini harus kita menangkan. Tapi cara untuk
menang itu harus benar-benar disusun dengan baik. Harus ada kepastian berapa
kekuatan Adipati itu. Berapa pula kekuatanku. Juga berapa kekuatan lainnya yang
harus dihimpun. Rakyat juga harus dipengaruhi untuk mendukung pemberontakan
ini.” Amuk Ronggolawe berkata sambil menatap wajah Tohpati. Dia kemudian
melanjutkan berkata.
“Di wilayah selatan ada gerombolan Lohjawi dan
beberapa gerombolan lainnya. Mereka juga harus kita ajak. Kita janjikan
kedudukan ketika pemberontakan ini berhasil. Mereka bisa jadi prajurit bayaran
untuk pemberontakan ini.”
“Kangmas dekat dengan Lohjawi?”
“Dia masih kerabat jauh denganku. Tapi kami
sudah lama tak ketemu.”
“Sebaiknya urusan menghimpun gerombolan itu
menjadi urusan Kangmas. Adipati hanya bertugas menyiapkan prajuritnya, dan
menyiapkan bekal untuk pemberontakan ini.”
“Kapan aku bisa ketemu dengan Adipati itu?”
“Pasti ada saatnya untuk itu.” Tohpati kemudian
berdiri keluar dari warung. Tak lama kemudian dia kembali masuk. Ditangannya
ada pundi kain warna coklat. Disodorkannya pundi itu kehadapan Amuk Ronggolawe.
“Ini titipan dari Adipati. Untuk hadiah dan
keperluan Kangmas menghimpun kekuatan. Beberapa minggu lagi aku akan datang
menemui Kangmas.”
“Oh..iya. Kita ketemuannya diwarung ini saja.
Aku hampir setiap hari ada disini. Biar nanti aku panggil saudara-saudaraku ke
warung ini satu persatu. Juga nanti aku kirim utusan ke Lohjawi. Percayakan
saja semua padaku. Tapi ingat, jika tujuan terpenuhi, jangan buat kami kecewa.
Keringat yang keluar harus dihargai.” Kata Amuk Ronggolawe. Tohpati mengangguk.
“Tentu Kangmas. Ini adalah perjuangan bersama.
Resiko bersama, dan hasilnya kita nikmati bersama.”
Tohpati kemudian berpamitan. Mereka bersalaman.
“Sampaikan salamku pada Adipati. Aku
menyanggupi untuk pemberontakan ini.”
“Baik Kangmas. Pasti saya sampaikan.”
Tohpati pergi dengan sedan merah yang terparkir
di depan warung Aki Silun. Amuk Ronggolawe pun ikut keluar. Pundi uang itu
dibawanya.
***
Pertemuan Pemberontak
Puluhan
orang melakukan pertemuan sore itu. Mereka semua adalah saudara seperguruan
Amuk Ronggolawe waktu menjadi murid Begawan Darmasari di pergurun Cakar Geni.
Semua yang ada diruangan itu sekarang memiliki perguruan masing-masing. Usia
mereka rata-rata 50-60 tahun, tak terpaut jauh dengan umur Amuk Ranggalawe yang
dituakan.
Mereka
semua duduk diatas tikar yang digelar ditengah rumah Amuk Ranggalawe. Asap
rokok seakan menelan orang yang ada di tempat itu. Dihadapan mereka ada piring-piring
berisi kue dan gelas kopi.
“Ada rombongan Lohjawi juga datang” kata
seorang yang baru masuk ke dalam rumah memberitahukan pada yang ada disitu.
“Mereka
kau undang Muk?” bertanya Ki Pandi ke Amuk Ronggolawe. Ki Pandi adalah pemilik
perguruan Cakar Geni Sanggabuana, satu angkatan perguruan dengan Amuk
Ronggolawe.
“Iya..,
tunggu aja sampe mereka masuk.” Jawab Amuk Ronggolawe.
Tak
berapa lama belasan orang rombongan Lohjawi masuk ke ruangan. Mereka berputar
menyalami orang-orang yang sudah datang lebih dulu. Lohjawi dipersilahkan duduk
disamping Amuk Ranggalawe. Beberapa pelayan menyuguhkan kopi dan kue-kue pada
tamu yang baru datang.
Sore
itu Lohjawi memakai baju hitam. Sesekali terdengar gelak tawa dari orang-orang
yang hadir. Pertemuan sore itu seperti reuni melepas kerinduan sesama saudara
seperguruan.
Amuk
Ronggolawe kenal sudah lama. Diantara mereka ada hubungan kekerabatan. Lohjawi
dikenal sebagai pemimpin berandal yang paling berpengaruh di wilayah selatan
kerajaan Pundi Intan dengan anakbuah yang jumlahnya ribuan.
Kemudian
dengan nada keras agar terdengar oleh semua yang ada disitu Lohjawi berkata.
“Kakang
Ronggolawe. Ada apa kau mengundangku. Utusanmu hanya berkata aku diminta datang
membawa beberapa orang-orang kepercayaanku. Apa ada masalah besar yang harus ku
selesaikan untukmu..?
Semua
yang ada diruangan itu terdiam. Mereka menghormati Lohjawi.
“Baiklah
adi Lohjawi dan semua dulur-dulur. Terimakasih kalian sudah datang untuk
undanganku. Kalian semua keluargaku. Keluargaku semua. Dinda Lohjawi juga
keluargaku, keluarga Cakar Geni juga.”
Kemudian
Amuk Ronggolawe melanjutkan.
“Ternyata
keluarga kita ini banyak di negeri ini. Keluargaku kekuatan besar di negeri
ini. Semua punya pengikut, semua punya kekuatan.”
Semua
yang hadir diam dan terus menyimak. Mereka masih berpikir arah bicara Amuk
Ronggolawe.
“Satu
hal yang ingin ku tanya pada saudara-saudaraku. Apa yang kita dapat dari
kerajaan. Seperti apa kita diperlakukan oleh kerajaan. Sejak jaman Raja Rakian Dinar, diturunkan ke Raja Dinar Agung, kemudian turunkan ke
Ratu Tantri, apa yang kita dapat?” Amuk Ronggolawe berkata sambil sorot matanya
memandangi satu-persatu
saudara-saudaranya. Yang dipandangi hanya mengangguk-angguk kecil
mengamini ucapan Amuk Ronggolawe.
“Tak perhatian
istimewa dari kerajaan. Kita sama seperti rakyat jelata lainnya. Kita juga sama
harus bayar pajak. Kita juga selalu diawasi dalam menjalankan perguruan.”
Beberapa detik
Amuk Ronggolawe diam. Pandangannya terus berputar menatap satu persatu yang
hadir disitu. Kemudian dia memandang ke Lohjawi yang ada disamping kirinya.
Sambil menyentuh paha Lohjawi dia berkata.
“Dimas Lohjawi
tetap menjadi begal dihutan. Menjadi berandalan yang mencari makan sambil
dikejar-kejar prajurit kerajaan. Aku, Dimas Lohjawi dan sedulurku semua seperti
dipandang sebelah mata oleh kerajaan, turun temurun.”
“Aku hitung
matang-matang, saatnya kita melawan. Kekuatan yang akan kita satukan untuk
runtuhkan Ratu Tantri, anak kecil yang sekarang menggantikan ayahnya!”
Amuk
Ronggolawe berkata sambil mengepalkan tinjunya. Giginya terkancing dengan mata
yang melotot melukiskan kemarahan yang luarbiasa.
Semua yang ada
disitu saling melihat orang yang disampingnya. Mereka tak menyangka Amuk
Ronggolawe berani mengambil keputusan yang sangat berbahaya itu. Keputusan
untuk memberontak!
“Aku sudah
berhitung. Kekuatan Cakar Geni, ditambah kekuatan Dinda Lohjawi, ditambah lagi
kekuatan dari salah satu kadipaten, ditambah lagi bila kita dapat dukungan
rakyat tentu mampu meruntuhkan kekuasaan yang sekarang. Aku sudah matang
berhitung dan aku harap sedulur semua percaya padaku,”
Kemudian Amuk
Ronggolawe melihat ke Lohjawi dan berkata.
“Bagaman Dimas
Lohjawi menurutmu?”
Lohjawi
sebelum menjawab memperbaiki posisi duduknya. Lelaki brewok ini melihat tajam
ke Amuk Ronggolawe.
“Aku percaya
padamu Kakang. Aku siap membantumu. Apa yang kau katakan itu benar. Tak ada
untungnya kerajaan selama ini untuk kita. Kita seperti berebut sisa tulang yang
sudah dihabiskan oleh kerajaan. Aku siap bergabung.”
Semua yang ada
diruangan itu bertepuk tangan. Mereka semua sudah larut dalam semangat untuk
memberontak.
“Kita lawan!!!”
Beberapa orang berkata keras.
“Boleh aku
bicara Kakang?” Ki Joko Bundan dari perguruan Cakar Geni Perak angkat bicara.
“Monggo
dinda..!”
“Kita
harus atur matang-matang rencana ini. Jangan sampai kita salah cara. Aku setuju
kita berontak. Tapi semua harus dipersiapkan matang-matang,”
Beberapa
orang diruangan itu mengamini ucapan Ki Joko Bundan.
“Lalu
siapa nanti yang kita tunjuk jadi rajanya Kangmas?” Ki Truna dari perguruan
Cakar Geni Jalu yang duduk disudut ruangan bertanya sambil mengacung.
“Tentu
bukan aku yang akan jadi Raja sedulur. Mungkin posisi patih cukup untukku. Dan
sedulur semua pasti akan menjadi tumenggung dan punggawa kerajaan kalo semua
ini berhasil.”
Semua
yang ada disitu mengangguk-anggung sambil tertawa senang. Tapi rupanya Ki Truna
belum puas. Sekali lagi dia bertanya sambil mengacung.
“Lalu
rajanya siapa kangmas?”
“Dari
awal sudah ku katakan. Ada salah satu adipati yang membiayai pemberontakan ini.
Dia yang akan jadi rajanya.”
“Siapa
adipati itu kangmas?” Truna kembali bertanya. Dia sepertinya penasaran.
“Aku
belum bisa katakan. Nanti ada saatnya kalian tau itu.”
Pertemuan
itu pun berlanjut. Diselingi dengan gelak tawa. Mereka semua sudah membayangkan
akan ada perang besar. Perang yang akan menjadi perubahan derajat hidup mereka.
***
Ki
Lurah Medi
Ki
Lurah Medi mengumpat keras, “Ratu Tantri memang keras kepala. Sudah aku katakan
panen musim ini gagal, tak ada pajak dan upeti yang bisa ku serahkan, tapi dia memaksakan kehendaknya.”
“Agaknya
Ratu terpengaruh dengan Ki Lurah Paksi yang sudah menyetor pajak duluan.
Mungkin Ratu menganggap desa kita juga tidak ada masalah.” Jawab Ki Kamitua.
“Orang-orang bodoh, memaksakan setor pajak
padahal rakyat susah” geram Ki Lurah. Dia melanjutkan kata katanya, “Tetapi
jangan khawatir. Semua pajak kututupi sendiri. Aku tak tega mesti minta dari
rakyatku. Tapi ini tak bisa dibiarkan. Suatu saat pasti ada perlawanan.”
Ki
Kamitua hanya mengangguk-angguk.
“Kakang,
ada Ki Truna dari Cakar Geni Jalu, “ Kata seorang pembantu pada Ki Lurah.
“Suruh
masuk!”
Tak
lama kemudian Ki Truna masuk ke ruangan. Ia bersalaman dengan Ki Lurah dan Ki
Kamitua. “Darimana Ki Truna ?” bertanya Ki
Lurah itu kepada Ki Truna setelah sejenak mereka terdiam.
“Ki
Lurah, Aku datang kesini ingin bertanya. Kita semua tau, tahun ini kita gagal
panen. Tapi kita masih diharuskan bayar pajak oleh kerajaan. Tidakkah itu
menyengsarakan rakyat di dusun ini?” kata Ki Truna.
Ki
Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Itulah yang barusan aku obrolkan
dengan Ki Kamitua. Aku putuskan untuk menutupnya dari harta pribadiku. Semua
aku tutupi.” Kata Ki Lurah.
“Bagaimana
dengan lurah-lurah yang lain? Apa tidak ada yang protes?”
“Tentu
mereka juga ingin protes. Tapi Ki Truna kan tau sendiri bagaimana Ratu kita ini.
Siapa yang berani melawan?”
“Aku
berani!”
“Ki
Truna jangan sembarangan ngomong. Bahaya!”
“Apa
yang ditakuti untuk kebenaran. Ya memang waktunya dilawan. Seharusnya
lurah-lurah, adipati, semua harus melawan.”
“Terus
bagaimana Ki Truna?”
“Sampeyan
mestinya bertanya ke sampeyan sendiri. Untuk apa sampeyan hidup?”
“Maksud
sampeyan gmana Ki Truna? Aku belum paham.”
“Sampeyan
jadi lurah itu untuk rakyat sampeyan. Hidup mati sampeyan ya untuk kawulo,
untuk rakyat. Terus sampeyan sekarang gimana? Apa sampeyan mau diam. Ya artinya
sampeyan gak ada artinya hidup toh…” Ki Truna mulai berani menyindir Ki Lurah.
Yang
disindir sepertinya tau arti ucapan Ki Truna. Dalam hati kecilnya ia juga
merasa. Wajah Ki Lurah memerah sejenak. Bagaimanapun juga hatinya tersinggung
ketika dirinya diremehkan.
Ki
Lurah Medi mengerutkan keningnya, katanya kemudian dengan suara datar, “Apa
yang harus ku lakukan menurutmu Ki Truna?”
“Pemberontakan!”
Ki Truna berkata sambil menatap wajah Ki Lurah, berganti ke wajah Ki Kamitua.
Yang ditatap kemudian saling pandang. Mereka berdua mengangguk mengerti apa
ucapan Ki Truna.
“Akan
ada pemberontakan besar. Semua saudaraku sudah merapatkan barisan. Beberapa
kadipaten juga sudah siap untuk memberontak. Tujuannya sama. Ratu Tantri harus
dilengserkan. Tinggal kalian lurah-lurah mau ikut kemana? Kalian masih betah
ditindas?”
“Emoh…atuh
Ki Truna. Kalau itu terjadi dan semua kompak. Aku pasti ikut yang banyak.”
“Ajak
lurah-lurah lainnya. Pemberontakan pasti tak lama lagi terjadi.”
“Baiklah,
akan ku obrolkan dengan lurah-lurah lainnya.”
Mereka
bertiga melanjutkan obrolannya. Malam mulai larut. Suasana di sekitar rumah Ki
Lurah Medi nampak sepi.
***
Serangan Pemberontak
di Kotapraja
Tumenggung Wirabaya semakin
galak meneriaki prajuritnya. Suasana Kotaraja dipenuhi puing-puing bangunan
terbakar. Pertempuran semalam begitu dasyat. Hampir istana berhasil direbut
pemberontak. Mayat-mayat bergelimpangan dinaikan ke atas mobil bak terbuka.
Beberapa diantara mereka tanpa lengan dan kaki.
Erangan kesakitan
dari prajurit yang terluka. Mereka dirawat oleh dokter-dokter kerajaan yang
jumlahnya hanya sedikit, tak sebanding merawat ratusan prajurit yang terluka.
Tumenggung Wirabaya
mengigit bibir. Jumlah korban semakin bertambah. Hampir setiap malam
pemberontak melakukan serangan. Menyerang dalam gelap dan pergi saat ayam kokok
berbunyi. Malam hari menjadi momok menakutkan bagi prajurit. Siang hari saat
lelah mereka tetap berjaga, dan setiap malam mereka harus menghadapi serangan,
setiap malam pula.
Tumenggung Wirabaya
mendengus. Dia tau semua masih belum berakhir. Pemberontak masih akan terus
datang. Sementara prajurit kerajaan sudah mulai putus asa.
Bala bantuan dari
negeri tetangga tak kunjung datang. Sepertinya janji mereka hanya omong kosong.
Sudah sebulan waktu yang mereka janjikan. Jangankan seribu prajurit pilihan
yang mereka datangkan, seorangpun tak nampak batang hidungnya.
Orang kepercayaan
Patih Destira ini menelan ludah melihat mayat-mayat yang mulai membusuk. Tak
sempat lagi mengubur mayat-mayat yang sedemikan bertumpuk. Tenaga yang ada
sudah habis terkuras untuk beradu nyawa setiap malam. Ia menghela nafas
panjang.
Semalam 200 prajurit
mati, ratusan lagi terluka. Semua kelelahan, lelah fisik dan mental. Tapi
Temenggung Wirabaya tau dia tak boleh memperlihatkan kelelahannya pada
anakbuahnya.
Seorang prajurit
setengah berlari menghampirinya.
“Tuan Patih
memanggil Tumenggung.”
Wirabaya hanya
mengangguk. Seakan malas dia melangkah menuju kepatihan. Disana Patih Destira
sudah menunggu. Ia tegap masuk ke ruang pertemuan kepatihan. Patih Destira
menoleh sambil mengangguk menyambutnya. Beberapa orang punggawa dan tumenggung
sudah hadir disitu.
“Duduk Wirabaya. Kau
nampak lelah sekali.”
Tumenggung Wirabaya
dan Patih Destira bukanlah orang lain. Mereka adik kakak yang menjadi petinggi
di kerajaan Intan Jaya.
“Sengaja semua
keluarga kita ku kumpulkan hari ini. Ada hal penting yang perlu ku sampaikan.
Tapi aku mesti bertanya dulu ke Wirabaya, bagaimana kemungkinan ke depannya
dinda?”
Wirabaya kemudian
menjawab.
“Mereka begitu kuat
kanda Patih. Malam mereka menyerang, pagi buta mereka menghilang. Korban begitu
banyak dipihak kita. Mental prajurit sudah jatuh. Kita sudah tidak lagi bisa
bertahan.”
“Aku sudah bisa memperkirakan itu. Jadi
kesimpulannya kita pasti kalah?”
“Kurasa kita hanya bisa bertahan 3 hari lagi
kanda patih.”
Semua yang ada diruangan itu saling melirik.
Mereka semua gelisah dengan apa yang dikatakan Wirabaya. Patih kemudian kembali
bertanya.
“Bagaimana bantuan yang dijanjikan kerajaan
Sanggara dan Bandara?”
“Omong kosong kanda Patih.”
“Keparat. Mereka hanya baik didepan kita.
Persahabatan antar kerajaan hanya untuk kelancaran usaha dagang mereka!” Patih
Destira mulai terbakar amarah. Kemudian Ia bertanya.
“Bagaimana laporan Prajurit telik Sandhi
yang terkini Tumenggung Karsa?”
Tumenggung Karsa yang sedari tadi hanya
mengikuti obrolan Patih dan Wirabaya kemudian menjawab.
“Pemberontak itu ada yang membiayai. Bila
hanya kelompok Cakar Geni dan Lohjawi mereka tak akan sekuat ini. Ada pasukan
asing yang masih belum diketahui asalnya. Amuk Ranggalawe hanya orang yang
digerakkan. Ada orang lain yang menggerakkan, itu yang sulit ditebak.” Kata
Tumenggung Karsa.
Tumenggung Karsa adalah pemimpin pasukan
telik sandhi. Pria berbadan ceking ini masih saudara sepupu dengan Patih
Destira dan Tumenggung Wirabaya. Patih Destira kemudian berkata.
“Cari tau siapa penggerak yang sebenarnya!
Walau kita kalah tapi setidaknya kita tau siapa yang menghancurkan kita!”
“Iya kakang Patih.”
“Dan kau Wirabaya. Istirahatlah, kau pasti
lelah. Nanti malam kau harus kembali berperang.”
“Iya kakang, aku pulang dulu.”
Semua yang ada diruangan itu kemudian
membubarkan diri. Patih Destira bergegas pergi ke istana. Banyak hal yang ingin
segera dilaporkan ke Ratu Tantri.
***
Ratu Tantri
Perlahan Patih Destira mendekati Ratu
Tantri. Kemudian ia duduk dihadapannya dengan sopan. Ia menganggukkan kepala.
Ratu Tantri membalas menganggukan kepala, terlihat air mataya bercucuran di
pelupuk mata.
Ratu Tantri adalah gadis periang, manis dan
lembut perasaannya. Ia tumbuh dengan didikan istana yang terhormat. Sejak masih
kecil hingga remaja, guru-guru dari penjuru negeri didatangkan untuk menjadi
pembimbingnya. Kendati terkungkung dalam istana, sebagai putri tunggal Raja
Dinar Agung tapi berbagai pengetahuan dimilikinya. Parasnya yang cantik
diwarisi dari Permaisuri yang tersohor sangat cantik. Usia Ratu Tatri sekarang
sudah 25 tahun. Perawan ini tak memiliki pendamping hidup. Sebagai seorang
Ratu, tentu tak sembarang pangeran atau raja yang berani menggodanya.
Siang itu Ratu Tantri mengenakan gaun tipis
dari sutera. Sebuah sabuk hitam membelit pinggangnya. Rambutnya mengenakan
mahkota berhiaskan intan.
“Patih aku lelah, teramat lelah. Aku gagal
menjalankan titipan ayahku. Semua akan porak poranda…”
Patih tersenyum, “Ini bukan salahmu Ananda
Ratu, semua sudah suratan Sang Pencipta.”
“Mereka berani memberontak karena tau aku
lemah.”
“Mereka juga akan melakukan yang kendati
ayahmu yang jadi raja. Hanya kebetulan saat ini mereka kuat dan berani
memberontak.”
“Apa tak ada bantuan dari sekutu kita?”
“Jangan berharap dari mereka Ratu,”
“Aku ingin melihat kondisi prajurit kita
Patih.”
“Saya dampingi Ratu.”
Mereka berdua keluar bersama. Tujuh orang
prajurit jaga istana mengawal mereka. Siang itu panas begitu terik.
***
Raden Wisageni
Sejenak kita
tinggalkan dulu suasana di istana dan Kotapraja Pundi Intan. Kita tengok
suasana di sebuah negara tetangga Pundi Intan. Kerajaan Indramulya. Raja Giri
Indra sedang mengumpulkan patih, tumenggung dan ponggawa kerajaan. Kerajaan
Idramulya berbatasan langsung dengan Pundi Intan.
Raja Giri Indra
melambaikan tanggannya memanggil seorang pemuda yang ada diantara para pembesar
kerajaannya.
“Mendekatlah sini
anakku.”
Pemuda yang
dipanggil mendekat. Dia adalah Raden Wisageni putri Dewi Kirani. Wisageni adalah putra Raja Dinar Agung dari
selir yang bernama Dewi Kirani. Dewi Kirani adalah adalah adik kandung dari
Ragja Giri Indra. Sejak kecil Wisageni sudah keluar dari istana Pundi Intan. Ia
dikirim belajar di negeri Tibet.
Dari kecil hingga
remaja, Wisageni menghabiskan usianya di Tibet. Tak pernah sekalipun Ia pulang
ke Intan Pundi.
Dewi Kirani memberi
kabar bahwa dirinya sekarang ada di kerajaan Indramulya. Sejak Prabu Dinar
Agung mengundurkan diri dan pergi berkelana,
dilanjutkan dengan penobatan Ratu Tantri, Dewi Kirani memilih keluar
dari istana dan kembali ke kerajaan asalnya, Indramulya.
“Ananda Wisageni.
Bagaimana sekarang kondisi terakhirnya?”
“Semua sudah sesuai
dengan perintah uwa prabu..”
“Bagus. Kita lihat
lagi beberapa hari ke depan.”
“Baik uwa Prabu.”
Pertemuan di istana
kerajaan Indrajaya pun terus berlanjut.
***
Pasukan Indrajaya
Bantu Pundi Intan
Siang itu
arak-arakan 3.000 pasukan Indrajaya memasuki Kotapraja Pundi Intan. Di
sepanjang jalan rakyat Pundi Intan
menyambut mereka dengan gegap gempita. Prajurit Pundi Indrajaya ini bergerak
menuju alun-alun yang tepat berada didepan gerbang istana Pundi Intan.
Tumenggung Wirajaya
yang mendapat laporan kedatangan prajurit dari negeri tetangga itu bergegas
melihat keadaan di alun-alun dengan dikawal belasan prajurit. Ia heran dengan
kedatangan prajurit Indrajaya dalam jumlah yang tak sedikit itu. Nampak
dialun-alun, prajurit Indrajaya berbaris sesuai dengan jenis pasukannya.
“Siapa pimpinan
kalian?” Wirajaya berteriak kepada salah satu prajurit Indrajaya. Yang ditanya
berlari menghampiri Tumenggung Wirajaya dan memberi hormat.
“Kami dipimpin oleh
Rades Wisageni.”
Temenggung Wirajaya
kaget bukan kepalang. Ia tau Wisageni adalah putra Raja Dinar Agung dari selir
yang sudah lama ada diluar negeri. Ia sempat juga mendengar Dewi Kirani, selir
Dinar Agung adalah adik kandung dari Raja Indrajaya.
Tak berapa lama dari
belakang barisan prajurit Indrajaya, muncullah Raden Wisageni. Wirajaya tak
begitu mengenal Wisageni karena sejak kecil ada diluar kerajaan.
“Aku Wisageni. Kau
siapa?”
“Aku Temenggung
Wirabaya, pemimpin prajurit Pundi Intan.”
“Aku ingin bertemu
kakakku, Ratu Tantri. Sepertinya jungjunganmu butuh bantuan adiknya.”
“Mari saya antar
tuan ke gusti Ratu.”
Raden Wisageni dan
Tumenggung Wirabaya berjalan beriringan masuk ke dalam istana. Mata Raden Wisageni seakan menyapu suasana
sekitar istana. Terlihat puluhan prajurit Indrajaya sedang terluka. Nampak dari
belitan kain penutup luka dan langkah prajurit yang pincang. Beberapa orang
nampak hanya bisa duduk sambil menahan sakit.
“Begitu banyak
prajuritmu yang terluka Tumenggung?”
“Ya.Serangan ini
begitu dasyat. Tiap malam pemberontak masuk kotapraja. Mereka datang tiba-tiba
dimalam hari, dan menghilang saat ayam jantan berkokok. Kami sulit
memperkirakan arah kedatangan mereka, kadang dari arah barat, timur, utara,
atau kadang datang serempak dari beberapa penjuru angin.”
Mereka berdua sudah
sampai ke paseban istana. Disana sudah ada Patih Destira dan Ratu Tantri. Ratu
Tantri berdiri menyambut tamunya.
“Engkau kah ini
adikku Wisageni?”
“Tentu saja Tantri.
Aku adikmu.”
“Lama kita tak
bertemu, kemana saja kau selama ini?”
“Sepulang belajar
dari Tibet, aku memilih tinggal di Indrajaya bersama uwa prabu Giri Indra. Aku
menjadi Panglima disana.”
“Apa kau sudah tau
tentang keadaan kerajaan Pundi Intan”
“Ya, Aku tau. Bunda
Kirani saat ini ada di Indrajaya. Beliau yang memberitahu kekacauan ini. Maka
aku atas ijin uwa Prabu Giri Indra datang untuk membawa bala bantuan. 3.000
prajurit Indraprasta lebih dari cukup untuk menghancurkan pemberontak itu.”
“Terimakasih adikku
Wisageni.” Ratu Tantri sangat senang dengan kedatangan adik satu bapaknya itu.
Kemudian ia bertanya pada patih Destira.
“Bagaimana menurutmu
Patih?”
“Ampun gusti
Ratu.Mohon maaf anakku Raden Wisageni. Bila maksud kedatanganmu benar-benar
untuk membantu Pundi Intan, ini adalah keajaiban saat kami mulai dirundung
putus asa. Saya berharap bantuan ini tulus dari niatan yang baik Ananda Raden.”
“Tentu saja niatku
tulus patih. Pundi Intan adalah peninggalan ayahanda Prabu Dinar Agung. Ratu
Tantri adalah saudaraku. Aku wajib melindunginya.” Wisageni mengatakan ini
dengan tegas.
Semua yang ada
diruangan itu senang. Harapan untuk memadamkan pemberontakan semakin kuat.
Ratu Tantri tiba-tiba
teringat pada adiknya yang satu lagi, Raden Lanang Jaya, putra ayahnya dari
selir Dursasari yang sejak kecil dikirim bersama Wisageni ke Tibet.
“Dinda Wisageni.
Bagaimana kabarnya saudara kita Raden Lanang Jaya, bukankah dia dulu bersamamu
belajar ke Tibet?”
“Apa Ratu Tantri tak
tau?”
“Tau apa dimas?”
“Lanang Jaya adalah
dalang pemberontakan ini!”
Patih Destira dan
Wirabaya kaget bukan kepalang. Begitu juga Ratu Tantri juga kaget. Belum pernah
ada laporan yang menyebut nama Lanang Jaya selama ini.
“Apa kau tidak tau
Tumenggung?”
Tumenggung Wirabaya
gemetar menjawab. Ada rasa bersalah karena tidak tau dalang dibalik
pemberontakan itu.
“Ampun gusti Ratu,
hamba benar-benar tidak tau. Selama ini telik sandhi hanya mengatakan bahwa
penggerak pemberontakan ini adalah Amuk Ranggalawe dibantu oleh saudara
seperguruannya. Ditambah lagi dengan gerombolan begal Lohjawi. Ada lagi
disebut-sebut ada seorang adipati yang terlibat. Kemudian ada beberapa lurah
Medi yang membantu memberikan bahan makanan. Hanya itu yang hamba tau gusti
Ratu.”
Kemudian dengan nada
mencemooh, Raden Wisageni bertanya pada Wirabaya. “Adipati yang mana, bukankah
dikerajaan ini hanya ada 5 Kadipaten. Tidakkah kau bisa menghitungnya. Adipati
mana yang kau maksud?”
Kemudian Wisageni
melanjutkan. “Telik sandhi mu begitu lemah Tumenggung! Apa ada dari 5 adipati
itu yang tak pernah sowan ke istana ini. Apa ada 5 adipati itu yang tak
membayar pajak? Lalu darimana bisa kau simpulkan ada salah satu adipati yang
ikut memberontak?
Tumenggung Wirabaya
seperti disambar halilintar. Ia mengakui 5 adipati itu selama ini masih tetap
hadir setiap ada panggilan pertemuan di istana, masih tetap rutin menyerahkan
pajak. Tumenggung Wirabaya jadi bingung sendiri, kenapa telik Sandhi bisa salah
memberi berita.
“Iya. Sepertinya
prajurit Telik Sandhi salah memperkirakan.” Tumenggung Wirabaya menjawab lirih.
Kemudian Wisageni
berkata.
“Kuberitahu padamu
tuan Patih dan Tumenggung. Walau ada diluar negeri. Orang-orangku sudah
menyusup ke wilayah kerajaan Pundi Intan ini sejak beberapa minggu lalu. Otak
pemberontakan ini adalah Tohpati. Dia yang menggerakkan Amuk Ranggalawe dan Lohjawi. Dia juga yang
menggerakkan untuk mempengaruhi lurah-lurah. Tohpati lah otak semua kekacauan
ini!
Wisageni
melanjutkan,” Tohpati adalah Lanang Jaya!”
Semua yang ada
diruangan itu kaget bukan kepalang. Tantri terperanjat, tak sadar ia berdiri
mendengar ucapan Wisageni.
“Yang benar Dimas?
Yang benar kalau Lanang Jaya, saudara kita, darah daging kita otak semua ini?”
“Ini kenyataannya
Ratu…”
Sejenak semua yang
ada diruangan itu terdiam.
Kemudian Wisageni
berkata,” Sebaiknya kita kembali ke masalah memadamkan pemberontakan ini.
Tumenggung, berapa jumlah seluruh prajurit Pundi Intan yang tersisa dan masih
dalam kondisi sehat untuk bertempur?”
“Ada 700 orang
prajurit lagi Raden. Itu pun sudah kekurangan senjata. Anak panah dan tombak
tidak sempat membuat yang baru. Kami masih menunggu kiriman senjata dari negeri
tetangga tapi tak kunjunga datang.”
“Hanya 700
prajurit?”
“Iya Raden. Tak
lebih dari itu..”
“Bagaimana gusti
Ratu menurutmu? “
“Aku menyerahkan
semua urusan memadamkan pemberontakan padamu dimas!”
“Aku menyanggupinya.
Tapi aku juga minta ketegasan dan wewenang darimu sebagai R atu di kerajaan
Pundi Intan. Aku yang mengatur urusan keamanan kerajaan. Semua prajurit, baik
itu prajurit Indrajaya yang kubawa, maupun prajurit Pundi Intan harus aku yang
mengendalikan.”
Ratu Tantri kemudian
berkata, “ Ya. Semua urusan keamanan dimas berhak mengatur. Tumenggung Wirabaya
dan seluruh prajurit tunduk padamu!”
“Baiklah. Aku akan
segera mengatur cara untuk menghancurkan pemberontak. Harap Tumenggung Wirabaya
bisa bekerjasama.”
Kemudian Wisageni
pamit. Tumenggung Wirabaya mengantarkannya keluar. Wisageni ditempatkan di
sebuah bangunan yang hanya bebeapa puluh tombak dari luar pagar istana.
Bangunan itu semula adalah markas pasukan berkuda yang kini sudah tidak
dipakai.
***
Raden Lanang Jaya
Amuk Ranggalawe merasa pemberontakan itu akan segera berhasil.
Kepercayaan pengikutnya dan Lohjawi semakin hari semakin meningkat. Namun ada
satu hal yang masih memberatkan pikirannya tentang Tohpati. Pria itu dulu
mengaku sebagai utusan seorang adipati yang sampai hari ini adipati itu belum
nampak batang hidungnya.
Tohpati yang selama ini selalu
bersamanya tak pernah memberi ketegasan kapan adipati itu akan muncul. Memang
Amuk Ranggalawei mengakui, uang dan bantuan senjata selama ini selalu lancar
dari Tohpati. Namun ia jadi bingung sendiri ketika saudara-saudara dan Lohjawi
menanyakan pasukan adipati yang tak kunjung muncul.
Kendati mereka hampir dipastikan
menang. Tapi Amuk Ranggalawe merasa mendapat penilaian yang kurang baik dari saudara-saudaranya.
Ia selalu berusaha menenangkan mereka. Toh kemenangan sudah diambang pintu.
Tapi ada yang masih mengganjal ketika adipati misterius itu tak kunjung muncul.
Lalu siapa nanti yang jadi Raja?
Siang itu sengaja semua petinggi
pasukan dikumpulkan di rumah Lurah Medi yang sudah beberapa bulan ini menjadi
markas prajurit pemberontak. Tohpati, Lohjawi, Lurah Medi dan semua saudaranya
dari Cakar Geni berkumpul siang itu.
“Kita harus berhasil malam ini,“ berkata Amuk
Ranggalawe, “kita sudah dipastikan menang.”
Semua yang ada disitu menyimak
perkataan Amuk Ranggalawe. Tapi diambang kemenangan itu ada kegelisahan dihati
orang-orang ini. Tohpati yang selalu ada bersama mereka selalu menghindar saat
ditanya bantuan pasukan dan sosok adipati yang tak jua datang.
Lohjawi, berandal yang dikenal
berangasan itu tak siang itu tak lagi bisa menahan diri. Walau pun segan dia
memaksakan diri untuk bertanya tentang adipati yang tak kunjung hadir.
“Maaf Tohpati. Bukan kami tak
percaya padamu. Bagaimana dengan adipati yang pernah kau katakan pada Amuk
Ranggalawe. Dimana ia?
Yang ditanya seperti kaget tak
menyangka aka nada yang bertanya seperti itu. Mereka semua yang ada di ruangan
itu juga kaget tak percaya Lohjawi akan berani menanyakan itu.
“Adipati? Oh ya adipati. Adipati itu
ada. Tapi dia masih belum terlihat oleh kalian.”
“Apa maksudmu Tohpati. Kau jangan
mempermainkan kami! Ini adalah perang yang taruhannya nyawa!” Lohjawi mulai
terpancing amarah.
Amuk Ranggalawe mencoba menenangkan.
“Tenang Lohjawi! Kita semua adalah saudara! Tenangkan dirimu. Jangan rusak
kemenangan yang sudah didepan mata!”
Tohpati mengangkat tangannya,
memberi isyarat agar Amuk Rangalawe
membiarkan Lohjawi bicara.
“Aku minta kau katakana sekarang
siapa adipati itu! Hanya ada 5 Adipati
di kerajaan Intan Pundi ini, dan semua sudah ku selidiki, tak ada seorang pun
yang keliatan mendukung pemberontakan ini. Artinya kau bohong Tohpati!
Dengan tenang kemudian Tohpati
menjawab.
“Paman Lohjawi. Kangmas Amuk
Ranggalawe dan sedulurku semua. Aku akan katakana siapa adipati yang sudah
membiayai pemberontakan ini. Tapi tolong sedulur semua jawab pertanyaanku,
singkat saja.”
Kemudian ia melanjutkan. “Apa kalian
mengakui adipati itu mengirimi uang dan senjata untuk biaya pemberontakan ini?”
Semua diam, ragu untuk menjawab.
Tohpati mengulang lagi pertanyaannya. “ Apa kalian mengakui itu?”
Semua yang ada disitu mengangguk
mengakui. “ Iya ada. Kita akui itu.”
Tohpati kemudian tersenyum.
“Berarti adipati itu memang ada.
Karena tidak mungkin uang dan senjata-senjata itu turun dari langit dengan
begitu saja.”
Kemudian dia melanjutkan. “Tentang
pasukan adipati yang kita harap datang, bukankah tanpa pasukan dari adipati itu
pun kita sudah menang. Jumlah pasukan kita sudah jauh lebih banyak dari pasukan
kerajaan. Lalu untuk apa adipati itu harus mengirim pasukannya. Karena yang
kita butuhkan adalah uang, makanan dan senjata. Itu saya kira sudah cukup..”
Tohpati memandangi semua yang ada
disitu satu persatu. Semua yang dipandangi terdiam. Dalam hati mereka
membenarkan ucapan Tohpati.
Amuk Ranggalawe kemudian bertanya
pada Tohpati.
“Tapi kami ingin tau siapa adipati
itu dimas. Bukankah nanti ia yang akan jadi Raja kita?”
“Kangmas Amuk Ranggalawe. Kapan aku
pernah mengatakan bahwa adipati itu ingin jadi Raja? Aku tidak pernah
mengatakan itu padamu, samasekali belum pernah. Aku hanya mengata kan bahwa ada
adipati yang mengajak untuk melakukan perlawanan demi rakyat yang tertindas!
Bukan begitu Kangmas? ”
“Iya Dimas…” Amuk Ranggalawe
menjawab lirih. Dia baru sadar bahwa ia salah mengira selama ini.
“Kalau kalian memaksa ingin tau
siapa adipati itu. Kuharap ini tidak akan menganggu perjuangan yang sudah kita
susun dari awal. Niatan pemberontakan ini untuk mengambil kekuasaan dan
memperbaiki nasib rakyat kita yang
miskin.”
Semua sejenak terdiam.
“Kalau kalian percaya, akulah
adipati itu. Namaku yang sebenarnya adalah Lanang Jaya,”
Lohjawi sontak berdiri dengan marah.
Amuk Ranggalawe juga berdiri untuk menjaga jangan sampai Lohjawi menyerang
Tohpati.
“Keparat! Jangan mempermainkan aku.
Ku tebas batang leher mu. Tidak ada adipati yang bernama Lanang Jaya!
“Aku ini putra Raja Dinar Agung. Ibu
ku adalah Dewi Dursasari, selir
dari Raja Dinar Agung. Tidakkah sejak
lahir aku sudah menjadi adipati istana kakang Lohjawi?
Semua yang ada diruangan itu
terdiam. Lohjawi kemudian duduk kembali. Mereka baru menyadari bahwa yang
selama ini bersama mereka adalah putra Raja Dinar Agung.
“Kalian jangan salah paham. Ini
bukan masalah aku tak suka Tantri jadi Ratu. Tapi aku tidak suka bila rakyat
diperlakukan semena-mena. Aku tak peduli siapa pun Rajanya, yang penting rakyat
bisa hidup sejahtera.”
Semua terdiam. Mereka terpukau
dengan setiap kata yang diucapkan Tohpati alias Raden Lanang Jaya.
Amuk Ranggalawe kemudian menengahi.
“Lohjawi dan sedulur semua,
sepertinya sudah tidak ada masalah. Semua sudah terjawab. Raden Lanang Jaya
adalah pemimpin pemberontakan ini. Niatnya sudah bagus. Kita tetap dukung dia.
Semoga janji-janjinya bisa ditepati.”
Lohjawi mengangguk. Dia berdiri
memeluk dan bersalaman dengan Raden Lanang Jaya. “Maafkan aku Raden.”
Raden Lanang Jaya tersenyum, dan
menjawab” Iya kakang, maafkan juga aku.”
***
Pemberontak di Pukul Mundur
Pagi hari pasukan pemberontak
kembali menyerang Kotaraja. Serangan ini dilakukan siang hari. Sebelumnya
mereka sudah tau da balabantuan dari kerajaan Indrajaya untuk Pundi Intan. Tapi
rencana penyerangan sudah matang dibuat. Pertempuaran besar pun terjadi.
Sekitar 2000 prajurit pemberontak dibawah pimpinan Amuk Ranggalawe menyerang
3.000 prajurit Indrajaya yang menjaga sekeliling istana. Sementara pasukan
Intan Pundi diperintahkan Raden Wisageni bertahan dibagian dalam istana.
Pasukan Pemberontak telah hampir
seluruhnya berada diatas tebing. Bahkan beberapa langkah mereka berhasil
mendesak pasukan Indrajaya. Pasukan Pemberontak telah bertempur dengan
kemampuan yang mendebarkan. Senjata mereka berputaran, terayun dan menyambar
dengan dahsyatnya. Lohjawi dan Ki Truna terjun langsung dalam barisan pasukan
pemberontak yang mengamuk. Sementara Amuk Ranggalawe, Raden Lanang Jaya, hanya
melihat dari kejauhan. Mereka sendiri tidak
ikut langsung bertempur diantara mereka.
Dengan tangkas, Lohjawi bertempur
diantara prajurit-prajuritnya, sehingga pasukan lawannya menjadi ngeri melihat
sikapnya. Beberapa orang perwira Indrajaya berusaha mengepungnya. Mereka membatasi geraknya. Namun setiap kali ia
berhasil memecahkan lingkaran orang-orang Indrajaya yang ingin menghambatnya.
Dalam pada itu, pasukan panah
dibawah pimpinan Lurah Medi telah hampir seluruhnya berada diatas tebing. Mereka
menghujani prajurit Indrajaya dengan ribuan anak panah. Digaris depan Pasukan Pemberontak
telah bertempur dengan kemampuan yang mendebarkan. Senjata mereka berputaran,
terayun dan menyambar dengan dahsyatnya. Sementara pasukan Indrajaya terus
bertahan berusaha memukul mundur lawanya.
Orang-orang yang berani mendekati Lohjawi,
akan segera terdorong menjauh. Yang mencoba untuk tetap bertahan, akan segera
terlempar dengan luka ditubuhnya. Bahkan dua tiga orang yang menyerang
bersama-sama akan mengaduh bersama-sama pula karena kulitnya terkoyak oleh
senjata Lohjawi.
“Mereka bukan orang Pundi Intan,“
geram Lohjawi.
Dengan amukan Lohjawi langsung,
semangat pasukan pemberontak semakin meningkat. Tanpa ragu-ragu mereka
menyerang setiap lawan sebagaimana harus
dihadapi di peperangan. Nampak pasukan Indrajaya
itupun menjadi terdesak.
Dalam pada itu, Wisageni telah merasakan
tekanan yang sangat berat pada pasukannya. Karena itu, maka iapun bergeser
disepanjang garis pertempuran sambil melihat, siapakah yang telah membuat
pasukannya mengalami tekanan. Wisageni kemudian melihat Lohjawi yang sedang
mengamuk seperti seekor harimau
kelaparan.
“Gila,“ geram Raden Wisageni “jika
tidak dicegah, maka pasukanku akan benar-benar terdesak.”
Karena itu, maka Wisageni kemudian
mendekati Lohjawi dengan niat untuk menghentikan pembantaian yang telah
dilakukannya.
Namun ketika Lohjawi melihat
kehadiran Wisageni, maka iapun tiba-tiba tertawa sambil berkata, “Nah, inilah
pemimpin teringgi pasukan dari Indrajaya. Aku ingin melihat, apakah kau
benar-benar seorang tangguh atau hanya mengandalkan telunjukmu. Ayo buktikan
ketangguhanmu wahai orang Indrajaya!”
Wisageni tersenyum sinis. Ia sadar,
bahwa Lohjawi yang brewokan adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat
dahsyat. Tetapi adalah tanggung jawabnya untuk menghadapi pria berangasan itu
apapun yang akan terjadi.
Sejenak kemudian keduanya sudah
berhadapan. Dengan sigapnya Lohjawi langsung menyerang Wisageni dengan
senjatanya. Senjata Lohjawi adalah tombak panjang yang dibuat secara khusus, terbuat dari baja pilihan.
Sementara, Wisageni menggunakan
senjata pedang. Bilah pedang itu berwarna hitam. Wisageni mengayunkan pedangnya
dengan cepat. Tombak Lohjawi sampai terpelanting saking kuatnya serangan itu.
Wisageni memandang sejenak Lohjawi yang mulai terengah-engah.
Tiba-tiba Wisageni kembali
mengayunkan pedangnya kearah kepala Lohjawi. Spontan Lohjawi membungkuk sambil
memiringkan kepalanya. Sabetan pedang itu menebas angina. Tapi Lohjawi tak
menyadari ditangan kiri Wisageni ada 2 buah pisau kecil yang terselip
dijarinya. Pisau itu secepat kilat seperti anak panah menghujam perutnya.
Hampir bersamaan dua pisau kecil itu mengoyak perut Lohjawi.
Lohjawi terjerembab kesakitan.
Matanya tiba-tiba berkunang-kunang. Darahnya seperti mendidih. Gemetar dan
kejang mulai dirasakan dalam hitungan detik. Baru Lohjawi sadar bahwa pisau
terbang itu beracun. Dari mulutnya mulai keluar muntahan darah. Dan beberapa
menit kemudian Lohjawi meregang nyawa.
Sejenak kemudian, Wisageni sudah
mengamuk dengan ayunan pedangnya membelah barisan pasukan pemberontak. Pasukan pemberontak mulai kocar kacir. Ki
Truna melompat menghadang Wisageni. Dua
pria yang sama-sama bersenjatakan pedang ini kemudian bertarung.
Pertarungan yang tak berlangsung
lama. Hal yang sama kembali terulang pada Ki Truna. Dua pisau kecil menembus
dadanya. Kembali seperti kematian Lohjawi yang kejang dan memuntahkan darah
sebelum ajalnya datang. Pisau beracun itu teramat berbahaya.
Sementara itu dibagian belakang
pasukan pemberontak, Amuk Ranggalawe dan Raden Lanang Jaya memperhatikan
Wisageni yang terus mengamuk memukul mundur pasukan pemberontak. Semangat
pasukan Indrajaya kembali naik. Tiba-tiba Raden Lanang Jaya berbisik pada Amuk
Ranggalawe.
“Mundur. Kita harus mundur..”
Amuk Ranggalawe paham dengan
perintah Lanang Jaya. Sudah saatnya pasukan harus ditarik mundur.
“Mundur ! Semua mundur ! Pasukan panah
siap-siap !
Pasukan pemberontak pun bergerak
mundur. Pasukan panah yang dipimpin Lurah Medi kemudian menyerang dengan anak
panah untuk menghadang agar prajurit Indrajaya tidak mengejar pemberontak yang
bergerak mundur.
Pertempuran pun berakhir. Hari itu
pemberontak gagal menguasai istana Pundi Intan.
=BERSAMBUNG=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar