Rabu, 31 Agustus 2016

Berebut Tahta Pundi Intan

Berebut Tahta Pundi Intan

Penulis : Achmad Syarif




Prabu Dinar Agung Turun Tahta
Ratu Tantri yang bernama lengkap “Ratu Tantri Tunggal Putri Jauh Dimata Dekat Dihati Penguasa Nagari” naik tahta karena Prabu Dinar Agung yang hanya memiliki putri tunggal mengundurkan diri. 
Undang-undang yang dibuat dinegeri itu, bilamana raja hanya memiliki satu putri, maka dia sah diangkat menjadi ratu. Aturan itu dibuat dadakan. Draf aturannya pun dibuat hanya dalam waktu satu malam. Hanya beberapa ayat yang dirubah oleh patih kerajaan atas perintah raja. Khawatir akan ada kudeta oleh kelompok tertentu yang suatu saat bisa jadi melawannya. Begitu kira-kira latar belakang perubahan pengangkatan Ratu Tantri menjadi orang nomor wahid di Kerajaan Kati'isan, nama kerajaan Pundi Intan dulu.

Prabu Dinar Agung mengambil keputusan pensiun dini setelah mendengar penjelasan penyakit HIV/AIDS akut yang dimilikinya dari Kepala Dokter Kerajaan atau disingkat Kedoja. Ini adalah penyakit langka di kerajaan itu.

”Mohon ampun Baginda, hasil diagnosa tim kedokteran kerajaan baginda menderita penyakit HIV/AIDS. Sangat disarankan baginda untuk tidak memiliki anak karena khawatir akan juga mengidap penyakit serupa.” Begitu kira-kira ketika Kepala Dokter Kerajaan menjelaskan hasil pemeriksaan. 

“Apa???? Darimana aku bisa tertular? Mungkin kamu salah diagnosa dokter!” 
Prabu Dinar Agung berkata antara marah dan putus asa. Mahkota yang dipakainya sampe miring. Raja bertubuh gendut ini sangat kaget dengan yang dikatakan dokter yang baru beberapa bulan diangkatnya menjadi Kepala Dokter Kerajaan itu. 

Sebelumnya, Empu Centong bukan dokter, karena tak pernah kuliah kedokteran. Tapi Empu Centong pernah sekolah perawat milik kerajaan. Lulus sekolah dia mulai jadi mantra keliling. 

Lama-lama namanya mulai dikenal sebagai mantri yang pintar mengobati penyakit. Saking banyak pasien yang datang ke rumah, Empu Centong mulai buka praktek dirumah. Pasieun yang sekarang antri dirumahnya.
Kabar keahlian Mantri Centong mengobati penyakit tersebar ke seantero kerajaan. Koran-koran dan televisi kerajaan sering membuat berita tentang mantri canggih ini. “Tangan Ajaib” begitu beberapa koran menulis besar-besar judul beritanya.

Kabar ini pun sampe ke istana. Raja pun mengangkat Mantri Centong menjadi dokter. Gelar dokter dilakukan dengan pengucapan sumpah dihadapan para pembesar kerajaan. Beberapa bulan setelah diberi gelar dokter, Empu Centong kemudian naik jabatan menjadi Kepala Dokter Kerajaan. Pria bertubuh kerempeng dan berkacamata tebal ini memang beruntung.
 “Ampun baginda, hamba tidak berbohong. Tes darah yang dilakukan menyatakan baginda positif…”
“Positif hamil maksudmu?”
“Positif HIV baginda.”
“Kamu yakin? Kalau sampai diagnosamu salah, kamu bisa dipancung karena menipu raja!” bentak Prabu Dinar Agung.
“Benar baginda, hamba yakin. Ini data-datanya…”
Dokter Empu Centong menyodorkan map warna merah. 

Disampul map itu ada logo ular membelit suntikan.
“Kenapa gambar logo ini ular membelit suntikan dokter?”
“Itu simbol bahwa …” 

Belum selesai Empu Centong menjawab Prabu Dinar Agung sudah membentak.
“Saya tidak suka logo ini. Mulai hari ini ganti gambar logo Pemangku Kesehatan Kerajaan dengan gambar gadis cantik tersenyum!"
“Mohon maaf baginda. Koq menurut hamba kurang pas. Itu artiya apa baginda?”
“Itu artinya rakyat senyum senang karena sehat. Bagus kan?”
“Sangat bagus baginda. Hamba sangat bangga dengan kecerdasan baginda.” 
Dokter Empu Centong memuji rajanya, padahal dalam hati dokter ini. Dia sangat tidak setuju dengan  perintah rajanya yang konyol. Tapi mau bilang apa, menolak berarti jabatan Kepala Dokter Kerajaan akan lepas.

Jabatan Kepala Dokter Kerajaan adalah posisi yang sangat bagus. Istrinya yang dulu cuma satu, sekarang sudah nambah jadi selusin. Semua kawin resmi dan dicatat di Kantor Resmi Kerajaan. Belum lagi wanita-wanita simpanannya. Semua bisa aman sejak dia jadi Kepala Dokter Kerajaan.

“Penyakitku ini apa bisa disembuhkan dokter?”
“Mohon ampun baginda. Sampai saat ini belum ada obatnya.”
“Apa tidak bisa dengan ramuan kumis kucing dokter?”
“Ampun baginda. Itu mah obat untuk kencing manis baginda..”
“Jangan ajari aku dokter bodoh. Aku juga tau..”
“Ampun baginda…ampun hamba lancang…ampun..” 
Dokter Empu Centong gemetar ketakutan.

“Masa sih gak ada obatnya?”
“Sungguh belum ada baginda.”
“Lalu aku akan cepat mati dokter?”
“Mungkin bisa seperti itu. Tapi saya gak berharap seperti itu baginda”
“Kenapa aku bisa kena penyakit aneh ini dokter?”
“Ampun baginda. Mungkin baginda pernah berhubungan badan dengan wanita yang menderita penyakit HIV/AIDS baginda..ampun baginda.”
“Jangan asal ngomong kamu dokter ! Aku tidak pernah berhubungan dengan wanita seperti itu..”
“Apa maksud baginda, baginda pernah berhubungan dengan pria?”
“Guuuuuuobloooog!!!! Belum pernah!!!!! Aku normal!!!!”
“Lalu dengan siapa baginda pernah berhubungan badan selain dengan Gusti Permaisuri?”
“Aku ini kan raja. Banyak wanita yang pernah ku cicipi. Tentu aku lupa lagi. Ratusan perempuan mungkin yang sudah pernah ku tiduri. Apa perlu mereka semua didata dan diperiksa?”
“Untuk apa baginda?”
“Untuk dipancung di alun-alun!”
“Tapi kan nanti akan tersebar kabar ini ke rakyat baginda, baginda akan malu kalau rakyat tau..ampun baginda.”
“Lalu kesimpulanmu bagaimana?”
“Baginda jangan lagi berhubungan badan lagi dengan perempuan. Perempuan yang baginda tiduri bisa juga tertular. Dan bila punya anak pun anaknya kemungkinan besar juga akan tertular.”
“Lah terus…?
“Bisa saja baginda pake pengaman..”
“Dijaga pengawal maksudmu?”
“Ampun bukan itu baginda. Pake pengaman itu maksud saya pake kondom.”
“Oh..kondom ya..?”
“Benar baginda, kondom. Karena anunya baginda tidak akan bersentuhan langsung dengan anunya perempuan yang baginda anui.”
“Anu apanya?”
“Iya anunya baginda.” 
Dokter Empu Centong berkata sambil menunjuk selengkangannya sendiri dengan jempol tangan.

Prabu Dinar Agung termangu. Dia masih berpikir keras kira-kira perempuan mana yang telah menularinya penyakit aneh itu.
”Ku pancung kepalanya kalo aku tau.” 
Gumamnya dalam hati. Dokter Empu Centong hanya bisa menunduk. 
Dia tau majikannya itu sedang berpikir keras.
“Terus masalah kondom tadi, dimana aku bisa dapat agar aku bisa berhubungan lagi dengan perempuan seperti biasa? Bisa botak aku kalau gak boleh begituan dokter.”
“Di negara tetangga juga banyak baginda. Bahkan di negara tetangga penggunaan kondom juga dianjurkan oleh kerajaannya. Saya pernah berkunjung kesana dan banyak poster-poster yang menawarkan kondom baginda…ampun.”
“Kalo di kerajaan tetangga dianjurkan kenapa dikerajaan ini tidak kau lakukan dokter?”
“Ampun baginda. Hamba khawatir baginda akan murka bila saya meniru yang dilakukan dokter dari kerajaan tetangga.”
“Kepaaaraaaat. Berarti aku kena penyakit aneh ini bukan karena salahku. Ini semua salahmu. Kamu tidak pernah menyebarkan informasi tentang kondom di kerajaan ini. Kamu bersalah!” 
Prabu Dinar Agung sambil berdiri menunjuk ke dokter Empu Centong yang mulai ngompol.

“Ampuni saya baginda. Saya terima salah baginda. Ampuuuuuun baginda….” 
Dokter ini berkata sambil menangis. Tangannya menyembah ke junjungannya yang terlihat murka itu.

Prabu Dinar Agung berteriak dengan murka.
“Prajurit !!! bawa dokter ini ke penjara bawah tanah. Pecat dia dari jabatan kepala dokter kerajaan. Potong kemaluannya jangan tersisa. Bawa cepat!!!” 

Dua prajurit yang sedari tadi berdiri tegak langsung setengah berlari menghampiri dokter Empu Centong yang masih menangis bersimpuh. Lututnya lemas mendengar hukuman yang akan diberikan. Dua prajurit yang berbadan besar seperti Mike Tyson langsung menggusur paksa dokter berbadan kerempeng ini yang terus menangis. ****
Pagi itu Prabu Dinar Agung bangun lebih awal dari biasanya. Semalaman hampir dia tak bisa tidur. Sampe ayam berkokok dia hanya memainkan HP android type terkini. Berbagai situs kesehatan dibuka dibolak balik. Kata AIDS dan HIV diketiknya  melalui google berulang-ulang.

Hampir semua situs kesehatan dimasa itu menyatakan AIDS  yang belum ada obatnya. “Mungkin aku akan segera mati. Padahal aku masih betah di dunia ini.” Pikiran ini terus mengganggunya sampai ayam jantan berkokok.

Prabu Dinar Agung keluar dari bilik langsung duduk di ruang tengah istana. Penjaga di depan pintu yang sudah terkantuk-kantuk karena dari semalam berjaga langsung berdiri dalam posisi tegap berdiri. Senjata laras panjang AT 57, senjata yang diimpor dari kerajaan tetangga cepat disandangnya. Posisi siap menunggu perintah dari raja.


Prajurit penjaga pintu melirik ke tengah ruangan. Raja sedang membakar rokok putihnya. Prajurit tadi berbisik pada prajurit lainnya yang ada di sampingnya.

”Dul, cepat SMS asisten rumah tangga! Bilangin raja sudah bangun. Cepat siapkan sarapan.”
Temannya yang disuruh pun langsung merogoh HP disaku celananya. 

“Rj sdh bngn.cpt bikin srapan. Pisang grg dan kopi. Kopinya tambah 2. Sy n Cungkring lom ngopi jg. Ok” 

Begitu bunyi SMS prajurit penjaga pintu ini ke asisten rumah tangga yang biasanya sudah stand by di dapur sejak subuh.

“Tring-tring” ada nada pesan terkirim.
“Tring-tring” sekali lagi HP berbunyi. “OK” balasan SMS dari asisten rumah tangga.

Andini nama staf bagian dapur istana itu pun keluar dari dapur membawa baki. Diatas baki itu ada sepiring pisang goreng dan 3 gelas kopi. Pisang goreng dan 1 gelas kopi ditaruhnya di meja yang ada dihadapan Prabu Dinar Agung. Sementara raja hanya melirik sebentar ke pembantu yang montok ini. Usai menyuguhkan kopi dan pisang goreng, Andini melangkah meninggalkan junjungannya itu. 

“Tunggu Andini! Sini kamu!”
Andini pun berbalik menghampiri raja. Dia bersimpuh di hadapan Prabu Dinar Agung yang duduk di kursi ukiran jati. Nampan berisi 2 gelas kopi diletakkan Andini disampingnya.

Prabu Dinar Agung menatap ke Andini yang hanya menunduk didepannya. Sangat dilarang seorang abdi memandang wajah raja. Itu sudah aturan baku di kerajaan itu.
“Kamu tau penyakit HIV AIDS?”
“Ampun baginda, hamba tidak tau.” Jawab asisten rumah tangga yang sudah sejak perawan mengabdi di istana itu menggantikan ibunya.
“Apa kamu sering sakit-sakitan Andini?”
“Ampun baginda. Kalau sering sih tidak, tapi kalau sekedar pilek dan masuk angin kadang-kadang saya juga ngalami.” Jawab Andini.
“Jadi kamu sehat-sehat saja?”
“Sehat baginda” jawab Andini.

Dalam hati Andini bingung dengan pertanyaan junjungannya itu. Tumben raja menanyakan tentang kesehatannya.

“Terakhir kamu kupanggil untuk mijit aku kapan Andini?”
“ Ampun baginda, malem jum’at dua minggu yang lalu baginda. Waktu baginda sering nonton Piala Euro.” Jawab Andini.
“Waktu aku meniduri kamu itu?” kata Prabu Dinar Agung setengah berbisik. Sepertinya dia takut terdengar oleh penjaga.
“Ampun baginda, waktu habis mijit kan baginda mau gituin saya. Tapi saya kan pas datang bulan. Jadi kan baginda urung mau gituin saya. Kalo saya enggak lagi datang bulan kan pasti saya siap digituin sama baginda, sebagai bagian dari service abdi kepada raja,” kata Andini sambil gemeteran.

Andini takut karena kejadian dua minggu sebelumnya, maka raja menanyakan tentang kesehatannya. 
“Apa karena aku gak jadi dianu ya, raja jadi marah. Ya kalo lagi merah mau dihajar juga ya gak apa-apa. Tapi kan raja yang bergidik dan mengurungkan niat. Padahal raja sudah siap menembakkan rudalnya.” Gumam Andini dalam hati.
“Jadi kamu gak penyakitan ya? Gak menularkan penyakit ke aku?” Tanya Prabu Dinar Agung dengan nada keras.
“Ampun baginda. Hamba sehat. Apa baginda mau saya pijitin sekarang, mumpung hamba sedang lampu hijau…”
“Tidak. Aku sedang bad mood. Pergi sana!”
Andini bangkit dan berdiri meninggalkan raja. Dia melangkah menuju ruang depan mengantarkan 2 gelas kopi kearah dua prajurit yang sudah dari tadi nunggu kopi diantarkan.
“Ada apa itu tadi kamu ditanyai sama baginda?”
“Baginda mau ngajak pijitan nanti malem..” jawab Andini.
“Wah, dapat hadiah lagi dong kamu dari raja, bagi-bagi aku dan si Dul ya..” kata prajurit penjaga yang badannya tinggi kurus.
“Iya tenang. Nanti aku belikan sebungkus rokok sampeyan.” 

Andini sambil beranjak meninggalkan penjaga.

Dalam aturan yang berlaku di kerajaan Pundi Intan, seorang raja boleh menggauli siapapun rakyatnya. Digauli oleh raja merupakan sebuah kehormatan dan keberuntungan. Demikian kira-kira peraturan yang berlaku dinegeri itu.

“Dul..! Sini kamu!
Raja berteriak memanggil salah satu dari penjaga pintu.
Yang dipanggil berlari menghampiri Prabu Dinar Agung.
“Siap baginda. Ada perintah?” kata Si Dul dalam posisi berdiri siaga.
“Kamu sekarang pergi ke padepokan Resi Samantha. Suruh Resi Samantha menghadap cepat. Katakan ada hal penting.”
“Baik baginda..”
“Biar cepet, minta ke supir ngantar kamu pake mobil TMW!”
“Siap laksanakan bagianda..”
Penjaga itu langsung bergegas pergi.
Prabu Dinar Agung kemudian meraih remote TV yang ada didepannya. Dia ingin menonton berita dari TV.
***
Resi Samantha
Siang itu mobil TMW yang dikendarai prajurit jaga bernama Dul sudah sampai ke gerbang padepokan Candradimuka, milik Resi Samantha. Dua orang cantrik yang menjaga gerbang tergopoh-gopoh membukakan pintu. Plat nomor mobil itu sangat mereka kenali. Angka 1 dan Lambang trisula adalah nomor khusus petinggi kerajaan.
“Tuan Resi ada?” tanya Dul ke cantrik.
“Ada, sedang mengajar murid senior.” Jawab cantrik sambil membukakan pintu.
Mobil TMW warna silver itu masuk ke dalam pekarangan padepokan dan memarkir kendaraan. Pagi itu suasana padepokan sangat sepi, karena kegiatan belajar murid sedang berlangsung. Padepokan Candradimuka sangat luas. Ada puluhan bangunan disana.
Bangunan utama adalah 10 ruang kelas yang berjajar disebelah timur, tepat dibukit yang masih ada didalam lingkungan padepokan. Sedangkan di sampingnya, bangunan puluhan rumah-rumah kecil berjejer rapih sebagai tempat tinggal para murid.
Sebuah rumah besar adalah tempat tinggal Resi Samantha. Disampingnya juga ada beberapa rumah tempat tinggal para pengajar. Tepat ditengah-tengah lingkungan padepokan ada lapangan besar untuk tempat berlatih kanuragan para murid.
Cantrik yang tadi membuka pintu gerbang mengantar prajurit kerajaan tadi ke beranda rumah Resi.
”Silahkan tunggu disini saja. Sebentar lagi tuan resi selesai mengajar.” kata Cantrik.
“Apa disini boleh merokok?” tanya prajurit kepada cantrik.
“Boleh…silahkan!” jawab cantrik sambil pamit kembali ke gerbang.

Tak lama kemudian, dari arah timur Resi Samantha datang. Prajurit yang tadi duduk di kursi beranda langsung berdiri menghormat pada Resi yang sangat disegani itu.
Resi Samantha umurnya sekitar 60 tahun. Dia adalah resi senior yang paling berpengaruh di kerajaan Pundi Intan. Murid-muridnya tersebar diseantero kerajaan, bahkan dikerajaan tetangga.
Resi senior ini adalah putra dari Resi Matigeni yang sudah turun menurun mengelola padepokan Candradimuka. Bertahun-tahun Resi Matigeni menggembleng putranya itu dengan berbagai pengetahuan. Berbagai kitab-kitab kuno pun habis dilalap oleh Resi Samantha sejak masih belia.
Setelah dianggap mempuni, Resi Matigeni mengirim Samantha muda berguru ke negeri Tibet. Ada seorang guru dinegeri itu yang terkenal dengan ilmu kebijakannya. Nama guru itu adalah Bhiksu Kampala. Bertahun-tahun Samantha menimba ilmu dari Bhiksu Kampala sampai kemudiaan dinyatakan lulus dengan predikat terbaik.
“Ada apa prajurit?” tanya Resi Samantha kepada Dul.
“Ampun tuan resi. Baginda meminta tuan untuk datang ke istana. Ada hal penting kata Baginda.” Kata Dul.
“Baiklah. Pergilah kau duluan.”
“Apa tuan resi akan pergi ke istana dengan kesaktian tuan?” tanya prajurit.
“Kesaktian apa prajurit. Aku kesana mau naik motor matic saja.” kata Resi.
“Oh. Saya kira tuan akan pakai kesaktian seperti film di TV. Menghilang, tau-tau sudah ada di istana.” Kata prajurit.
“Ah….gak begitu…”kata Resi sambil masuk untuk ganti pakaian.

Prajurit yang ditugaskan menyusul ini ditinggalkan. Dul tau bahwa dia sudah selesai melaksanakan tugas. 
***

Penyakit Raja
Resi Samantha menghadap kepada Raja Dinar Agung. Dia sudah tau bahwa ada hal penting yang  ingin disampaikan sang Raja.
“Ampun Adinda Raja, hamba memenuhi panggilanmu. Ada apa gerangan sehingga adinda Raja yang agung memanggil hamba yang hina dina ini?”
“Wahai tuan resi nan bijak. Ada masalah penting yang ingin kutanyakan padamu. Kebijakanmu, tingginya pengetahuanmu mungkin bisa menerangkan hatiku yang sedang gelap ini.” Kata Raja Dinar Agung dengan sedikit tersendat.
Resi Samantha  berkata.
“Katakan apa itu adinda Raja. Keterbatasan pengetahuanku mungkin bisa menjadi pengobat masalah adinda Raja.”
Raja Dinar Agung menghela nafas panjang. Kemudian dia berucap sambil menunduk malu.
“Tuan Resi tau penyakit HIV/AIDS?”
“Dengan keterbatasan pengetahuan hamba tau adinda Raja. Itu penyakit langka yang susah dicari obatnya. Bisa menular karena berhubungan badan dengan orang yang sudah terkena. Kenapa adinda Raja menanyakan itu?”
“Aku kena penyakit itu tuan resi!”
“Oh. Hamba ikut prihatin adinda Raja…”
Raja Dinar Agung pun tak kuat menahan tangis. Resi Samantha berdiri dari duduknya. Dipegangnya pundak raja.
“Sabar dinda Raja. Semua penyakit pasti ada obatnya. Hanya mungkin pengetahuan kita belum bisa menemukannya.” Kata Resi Samanta sambil menepuk punggung Raja Dinar Agung yang masih menangis.
“Apa saranmu tuan resi?”
“Hmmmmm…apa ada yang bisa menentramkan hati adinda Raja?”
“Aku sudah putus asa tuan resi. Aku sudah tak bisa memimpin kerajaan ini. Aku ingin mencari ketenangan sebelum ajal menjemputku….”
Tangis Raja Dinar Agung semakin keras.
Resi Samantha kembali ke tempat duduknya. Sebagai orang yang dituakan dia tak mau terlalu terbawa dalam kesedihan lawan bicaranya.
“Saran hamba yang terbatas pengetahuan ini, Putri Tantri harus segera dinobatkan menjadi pengganti adinda Raja. Adinda Raja sebaiknya menenangkan diri ke Gunung Himalaya. Disana tempatnya sangat tenang untuk bisa mendekatkan diri pada sang Pencipta.”
Resi Samantha bicara dengan suara yang berwibawa. Tangis Raja Dinar Agung pun terhenti karena pengaruh nada bicara resi sakti ini.
“Tapi sebelum ke Gunung Himalaya, dinda bisa mendapatkan obat ketenangan batin dari seorang guru di Tibet. Dia adalah Bhiksu Tong, murid dari guru hamba Bhiksu Kampala. Beliau adalah kakak kelas hamba. Di negeri Tibet beliau dikenal sebagai Bhiksu yang sangat bisa memberikan semangat bagi orang-orang yang putus harapan. Saya kira beliau akan bisa memberi jalan keluar dari masalah yang dinda Raja alami.”
“Baiklah bila itu saranmu tuan resi. Aku akan mengikutinya. Aku istirahat dulu, pikiranku masih tidak bisa tenang.”
Raja Dinar beranjak dari duduknya. Dia masuk ke bilik tidurnya.
Resi Samantha juga keluar dari ruangan yang sedari tadi memang dikosongkan. Tak seorang pun boleh ada didalam ruang khusus itu selain mereka berdua. Mungkin karena sangat rahasia yang dibicarakan.
***
Ratu Tantri Naik Tahta
Hari itu di Istana semua telah siap dan tertata dengan baik untuk upacara dan Pesta Penobatan Ratu Tantri. Semua tamu undangan sudah sejak 3 hari yang lalu ada di kotaraja.
Mereka disambut dan dipersilahkan untuk masuk kedalam istana. Para raja dan pembesar kerajaan sahabat juga diundang. Semua hadir dengan mengenakan pakaian kebesaran kerajaan masing-masing.
 Setiap orang ditemani oleh penyambutnya dan setelah itu duduk di tempat yang telah disediakan, sementara musik terdengar dengan merdu dibawakan oleh sinden yang didatangkan dari kerajaan Harum Sari. Alunan musik itu mengiringi langkah kaki para tamu undangan yang datang.
Raja Dinar Agung duduk di kursi singgasana ditemani Ratu Tantri disampingnya juga diatas kursi singgasana yang bentuknya serupa dengan kursi ayahnya. Para selir diduduk disamping kanan dan kiri dua kursi singgasana itu.
 Ratu Tantri  hari itu terlihat sangat cantik dan anggun. Sesekali Raja Dinar Agung bercakap-cakap  sambil mengelus-elus tubuh Ratu Tantri. Sementara Resi Samantha tampak tenang dan duduk disamping kiri ruangan. Dibelakangnya puluhan resi lainnya juga duduk dengan tenang.
Raja Dinar Agung memperhatikan para tamu undangan dihadapannya. Sepertinya dia memperhatikan siapa saja tamu yang datang. Para tamu yang diperhatikan menganggukkan kepala seperti ingin diabsen.
Seperti juga ayahnya, Ratu Tantri pandangan matanya melihat para tamu yang hadir. Para tamu dan pembesar kerajaan begitu kagum dengan kecantikan Ratu Tantri. Tampak sekali dia adalah seorang Puteri raja yang bersahaja dan rendah hati. Hal ini menenteramkan yang hadir, harapannya agar ratu bisa memimpin kerajaan dengan bijak.
Para tamu undangan semakin lama semakin banyak dan semua mengenakan baju yang serba indah, setiap tamu diantar oleh petugas istana menempati tempat duduk yang sudah ada nama sesuai dengan undangan.
Diluar Istana terdapat panggung yang diisi oleh para penabuh gamelan serta dipertunjukan aneka hiburan kesenian, tari-tarian dan wayang kulit dengan berbagai kesenian lainnya.
Di beberapa bagian ruangan, nampak beberapa petugas pewarta istana mengambil gambar dengan kamera digital. Setiap tamu yang datang diambil gambar.
Ratu Tantri sesekali melempar senyum kepada setiap tamu dan undangan. Tampak para putri bangsawan yang duduk mengumpul bergerombol sambil berbisik-bisik namun mata mereka tidak lepas dari Raja Dinar Agung dan Ratu Tantri yang ada didepan.
Tibalah saatnya acara sakral dimulai. Raja Dinar Agung berdiri memberikan pidato sambutan. “Wahai para tamu undangan dan pembesar kerajaan yang saya hormat. Dengan ijin yang Maha Kuasa, demi kemakmuran dan kebesaran kerajaan Pundi Intan, mulai detik ini aku, Raja Dinar Agung menyatakan mengundurkan diri sebagai raja. Selanjutnya, sesuai dengan Undang-undang kerajaan Pundi Intan, Ratu Tantri  Putri Jauh Dimata Dekat Dihati Penguasa Nagari ku nobatkan menjadi Ratu di Kerajaan Pundi Intan. Apa kamu bersedia wahai Ratu Tantri  Putri Jauh Dimata Dekat Dihati Penguasa Nagari?”
Tantri Putri menjawab sambil berdiri, bersedia !
Seperti paduan suara, para resi yang dipimpin oleh Resi Samantha merapalkan do’a, diiringi tepukan tangan para tamu undangan. Dari luar suara petasan, terompet dan sirine dibunyikan dengan riuh. Putri Tantri pun resmi menjadi ratu di negeri itu.
Demikianlah Pesta Penobatan Ratu yang agung itu berlangsung meriah dan berjalan hingga tujuh hari tujuh malam. Semua orang kelelahan namun merasa bahagia.
***
Dinar Agung Berkelana
Pagi-pagi benar Dinar Agung telah berpamitan kepada  Ratu Tantri, putri tunggalnya yang sudah dinobatkan jadi ratu di kerajaan Pundi Intan. Sejak permaisuri meninggal, Raja Dinar Agung tidak lagi mengangkat permaisuri.
Selir-selir berlomba merayu ingin jadi permaisuri namun tak pernah digubris Raja Dinar Agung. Dari tujuh  selir hanya dua orang yang memiliki anak. Dewi Dursari memiliki seorang putra bernama Raden Lanang Jaya, sedangkan Dewi Kirani memiliki anak bernama Raden Wisageni.
Raden Lanang Jaya, Raden Wisageni dan Ratu Tantri usianya tak terpaut jauh. Kedua putra dari selir itu sekarang sedang menimba ilmu di kerajaan Tibet sesuai petunjuk Resi Samantha. Sudah bertahun-tahun mereka tak pulang ke Kerajaan Pundi Intan.
“Ayah kapan akan kembali ke kerajaan?” Tanya Ratu Tantri pada ayahandanya.
“Suatu saat mungkin aku kembali. Tapi suratan takdir yang akan menentukan. Bila kutemukan ketenangan jiwa, ku temukan ketentraman hidup dimana pun itu adanya, mungkin aku tak akan kembali ke sini anakku.”
Raja Dinar Agung yang sekarang sudah jadi mantan raja berkata sambil membelai rambut putrinya.
Ratu Tantri menangis sedih. Dipeluknya ayahnya. Para selir dan abdi istana juga nampak sedih. Beberapa dari mereka tak kuasa menahan tangis.
Beberapa abdi istana memasukkan koper-koper besar ke dalam mobil Lemsus hitam. Dua orang pengawal turut mendampingi perjalanan Dinar Agung.
Cungkring dan Dul adalah prajurit yang dipilih menjadi pengawal pribadi Dinar Agung. Kesetiaan kedua prajurit ini sudah teruji. Selama ini mereka ditugaskan di ring satu pengamanan raja.
Dinar Agung sudah masuk ke mobil. Mereka akan pergi ke bandara kerajaan. Pesawat kerajaan sudah disiapkan sejak kemarin di bandara.
“Jangan lupa kirim kabar via BBM atau WA ya ayah?” pinta Ratu Tantri.
“Jaga diri baik-baik anakku.” Kata Dinar Agung dari dalam mobil.

Para selir dan abdi istana juga melambaikan tangan dan mengucap perpisahaan. Mobil pun melaju keluar dengan dikawal oleh kendaraan patroli istana.

***
Amuk Ranggalawe

“Kau Amuk Ranggalawe?” tanya seorang berpakaian jubah merah pada pria tua dihadapannya yang sedang menikmati kopi di warung Aki Silun.
Yang ditanya hanya mengangguk. Pria ini usianya sekitar 60 tahun. Dibahunya terselempang selendang warna biru. Dikepalanya sorban besar menutupi rambut.

Lelaki muda yang baru datang tadi duduk tepat dihadapan Amuk Ranggalawe.
“Aku pesan kopi Ki…! Jangan manis-manis!” Teriaknya pada Aki Silun, pemilik warung yang dari tadi sibuk mencuci piring dipojok dapur warungnya.

Tohpati usianya sekitar 40 tahun. Kulitnya putih, dan hidungnya mancung. Pakaian yang dikenakannya tidak terlalu bagus. Sama seperti yang dipakai kebanyakan orang di Pundi Intan.

“Kamu siapa?” Amuk Ranggalawe bertanya kepada pria yang baru datang itu. Yang ditanya tersenyum. Dia menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Saya, Tohpati, dari kerajaan Gondola.”
“Jauh sekali. Ada bisnis apa di Intan Pundi Ki Sanak?”
“Aku datang khusus untuk menemui tuan Amuk.”
“Jangan panggil tuan, panggil aja aku Mas Amuk!”

Aki Silun datang mengantarkan kopi pesanan Tohpati. Setelah itu kembali ke bilik dapur warungnya. Pagi itu suasana warung sepi. Biasanya warung itu hanya ramai ketika pasar desa buka seminggu sekali pada hari Kamis.

“Apa yang bisa saya bantu dulur?” Amuk Ranggalawe bertanya pada Tohpati yang baru dikenalnya itu. Dihati Amuk Ranggalawe penasaran ada orang dari negeri yang jauh datang padanya. Pasti ada keperluan penting, pikir Amuk Ranggalawe.

“Mas Amuk asli orang Pundi Intan?”
“Iya. Saya asli orang sini.”
“Keluarga Mas Amuk juga ada disini?
“Iya. Semua ada disini. Kami memang menetap disini. Tidak pernah kemana-mana.”
“Ohw…iya..iya…”

Tohpati kemudian melampaikan tangan memanggil Aki Silun. Yang dipanggil menghampiri.
“Jualan rokok ki?”
“Ada.”
“Minta dua bungkus rokok Gudang Gandum, Dua bungkus lagi rokok yang kangmas Amuk !”
“Iya…kang.”
Aki Silun kemudian mengambil rokok di tas plastik yang tergantung ditiang tengah warung. Disodorkannya masing-masing sesuai dengan permintaan Tohpati.
“Terimakasih.” Amuk Ronggolawe sambil membuka rokok Sampukerta pemberian Tohpati.
“Bagaimana menurut Mas Amuk keadaan kerajaan Pundi Intan sekarang? Lebih enak atau lebih buruk dari dulu-dulu?” Tohpati mulai lagi bertanya.
“Tidak ada yang lebih enak, tidak ada yang lebih buruk tentang kerajaan ini.” Amuk Ronggolawe menjawab sambil menikmati kepulan asap rokoknya.
Dia melanjutkan bicara.
“Kalau disebut enak, kondisinya ya gini-gini juga. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin melarat.” Tohpati hanya mengangguk-angguk. Dia menyimak betul perkataan lawan bicaranya.
“Kalau disebut kondisinya lebih buruk. Ya sejak jaman Mendiang Raja Rakian Dinar, diturunkan ke Raja Dinar Agung, kemudian turunkan ke Ratu Tantri, ya tetap saja tak ada bagusnya untuk rakyat disini. Makan susah, hidup susah semua susah.” Kata Amuk Ronggolawe. Sepertinya pria tua ini begitu hapal kondisi kerajaan yang ditinggalinya.
“Bagaimana Ratu Tantri?” Tohpati melemparkan pertanyaan.
“Buah tak jauh dari pohonnya. Apa yang bisa dilakukan oleh anak kecil, memimpin kerajaan miskin ini?” Amuk Ronggolawe malah balik bertanya.
“Sungguh Mas Amuk begitu paham kondisi kerajaan ini.” Tohpati memberi pujian pada Amuk Ronggolawe. Yang dipuji tak memperlihatkan ekspresi apa-apa. Raut wajahnya tetap serius.
“Berapa banyak yang paham tentang kondisi ini?” Tanya Tohpati.
“Banyak. Teman-teman seperguruanku dulu juga punya pikiran yang sama. Kami prihatin dengan carut marutnya negeri ini.” Amuk berkata sambil membuang puntung rokok, dan kembali membakar sebatang rokok.
“Semua saudara seperguruanku menyebar di Pundi Intan ini. Mereka mendirikan perguruan sendiri. Setiap ada perguruan yang memakai nama Cakar Geni sudah pasti saudara seperguruanku. Paling ditambahi lagi nama, ada Cakar Geni Jaya, Cakar Geni Sakti dan Cakar Geni lainnya. Banyak sekali tersebar. Ada puluhan perguruan Cakar Geni.” Amuk Ronggolawe menjelaskan. Tohpati hanya mengangguk-angguk.
“Apa bukan saatnya perlawanan Kangmas?” Tohpati memancing pertanyaan.
“Maksud dulur?”
“Kenapa tidak kita ambil kekuasaan itu. Bukan demi kita, tapi demi rakyat Pundi Intan tentunya..” Tohpati berkata sambil memandang wajah Amuk Ronggolawe. Yang dipandang sejenak diam. Sepertinya dia gusar untuk  menjawab.
“Kangmas takut? Atau kangmas punya pertimbangan lain?” Tohpati kembali bertanya.
“Apa yang aku takutkan. Umurku sudah diujung kematian. Tapi perlawanan artinya perang. Perang adalah judi. Ada resiko yang pasti terjadi. Lalu bagaimana nasib rakyat jiga ada perang?”
“Iya, saya paham dengan apa yang Kangmas maksudkan.”
Sejenak mereka berdua terdiam.
“Sebenarnya apa maksud pembicaraan ini?” Amuk Ronggolawe ganti bertanya pada Tohpati.
“Sejujurnya saya hanya utusan Kangmas. Ada adipati yang punya pemikiran yang sama dengan Kangmas. Apa yang dipikirkannya siang dan malam persis seperti pikiran Kangmas. Harus ada yang berani melawan Ratu Tantri. Ini demi rakyat yang puluhan tahun tertindas.” Kata Tohpati.
“Adipati mana?” Amuk Ronggolawe bertanya.
“Masih belum bisa saya katakana Kangmas. Tapi beliau siap dengan segala resikonya. Dia sanggup menanggung semua biaya untuk perang ini. Maka beliau mengutus saya menemui kangmas. Karena Kangmas punya kekuatan yang bisa digerakkan untuk perlawanan ini. Kami yakin bila kangmas ada dipihak kami kemenangan pasti kita dapatkan.” Tohpati berkata sambil tersenyum.
“Ohw…” Amuk Ronggolawe sepertinya mulai mengerti maksud kedatangan orang yang baru dikenalnya itu.
“Tujuan Adipati itu apa? Tahta, kekuasaan atau memang untuk memperbaiki kehidupan rakyat Pundi Intan?” Amuk Ronggolawe kembali bertanya. Sepertinya dia ingin memastikan tak ada niat jahat dari tamunya itu.
“Tentu Kangmas lebih paham. Memperbaiki kondisi ini harus dengan memegang kekuasaan. Dengan kekuasaan baru kita bisa berbuat.”
”Apa ini serius?”
“Tentu serius Kangmas. Apa alasan Kangmas tidak yakin?”
“Aku harus bicara dulu dengan saudara-saudara seperguruankku. Aku harus minta pandangan dan sikap mereka.”
“Saya yakin mereka akan mendukung bila Kangmas yang ajak.”
“Ya. Itu pasti. Tapi tetap mereka harus diajak bicara.”
Mereka berdua kembali terdiam.
“Sampaikan juga ke Adipati itu. Ada beberapa hal yang harus dia lakukan. Perang ini harus kita menangkan. Tapi cara untuk menang itu harus benar-benar disusun dengan baik. Harus ada kepastian berapa kekuatan Adipati itu. Berapa pula kekuatanku. Juga berapa kekuatan lainnya yang harus dihimpun. Rakyat juga harus dipengaruhi untuk mendukung pemberontakan ini.” Amuk Ronggolawe berkata sambil menatap wajah Tohpati. Dia kemudian melanjutkan berkata.
“Di wilayah selatan ada gerombolan Lohjawi dan beberapa gerombolan lainnya. Mereka juga harus kita ajak. Kita janjikan kedudukan ketika pemberontakan ini berhasil. Mereka bisa jadi prajurit bayaran untuk pemberontakan ini.”
“Kangmas dekat dengan Lohjawi?”
“Dia masih kerabat jauh denganku. Tapi kami sudah lama tak ketemu.”
“Sebaiknya urusan menghimpun gerombolan itu menjadi urusan Kangmas. Adipati hanya bertugas menyiapkan prajuritnya, dan menyiapkan bekal untuk pemberontakan ini.”
“Kapan aku bisa ketemu dengan Adipati itu?”
“Pasti ada saatnya untuk itu.” Tohpati kemudian berdiri keluar dari warung. Tak lama kemudian dia kembali masuk. Ditangannya ada pundi kain warna coklat. Disodorkannya pundi itu kehadapan Amuk Ronggolawe.
“Ini titipan dari Adipati. Untuk hadiah dan keperluan Kangmas menghimpun kekuatan. Beberapa minggu lagi aku akan datang menemui Kangmas.”
“Oh..iya. Kita ketemuannya diwarung ini saja. Aku hampir setiap hari ada disini. Biar nanti aku panggil saudara-saudaraku ke warung ini satu persatu. Juga nanti aku kirim utusan ke Lohjawi. Percayakan saja semua padaku. Tapi ingat, jika tujuan terpenuhi, jangan buat kami kecewa. Keringat yang keluar harus dihargai.” Kata Amuk Ronggolawe. Tohpati mengangguk.
“Tentu Kangmas. Ini adalah perjuangan bersama. Resiko bersama, dan hasilnya kita nikmati bersama.”
Tohpati kemudian berpamitan. Mereka bersalaman.
“Sampaikan salamku pada Adipati. Aku menyanggupi untuk pemberontakan ini.”
“Baik Kangmas. Pasti saya sampaikan.”
Tohpati pergi dengan sedan merah yang terparkir di depan warung Aki Silun. Amuk Ronggolawe pun ikut keluar. Pundi uang itu dibawanya.
***


Pertemuan Pemberontak
Puluhan orang melakukan pertemuan sore itu. Mereka semua adalah saudara seperguruan Amuk Ronggolawe waktu menjadi murid Begawan Darmasari di pergurun Cakar Geni. Semua yang ada diruangan itu sekarang memiliki perguruan masing-masing. Usia mereka rata-rata 50-60 tahun, tak terpaut jauh dengan umur Amuk Ranggalawe yang dituakan.
Mereka semua duduk diatas tikar yang digelar ditengah rumah Amuk Ranggalawe. Asap rokok seakan menelan orang yang ada di tempat itu. Dihadapan mereka ada piring-piring berisi kue dan gelas kopi.
 “Ada rombongan Lohjawi juga datang” kata seorang yang baru masuk ke dalam rumah memberitahukan pada yang ada disitu.
“Mereka kau undang Muk?” bertanya Ki Pandi ke Amuk Ronggolawe. Ki Pandi adalah pemilik perguruan Cakar Geni Sanggabuana, satu angkatan perguruan dengan Amuk Ronggolawe.
“Iya.., tunggu aja sampe mereka masuk.” Jawab Amuk Ronggolawe.
Tak berapa lama belasan orang rombongan Lohjawi masuk ke ruangan. Mereka berputar menyalami orang-orang yang sudah datang lebih dulu. Lohjawi dipersilahkan duduk disamping Amuk Ranggalawe. Beberapa pelayan menyuguhkan kopi dan kue-kue pada tamu yang baru datang.
Sore itu Lohjawi memakai baju hitam. Sesekali terdengar gelak tawa dari orang-orang yang hadir. Pertemuan sore itu seperti reuni melepas kerinduan sesama saudara seperguruan.
Amuk Ronggolawe kenal sudah lama. Diantara mereka ada hubungan kekerabatan. Lohjawi dikenal sebagai pemimpin berandal yang paling berpengaruh di wilayah selatan kerajaan Pundi Intan dengan anakbuah yang jumlahnya ribuan.
Kemudian dengan nada keras agar terdengar oleh semua yang ada disitu Lohjawi berkata.
“Kakang Ronggolawe. Ada apa kau mengundangku. Utusanmu hanya berkata aku diminta datang membawa beberapa orang-orang kepercayaanku. Apa ada masalah besar yang harus ku selesaikan untukmu..?
Semua yang ada diruangan itu terdiam. Mereka menghormati Lohjawi.
“Baiklah adi Lohjawi dan semua dulur-dulur. Terimakasih kalian sudah datang untuk undanganku. Kalian semua keluargaku. Keluargaku semua. Dinda Lohjawi juga keluargaku, keluarga Cakar Geni juga.”
Kemudian Amuk Ronggolawe melanjutkan.
“Ternyata keluarga kita ini banyak di negeri ini. Keluargaku kekuatan besar di negeri ini. Semua punya pengikut, semua punya kekuatan.”
Semua yang hadir diam dan terus menyimak. Mereka masih berpikir arah bicara Amuk Ronggolawe.
“Satu hal yang ingin ku tanya pada saudara-saudaraku. Apa yang kita dapat dari kerajaan. Seperti apa kita diperlakukan oleh kerajaan. Sejak jaman Raja Rakian Dinar, diturunkan ke Raja Dinar Agung, kemudian turunkan ke Ratu Tantri, apa yang kita dapat?” Amuk Ronggolawe berkata sambil sorot matanya memandangi satu-persatu  saudara-saudaranya. Yang dipandangi hanya mengangguk-angguk kecil mengamini ucapan Amuk Ronggolawe.
“Tak perhatian istimewa dari kerajaan. Kita sama seperti rakyat jelata lainnya. Kita juga sama harus bayar pajak. Kita juga selalu diawasi dalam menjalankan perguruan.”
Beberapa detik Amuk Ronggolawe diam. Pandangannya terus berputar menatap satu persatu yang hadir disitu. Kemudian dia memandang ke Lohjawi yang ada disamping kirinya. Sambil menyentuh paha Lohjawi dia berkata.
“Dimas Lohjawi tetap menjadi begal dihutan. Menjadi berandalan yang mencari makan sambil dikejar-kejar prajurit kerajaan. Aku, Dimas Lohjawi dan sedulurku semua seperti dipandang sebelah mata oleh kerajaan, turun temurun.”
“Aku hitung matang-matang, saatnya kita melawan. Kekuatan yang akan kita satukan untuk runtuhkan Ratu Tantri, anak kecil yang sekarang menggantikan ayahnya!”
Amuk Ronggolawe berkata sambil mengepalkan tinjunya. Giginya terkancing dengan mata yang melotot melukiskan kemarahan yang luarbiasa.
Semua yang ada disitu saling melihat orang yang disampingnya. Mereka tak menyangka Amuk Ronggolawe berani mengambil keputusan yang sangat berbahaya itu. Keputusan untuk memberontak!
“Aku sudah berhitung. Kekuatan Cakar Geni, ditambah kekuatan Dinda Lohjawi, ditambah lagi kekuatan dari salah satu kadipaten, ditambah lagi bila kita dapat dukungan rakyat tentu mampu meruntuhkan kekuasaan yang sekarang. Aku sudah matang berhitung dan aku harap sedulur semua percaya padaku,”
Kemudian Amuk Ronggolawe melihat ke Lohjawi dan berkata.
“Bagaman Dimas Lohjawi menurutmu?”
Lohjawi sebelum menjawab memperbaiki posisi duduknya. Lelaki brewok ini melihat tajam ke Amuk Ronggolawe.
“Aku percaya padamu Kakang. Aku siap membantumu. Apa yang kau katakan itu benar. Tak ada untungnya kerajaan selama ini untuk kita. Kita seperti berebut sisa tulang yang sudah dihabiskan oleh kerajaan. Aku siap bergabung.”
Semua yang ada diruangan itu bertepuk tangan. Mereka semua sudah larut dalam semangat untuk memberontak.
“Kita lawan!!!” Beberapa orang berkata keras.
“Boleh aku bicara Kakang?” Ki Joko Bundan dari perguruan Cakar Geni Perak angkat bicara.
“Monggo dinda..!”
“Kita harus atur matang-matang rencana ini. Jangan sampai kita salah cara. Aku setuju kita berontak. Tapi semua harus dipersiapkan matang-matang,”
Beberapa orang diruangan itu mengamini ucapan Ki Joko Bundan.
“Lalu siapa nanti yang kita tunjuk jadi rajanya Kangmas?” Ki Truna dari perguruan Cakar Geni Jalu yang duduk disudut ruangan bertanya sambil mengacung.
“Tentu bukan aku yang akan jadi Raja sedulur. Mungkin posisi patih cukup untukku. Dan sedulur semua pasti akan menjadi tumenggung dan punggawa kerajaan kalo semua ini berhasil.”
Semua yang ada disitu mengangguk-anggung sambil tertawa senang. Tapi rupanya Ki Truna belum puas. Sekali lagi dia bertanya sambil mengacung.
“Lalu rajanya siapa kangmas?”
“Dari awal sudah ku katakan. Ada salah satu adipati yang membiayai pemberontakan ini. Dia yang akan jadi rajanya.”
“Siapa adipati itu kangmas?” Truna kembali bertanya. Dia sepertinya penasaran.
“Aku belum bisa katakan. Nanti ada saatnya kalian tau itu.”
Pertemuan itu pun berlanjut. Diselingi dengan gelak tawa. Mereka semua sudah membayangkan akan ada perang besar. Perang yang akan menjadi perubahan derajat hidup mereka.
***

Ki Lurah Medi

Ki Lurah Medi mengumpat keras, “Ratu Tantri memang keras kepala. Sudah aku katakan panen musim ini gagal, tak ada pajak dan upeti yang bisa ku serahkan, tapi  dia memaksakan kehendaknya.”

“Agaknya Ratu terpengaruh dengan Ki Lurah Paksi yang sudah menyetor pajak duluan. Mungkin Ratu menganggap desa kita juga tidak ada masalah.” Jawab Ki Kamitua.

 “Orang-orang bodoh, memaksakan setor pajak padahal rakyat susah” geram Ki Lurah. Dia melanjutkan kata katanya, “Tetapi jangan khawatir. Semua pajak kututupi sendiri. Aku tak tega mesti minta dari rakyatku. Tapi ini tak bisa dibiarkan. Suatu saat pasti ada perlawanan.”
Ki Kamitua hanya mengangguk-angguk.
“Kakang, ada Ki Truna dari Cakar Geni Jalu, “ Kata seorang pembantu pada Ki Lurah.
“Suruh masuk!”
Tak lama kemudian Ki Truna masuk ke ruangan. Ia bersalaman dengan Ki Lurah dan Ki Kamitua.  “Darimana Ki Truna ?” bertanya Ki Lurah itu kepada Ki Truna setelah sejenak mereka terdiam.
“Ki Lurah, Aku datang kesini ingin bertanya. Kita semua tau, tahun ini kita gagal panen. Tapi kita masih diharuskan bayar pajak oleh kerajaan. Tidakkah itu menyengsarakan rakyat di dusun ini?” kata Ki Truna.
Ki Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Itulah yang barusan aku obrolkan dengan Ki Kamitua. Aku putuskan untuk menutupnya dari harta pribadiku. Semua aku tutupi.” Kata Ki Lurah.
“Bagaimana dengan lurah-lurah yang lain? Apa tidak ada yang protes?”
“Tentu mereka juga ingin protes. Tapi Ki Truna kan tau sendiri bagaimana Ratu kita ini. Siapa yang berani melawan?”
“Aku berani!”
“Ki Truna jangan sembarangan ngomong. Bahaya!”
“Apa yang ditakuti untuk kebenaran. Ya memang waktunya dilawan. Seharusnya lurah-lurah, adipati, semua harus melawan.”
“Terus bagaimana Ki Truna?”
“Sampeyan mestinya bertanya ke sampeyan sendiri. Untuk apa sampeyan hidup?”
“Maksud sampeyan gmana Ki Truna? Aku belum paham.”
“Sampeyan jadi lurah itu untuk rakyat sampeyan. Hidup mati sampeyan ya untuk kawulo, untuk rakyat. Terus sampeyan sekarang gimana? Apa sampeyan mau diam. Ya artinya sampeyan gak ada artinya hidup toh…” Ki Truna mulai berani menyindir Ki Lurah.
Yang disindir sepertinya tau arti ucapan Ki Truna. Dalam hati kecilnya ia juga merasa. Wajah Ki Lurah memerah sejenak. Bagaimanapun juga hatinya tersinggung ketika dirinya diremehkan.
Ki Lurah Medi mengerutkan keningnya, katanya kemudian dengan suara datar, “Apa yang harus ku lakukan menurutmu Ki Truna?”
“Pemberontakan!” Ki Truna berkata sambil menatap wajah Ki Lurah, berganti ke wajah Ki Kamitua. Yang ditatap kemudian saling pandang. Mereka berdua mengangguk mengerti apa ucapan Ki Truna.
“Akan ada pemberontakan besar. Semua saudaraku sudah merapatkan barisan. Beberapa kadipaten juga sudah siap untuk memberontak. Tujuannya sama. Ratu Tantri harus dilengserkan. Tinggal kalian lurah-lurah mau ikut kemana? Kalian masih betah ditindas?”
“Emoh…atuh Ki Truna. Kalau itu terjadi dan semua kompak. Aku pasti ikut yang banyak.”
“Ajak lurah-lurah lainnya. Pemberontakan pasti tak lama lagi terjadi.”
“Baiklah, akan ku obrolkan dengan lurah-lurah lainnya.”
Mereka bertiga melanjutkan obrolannya. Malam mulai larut. Suasana di sekitar rumah Ki Lurah Medi nampak sepi.

***


Serangan Pemberontak di Kotapraja

Tumenggung Wirabaya semakin galak meneriaki prajuritnya. Suasana Kotaraja dipenuhi puing-puing bangunan terbakar. Pertempuran semalam begitu dasyat. Hampir istana berhasil direbut pemberontak. Mayat-mayat bergelimpangan dinaikan ke atas mobil bak terbuka. Beberapa diantara mereka tanpa lengan dan kaki.

Erangan kesakitan dari prajurit yang terluka. Mereka dirawat oleh dokter-dokter kerajaan yang jumlahnya hanya sedikit, tak sebanding merawat ratusan prajurit yang terluka.
Tumenggung Wirabaya mengigit bibir. Jumlah korban semakin bertambah. Hampir setiap malam pemberontak melakukan serangan. Menyerang dalam gelap dan pergi saat ayam kokok berbunyi. Malam hari menjadi momok menakutkan bagi prajurit. Siang hari saat lelah mereka tetap berjaga, dan setiap malam mereka harus menghadapi serangan, setiap malam pula.
Tumenggung Wirabaya mendengus. Dia tau semua masih belum berakhir. Pemberontak masih akan terus datang. Sementara prajurit kerajaan sudah mulai putus asa.
Bala bantuan dari negeri tetangga tak kunjung datang. Sepertinya janji mereka hanya omong kosong. Sudah sebulan waktu yang mereka janjikan. Jangankan seribu prajurit pilihan yang mereka datangkan, seorangpun tak nampak batang hidungnya.
Orang kepercayaan Patih Destira ini menelan ludah melihat mayat-mayat yang mulai membusuk. Tak sempat lagi mengubur mayat-mayat yang sedemikan bertumpuk. Tenaga yang ada sudah habis terkuras untuk beradu nyawa setiap malam. Ia menghela nafas panjang.
Semalam 200 prajurit mati, ratusan lagi terluka. Semua kelelahan, lelah fisik dan mental. Tapi Temenggung Wirabaya tau dia tak boleh memperlihatkan kelelahannya pada anakbuahnya.
Seorang prajurit setengah berlari menghampirinya.
“Tuan Patih memanggil Tumenggung.”
Wirabaya hanya mengangguk. Seakan malas dia melangkah menuju kepatihan. Disana Patih Destira sudah menunggu. Ia tegap masuk ke ruang pertemuan kepatihan. Patih Destira menoleh sambil mengangguk menyambutnya. Beberapa orang punggawa dan tumenggung sudah hadir disitu.
“Duduk Wirabaya. Kau nampak lelah sekali.”
Tumenggung Wirabaya dan Patih Destira bukanlah orang lain. Mereka adik kakak yang menjadi petinggi di kerajaan Intan Jaya.
“Sengaja semua keluarga kita ku kumpulkan hari ini. Ada hal penting yang perlu ku sampaikan. Tapi aku mesti bertanya dulu ke Wirabaya, bagaimana kemungkinan ke depannya dinda?”
Wirabaya kemudian menjawab.
“Mereka begitu kuat kanda Patih. Malam mereka menyerang, pagi buta mereka menghilang. Korban begitu banyak dipihak kita. Mental prajurit sudah jatuh. Kita sudah tidak lagi bisa bertahan.”
“Aku sudah bisa memperkirakan itu. Jadi kesimpulannya kita pasti kalah?”
“Kurasa kita hanya bisa bertahan 3 hari lagi kanda patih.”
Semua yang ada diruangan itu saling melirik. Mereka semua gelisah dengan apa yang dikatakan Wirabaya. Patih kemudian kembali bertanya.
“Bagaimana bantuan yang dijanjikan kerajaan Sanggara dan Bandara?”
“Omong kosong kanda Patih.”
“Keparat. Mereka hanya baik didepan kita. Persahabatan antar kerajaan hanya untuk kelancaran usaha dagang mereka!” Patih Destira mulai terbakar amarah. Kemudian Ia bertanya.
“Bagaimana laporan Prajurit telik Sandhi yang terkini Tumenggung Karsa?”
Tumenggung Karsa yang sedari tadi hanya mengikuti obrolan Patih dan Wirabaya kemudian menjawab.
“Pemberontak itu ada yang membiayai. Bila hanya kelompok Cakar Geni dan Lohjawi mereka tak akan sekuat ini. Ada pasukan asing yang masih belum diketahui asalnya. Amuk Ranggalawe hanya orang yang digerakkan. Ada orang lain yang menggerakkan, itu yang sulit ditebak.” Kata Tumenggung Karsa.

Tumenggung Karsa adalah pemimpin pasukan telik sandhi. Pria berbadan ceking ini masih saudara sepupu dengan Patih Destira dan Tumenggung Wirabaya. Patih Destira kemudian berkata.
“Cari tau siapa penggerak yang sebenarnya! Walau kita kalah tapi setidaknya kita tau siapa yang menghancurkan kita!”
“Iya kakang Patih.”
“Dan kau Wirabaya. Istirahatlah, kau pasti lelah. Nanti malam kau harus kembali berperang.”
“Iya kakang, aku pulang dulu.”
Semua yang ada diruangan itu kemudian membubarkan diri. Patih Destira bergegas pergi ke istana. Banyak hal yang ingin segera dilaporkan ke Ratu Tantri.


***
Ratu Tantri


Perlahan Patih Destira mendekati Ratu Tantri. Kemudian ia duduk dihadapannya dengan sopan. Ia menganggukkan kepala. Ratu Tantri membalas menganggukan kepala, terlihat air mataya bercucuran di pelupuk mata.
Ratu Tantri adalah gadis periang, manis dan lembut perasaannya. Ia tumbuh dengan didikan istana yang terhormat. Sejak masih kecil hingga remaja, guru-guru dari penjuru negeri didatangkan untuk menjadi pembimbingnya. Kendati terkungkung dalam istana, sebagai putri tunggal Raja Dinar Agung tapi berbagai pengetahuan dimilikinya. Parasnya yang cantik diwarisi dari Permaisuri yang tersohor sangat cantik. Usia Ratu Tatri sekarang sudah 25 tahun. Perawan ini tak memiliki pendamping hidup. Sebagai seorang Ratu, tentu tak sembarang pangeran atau raja yang berani menggodanya.
Siang itu Ratu Tantri mengenakan gaun tipis dari sutera. Sebuah sabuk hitam membelit pinggangnya. Rambutnya mengenakan mahkota berhiaskan intan.
“Patih aku lelah, teramat lelah. Aku gagal menjalankan titipan ayahku. Semua akan porak poranda…”
Patih tersenyum, “Ini bukan salahmu Ananda Ratu, semua sudah suratan Sang Pencipta.”
“Mereka berani memberontak karena tau aku lemah.”
“Mereka juga akan melakukan yang kendati ayahmu yang jadi raja. Hanya kebetulan saat ini mereka kuat dan berani memberontak.”
“Apa tak ada bantuan dari sekutu kita?”
“Jangan berharap dari mereka Ratu,”
“Aku ingin melihat kondisi prajurit kita Patih.”
“Saya dampingi Ratu.”
Mereka berdua keluar bersama. Tujuh orang prajurit jaga istana mengawal mereka. Siang itu panas begitu terik.


***
 Raden Wisageni


Sejenak kita tinggalkan dulu suasana di istana dan Kotapraja Pundi Intan. Kita tengok suasana di sebuah negara tetangga Pundi Intan. Kerajaan Indramulya. Raja Giri Indra sedang mengumpulkan patih, tumenggung dan ponggawa kerajaan. Kerajaan Idramulya berbatasan langsung dengan Pundi Intan.
Raja Giri Indra melambaikan tanggannya memanggil seorang pemuda yang ada diantara para pembesar kerajaannya.
“Mendekatlah sini anakku.”
Pemuda yang dipanggil mendekat. Dia adalah Raden Wisageni putri Dewi Kirani.  Wisageni adalah putra Raja Dinar Agung dari selir yang bernama Dewi Kirani. Dewi Kirani adalah adalah adik kandung dari Ragja Giri Indra. Sejak kecil Wisageni sudah keluar dari istana Pundi Intan. Ia dikirim belajar di negeri Tibet.
Dari kecil hingga remaja, Wisageni menghabiskan usianya di Tibet. Tak pernah sekalipun Ia pulang ke Intan Pundi.
Dewi Kirani memberi kabar bahwa dirinya sekarang ada di kerajaan Indramulya. Sejak Prabu Dinar Agung mengundurkan diri dan pergi berkelana,  dilanjutkan dengan penobatan Ratu Tantri, Dewi Kirani memilih keluar dari istana dan kembali ke kerajaan asalnya, Indramulya.
“Ananda Wisageni. Bagaimana sekarang kondisi terakhirnya?”
“Semua sudah sesuai dengan perintah uwa prabu..”
“Bagus. Kita lihat lagi beberapa hari ke depan.”
“Baik uwa Prabu.”
Pertemuan di istana kerajaan Indrajaya pun terus berlanjut.


***

Pasukan Indrajaya Bantu Pundi Intan
Siang itu arak-arakan 3.000 pasukan Indrajaya memasuki Kotapraja Pundi Intan. Di sepanjang  jalan rakyat Pundi Intan menyambut mereka dengan gegap gempita. Prajurit Pundi Indrajaya ini bergerak menuju alun-alun yang tepat berada didepan gerbang istana Pundi Intan.
Tumenggung Wirajaya yang mendapat laporan kedatangan prajurit dari negeri tetangga itu bergegas melihat keadaan di alun-alun dengan dikawal belasan prajurit. Ia heran dengan kedatangan prajurit Indrajaya dalam jumlah yang tak sedikit itu. Nampak dialun-alun, prajurit Indrajaya berbaris sesuai dengan jenis pasukannya.  
“Siapa pimpinan kalian?” Wirajaya berteriak kepada salah satu prajurit Indrajaya. Yang ditanya berlari menghampiri Tumenggung Wirajaya dan memberi hormat.
“Kami dipimpin oleh Rades Wisageni.”
Temenggung Wirajaya kaget bukan kepalang. Ia tau Wisageni adalah putra Raja Dinar Agung dari selir yang sudah lama ada diluar negeri. Ia sempat juga mendengar Dewi Kirani, selir Dinar Agung adalah adik kandung dari Raja Indrajaya.
Tak berapa lama dari belakang barisan prajurit Indrajaya, muncullah Raden Wisageni. Wirajaya tak begitu mengenal Wisageni karena sejak kecil  ada diluar kerajaan.
“Aku Wisageni. Kau siapa?”
“Aku Temenggung Wirabaya, pemimpin prajurit Pundi Intan.”
“Aku ingin bertemu kakakku, Ratu Tantri. Sepertinya jungjunganmu butuh bantuan adiknya.”
“Mari saya antar tuan ke gusti Ratu.”
Raden Wisageni dan Tumenggung Wirabaya berjalan beriringan masuk ke dalam istana.  Mata Raden Wisageni seakan menyapu suasana sekitar istana. Terlihat puluhan prajurit Indrajaya sedang terluka. Nampak dari belitan kain penutup luka dan langkah prajurit yang pincang. Beberapa orang nampak hanya bisa duduk sambil menahan sakit.
“Begitu banyak prajuritmu yang terluka Tumenggung?”
“Ya.Serangan ini begitu dasyat. Tiap malam pemberontak masuk kotapraja. Mereka datang tiba-tiba dimalam hari, dan menghilang saat ayam jantan berkokok. Kami sulit memperkirakan arah kedatangan mereka, kadang dari arah barat, timur, utara, atau kadang datang serempak dari beberapa penjuru angin.”
Mereka berdua sudah sampai ke paseban istana. Disana sudah ada Patih Destira dan Ratu Tantri. Ratu Tantri berdiri menyambut tamunya.
“Engkau kah ini adikku Wisageni?”
“Tentu saja Tantri. Aku adikmu.”
“Lama kita tak bertemu, kemana saja kau selama ini?”
“Sepulang belajar dari Tibet, aku memilih tinggal di Indrajaya bersama uwa prabu Giri Indra. Aku menjadi Panglima disana.”
“Apa kau sudah tau tentang keadaan kerajaan Pundi Intan”
“Ya, Aku tau. Bunda Kirani saat ini ada di Indrajaya. Beliau yang memberitahu kekacauan ini. Maka aku atas ijin uwa Prabu Giri Indra datang untuk membawa bala bantuan. 3.000 prajurit Indraprasta lebih dari cukup untuk menghancurkan pemberontak itu.”
“Terimakasih adikku Wisageni.” Ratu Tantri sangat senang dengan kedatangan adik satu bapaknya itu. Kemudian ia bertanya pada patih Destira.
“Bagaimana menurutmu Patih?”
“Ampun gusti Ratu.Mohon maaf anakku Raden Wisageni. Bila maksud kedatanganmu benar-benar untuk membantu Pundi Intan, ini adalah keajaiban saat kami mulai dirundung putus asa. Saya berharap bantuan ini tulus dari niatan yang baik Ananda Raden.”
“Tentu saja niatku tulus patih. Pundi Intan adalah peninggalan ayahanda Prabu Dinar Agung. Ratu Tantri adalah saudaraku. Aku wajib melindunginya.” Wisageni mengatakan ini dengan tegas.
Semua yang ada diruangan itu senang. Harapan untuk memadamkan pemberontakan semakin kuat.
Ratu Tantri tiba-tiba teringat pada adiknya yang satu lagi, Raden Lanang Jaya, putra ayahnya dari selir Dursasari yang sejak kecil dikirim bersama Wisageni ke Tibet.
“Dinda Wisageni. Bagaimana kabarnya saudara kita Raden Lanang Jaya, bukankah dia dulu bersamamu belajar ke Tibet?”
“Apa Ratu Tantri tak tau?”
“Tau apa dimas?”
“Lanang Jaya adalah dalang pemberontakan ini!”
Patih Destira dan Wirabaya kaget bukan kepalang. Begitu juga Ratu Tantri juga kaget. Belum pernah ada laporan yang menyebut nama Lanang Jaya selama ini.
“Apa kau tidak tau Tumenggung?”
Tumenggung Wirabaya gemetar menjawab. Ada rasa bersalah karena tidak tau dalang dibalik pemberontakan itu.
“Ampun gusti Ratu, hamba benar-benar tidak tau. Selama ini telik sandhi hanya mengatakan bahwa penggerak pemberontakan ini adalah Amuk Ranggalawe dibantu oleh saudara seperguruannya. Ditambah lagi dengan gerombolan begal Lohjawi. Ada lagi disebut-sebut ada seorang adipati yang terlibat. Kemudian ada beberapa lurah Medi yang membantu memberikan bahan makanan. Hanya itu yang hamba tau gusti Ratu.”
Kemudian dengan nada mencemooh, Raden Wisageni bertanya pada Wirabaya. “Adipati yang mana, bukankah dikerajaan ini hanya ada 5 Kadipaten. Tidakkah kau bisa menghitungnya. Adipati mana yang kau maksud?”
Kemudian Wisageni melanjutkan. “Telik sandhi mu begitu lemah Tumenggung! Apa ada dari 5 adipati itu yang tak pernah sowan ke istana ini. Apa ada 5 adipati itu yang tak membayar pajak? Lalu darimana bisa kau simpulkan ada salah satu adipati yang ikut memberontak?
Tumenggung Wirabaya seperti disambar halilintar. Ia mengakui 5 adipati itu selama ini masih tetap hadir setiap ada panggilan pertemuan di istana, masih tetap rutin menyerahkan pajak. Tumenggung Wirabaya jadi bingung sendiri, kenapa telik Sandhi bisa salah memberi berita.
“Iya. Sepertinya prajurit Telik Sandhi salah memperkirakan.” Tumenggung Wirabaya menjawab lirih.
Kemudian Wisageni berkata.
“Kuberitahu padamu tuan Patih dan Tumenggung. Walau ada diluar negeri. Orang-orangku sudah menyusup ke wilayah kerajaan Pundi Intan ini sejak beberapa minggu lalu. Otak pemberontakan ini adalah Tohpati. Dia yang menggerakkan Amuk  Ranggalawe dan Lohjawi. Dia juga yang menggerakkan untuk mempengaruhi lurah-lurah. Tohpati lah otak semua kekacauan ini!
Wisageni melanjutkan,” Tohpati adalah Lanang Jaya!”
Semua yang ada diruangan itu kaget bukan kepalang. Tantri terperanjat, tak sadar ia berdiri mendengar ucapan Wisageni.
“Yang benar Dimas? Yang benar kalau Lanang Jaya, saudara kita, darah daging kita otak semua ini?”
“Ini kenyataannya Ratu…”
Sejenak semua yang ada diruangan itu terdiam.
Kemudian Wisageni berkata,” Sebaiknya kita kembali ke masalah memadamkan pemberontakan ini. Tumenggung, berapa jumlah seluruh prajurit Pundi Intan yang tersisa dan masih dalam kondisi sehat untuk bertempur?”
“Ada 700 orang prajurit lagi Raden. Itu pun sudah kekurangan senjata. Anak panah dan tombak tidak sempat membuat yang baru. Kami masih menunggu kiriman senjata dari negeri tetangga tapi tak kunjunga datang.”
“Hanya 700 prajurit?”
“Iya Raden. Tak lebih dari itu..”
“Bagaimana gusti Ratu menurutmu? “
“Aku menyerahkan semua urusan memadamkan pemberontakan padamu dimas!”
“Aku menyanggupinya. Tapi aku juga minta ketegasan dan wewenang darimu sebagai R atu di kerajaan Pundi Intan. Aku yang mengatur urusan keamanan kerajaan. Semua prajurit, baik itu prajurit Indrajaya yang kubawa, maupun prajurit Pundi Intan harus aku yang mengendalikan.”
Ratu Tantri kemudian berkata, “ Ya. Semua urusan keamanan dimas berhak mengatur. Tumenggung Wirabaya dan seluruh prajurit tunduk padamu!”
“Baiklah. Aku akan segera mengatur cara untuk menghancurkan pemberontak. Harap Tumenggung Wirabaya bisa bekerjasama.”
Kemudian Wisageni pamit. Tumenggung Wirabaya mengantarkannya keluar. Wisageni ditempatkan di sebuah bangunan yang hanya bebeapa puluh tombak dari luar pagar istana. Bangunan itu semula adalah markas pasukan berkuda yang kini sudah tidak dipakai.
***

Raden Lanang Jaya
Amuk Ranggalawe  merasa pemberontakan itu akan segera berhasil. Kepercayaan pengikutnya dan Lohjawi semakin hari semakin meningkat. Namun ada satu hal yang masih memberatkan pikirannya tentang Tohpati. Pria itu dulu mengaku sebagai utusan seorang adipati yang sampai hari ini adipati itu belum nampak batang hidungnya.
Tohpati yang selama ini selalu bersamanya tak pernah memberi ketegasan kapan adipati itu akan muncul. Memang Amuk Ranggalawei mengakui, uang dan bantuan senjata selama ini selalu lancar dari Tohpati. Namun ia jadi bingung sendiri ketika saudara-saudara dan Lohjawi menanyakan pasukan adipati yang tak kunjung muncul.
Kendati mereka hampir dipastikan menang. Tapi Amuk Ranggalawe merasa  mendapat penilaian yang kurang baik dari saudara-saudaranya. Ia selalu berusaha menenangkan mereka. Toh kemenangan sudah diambang pintu. Tapi ada yang masih mengganjal ketika adipati misterius itu tak kunjung muncul. Lalu siapa nanti yang jadi Raja?
Siang itu sengaja semua petinggi pasukan dikumpulkan di rumah Lurah Medi yang sudah beberapa bulan ini menjadi markas prajurit pemberontak. Tohpati, Lohjawi, Lurah Medi dan semua saudaranya dari Cakar Geni berkumpul siang itu.
 “Kita harus berhasil malam ini,“ berkata Amuk Ranggalawe, “kita sudah dipastikan menang.”
Semua yang ada disitu menyimak perkataan Amuk Ranggalawe. Tapi diambang kemenangan itu ada kegelisahan dihati orang-orang ini. Tohpati yang selalu ada bersama mereka selalu menghindar saat ditanya bantuan pasukan dan sosok adipati yang tak jua datang.
Lohjawi, berandal yang dikenal berangasan itu tak siang itu tak lagi bisa menahan diri. Walau pun segan dia memaksakan diri untuk bertanya tentang adipati yang tak kunjung hadir.
“Maaf Tohpati. Bukan kami tak percaya padamu. Bagaimana dengan adipati yang pernah kau katakan pada Amuk Ranggalawe. Dimana ia?
Yang ditanya seperti kaget tak menyangka aka nada yang bertanya seperti itu. Mereka semua yang ada di ruangan itu juga kaget tak percaya Lohjawi akan berani menanyakan itu.
“Adipati? Oh ya adipati. Adipati itu ada. Tapi dia masih belum terlihat oleh kalian.”
“Apa maksudmu Tohpati. Kau jangan mempermainkan kami! Ini adalah perang yang taruhannya nyawa!” Lohjawi mulai terpancing amarah.
Amuk Ranggalawe mencoba menenangkan. “Tenang Lohjawi! Kita semua adalah saudara! Tenangkan dirimu. Jangan rusak kemenangan yang sudah didepan mata!”
Tohpati mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Amuk  Rangalawe membiarkan Lohjawi bicara.
“Aku minta kau katakana sekarang siapa adipati itu! Hanya ada  5 Adipati di kerajaan Intan Pundi ini, dan semua sudah ku selidiki, tak ada seorang pun yang keliatan mendukung pemberontakan ini. Artinya kau bohong Tohpati!
Dengan tenang kemudian Tohpati menjawab.
“Paman Lohjawi. Kangmas Amuk Ranggalawe dan sedulurku semua. Aku akan katakana siapa adipati yang sudah membiayai pemberontakan ini. Tapi tolong sedulur semua jawab pertanyaanku, singkat saja.”
Kemudian ia melanjutkan. “Apa kalian mengakui adipati itu mengirimi uang dan senjata untuk biaya pemberontakan ini?”
Semua diam, ragu untuk menjawab. Tohpati mengulang lagi pertanyaannya. “ Apa kalian mengakui itu?”
Semua yang ada disitu mengangguk mengakui. “ Iya ada. Kita akui itu.”
Tohpati kemudian tersenyum.
“Berarti adipati itu memang ada. Karena tidak mungkin uang dan senjata-senjata itu turun dari langit dengan begitu saja.”
Kemudian dia melanjutkan. “Tentang pasukan adipati yang kita harap datang, bukankah tanpa pasukan dari adipati itu pun kita sudah menang. Jumlah pasukan kita sudah jauh lebih banyak dari pasukan kerajaan. Lalu untuk apa adipati itu harus mengirim pasukannya. Karena yang kita butuhkan adalah uang, makanan dan senjata. Itu saya kira sudah cukup..”
Tohpati memandangi semua yang ada disitu satu persatu. Semua yang dipandangi terdiam. Dalam hati mereka membenarkan ucapan Tohpati.
Amuk Ranggalawe kemudian bertanya pada Tohpati.
“Tapi kami ingin tau siapa adipati itu dimas. Bukankah nanti ia yang akan jadi Raja kita?”
“Kangmas Amuk Ranggalawe. Kapan aku pernah mengatakan bahwa adipati itu ingin jadi Raja? Aku tidak pernah mengatakan itu padamu, samasekali belum pernah. Aku hanya mengata kan bahwa ada adipati yang mengajak untuk melakukan perlawanan demi rakyat yang tertindas! Bukan begitu Kangmas? ”
“Iya Dimas…” Amuk Ranggalawe menjawab lirih. Dia baru sadar bahwa ia salah mengira selama ini.
“Kalau kalian memaksa ingin tau siapa adipati itu. Kuharap ini tidak akan menganggu perjuangan yang sudah kita susun dari awal. Niatan pemberontakan ini untuk mengambil kekuasaan dan memperbaiki nasib rakyat kita yang  miskin.”
Semua sejenak terdiam.
“Kalau kalian percaya, akulah adipati itu. Namaku yang sebenarnya adalah Lanang Jaya,”
Lohjawi sontak berdiri dengan marah. Amuk Ranggalawe juga berdiri untuk menjaga jangan sampai Lohjawi menyerang Tohpati.
“Keparat! Jangan mempermainkan aku. Ku tebas batang leher mu. Tidak ada adipati yang bernama Lanang Jaya!
“Aku ini putra Raja Dinar Agung. Ibu ku adalah Dewi  Dursasari, selir dari  Raja Dinar Agung. Tidakkah sejak lahir aku sudah menjadi adipati istana kakang Lohjawi?
Semua yang ada diruangan itu terdiam. Lohjawi kemudian duduk kembali. Mereka baru menyadari bahwa yang selama ini bersama mereka adalah putra Raja Dinar Agung.
“Kalian jangan salah paham. Ini bukan masalah aku tak suka Tantri jadi Ratu. Tapi aku tidak suka bila rakyat diperlakukan semena-mena. Aku tak peduli siapa pun Rajanya, yang penting rakyat bisa hidup sejahtera.”
Semua terdiam. Mereka terpukau dengan setiap kata yang diucapkan Tohpati alias Raden Lanang Jaya.
Amuk Ranggalawe kemudian menengahi.
“Lohjawi dan sedulur semua, sepertinya sudah tidak ada masalah. Semua sudah terjawab. Raden Lanang Jaya adalah pemimpin pemberontakan ini. Niatnya sudah bagus. Kita tetap dukung dia. Semoga janji-janjinya bisa ditepati.”
Lohjawi mengangguk. Dia berdiri memeluk dan bersalaman dengan Raden Lanang Jaya. “Maafkan aku Raden.”
Raden Lanang Jaya tersenyum, dan menjawab” Iya kakang, maafkan juga aku.”
***
Pemberontak di Pukul Mundur
Pagi hari pasukan pemberontak kembali menyerang Kotaraja. Serangan ini dilakukan siang hari. Sebelumnya mereka sudah tau da balabantuan dari kerajaan Indrajaya untuk Pundi Intan. Tapi rencana penyerangan sudah matang dibuat. Pertempuaran besar pun terjadi. Sekitar 2000 prajurit pemberontak dibawah pimpinan Amuk Ranggalawe menyerang 3.000 prajurit Indrajaya yang menjaga sekeliling istana. Sementara pasukan Intan Pundi diperintahkan Raden Wisageni bertahan dibagian dalam istana.
Pasukan Pemberontak telah hampir seluruhnya berada diatas tebing. Bahkan beberapa langkah mereka berhasil mendesak pasukan Indrajaya. Pasukan Pemberontak telah bertempur dengan kemampuan yang mendebarkan. Senjata mereka berputaran, terayun dan menyambar dengan dahsyatnya. Lohjawi dan Ki Truna terjun langsung dalam barisan pasukan pemberontak yang mengamuk. Sementara Amuk Ranggalawe, Raden Lanang Jaya, hanya melihat dari kejauhan. Mereka  sendiri tidak  ikut langsung bertempur diantara mereka.
Dengan tangkas, Lohjawi bertempur diantara prajurit-prajuritnya, sehingga pasukan lawannya menjadi ngeri melihat sikapnya. Beberapa orang perwira Indrajaya berusaha mengepungnya. Mereka  membatasi geraknya. Namun setiap kali ia berhasil memecahkan lingkaran orang-orang Indrajaya yang ingin menghambatnya.
Dalam pada itu, pasukan panah dibawah pimpinan Lurah Medi telah hampir seluruhnya berada diatas tebing. Mereka menghujani prajurit Indrajaya dengan ribuan anak panah. Digaris depan Pasukan Pemberontak telah bertempur dengan kemampuan yang mendebarkan. Senjata mereka berputaran, terayun dan menyambar dengan dahsyatnya. Sementara pasukan Indrajaya terus bertahan berusaha memukul mundur lawanya.
Orang-orang yang berani mendekati Lohjawi, akan segera terdorong menjauh. Yang mencoba untuk tetap bertahan, akan segera terlempar dengan luka ditubuhnya. Bahkan dua tiga orang yang menyerang bersama-sama akan mengaduh bersama-sama pula karena kulitnya terkoyak oleh senjata Lohjawi.
“Mereka bukan orang Pundi Intan,“ geram Lohjawi.
Dengan amukan Lohjawi langsung, semangat pasukan pemberontak semakin meningkat. Tanpa ragu-ragu mereka menyerang  setiap lawan sebagaimana harus dihadapi di peperangan. Nampak  pasukan Indrajaya itupun menjadi terdesak.
Dalam pada itu, Wisageni telah merasakan tekanan yang sangat berat pada pasukannya. Karena itu, maka iapun bergeser disepanjang garis pertempuran sambil melihat, siapakah yang telah membuat pasukannya mengalami tekanan. Wisageni kemudian melihat Lohjawi yang sedang mengamuk  seperti seekor harimau kelaparan.
“Gila,“ geram Raden Wisageni “jika tidak dicegah, maka pasukanku akan benar-benar terdesak.”
Karena itu, maka Wisageni kemudian mendekati Lohjawi dengan niat untuk menghentikan pembantaian yang telah dilakukannya.
Namun ketika Lohjawi melihat kehadiran Wisageni, maka iapun tiba-tiba tertawa sambil berkata, “Nah, inilah pemimpin teringgi pasukan dari Indrajaya. Aku ingin melihat, apakah kau benar-benar seorang tangguh atau hanya mengandalkan telunjukmu. Ayo buktikan ketangguhanmu wahai orang Indrajaya!”
Wisageni tersenyum sinis. Ia sadar, bahwa Lohjawi yang brewokan adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat. Tetapi adalah tanggung jawabnya untuk menghadapi pria berangasan itu apapun yang akan terjadi.
Sejenak kemudian keduanya sudah berhadapan. Dengan sigapnya Lohjawi langsung menyerang Wisageni dengan senjatanya. Senjata Lohjawi adalah tombak panjang yang dibuat secara khusus,  terbuat dari baja pilihan.
Sementara, Wisageni menggunakan senjata pedang. Bilah pedang itu berwarna hitam. Wisageni mengayunkan pedangnya dengan cepat. Tombak Lohjawi sampai terpelanting saking kuatnya serangan itu. Wisageni memandang sejenak Lohjawi yang mulai terengah-engah.
Tiba-tiba Wisageni kembali mengayunkan pedangnya kearah kepala Lohjawi. Spontan Lohjawi membungkuk sambil memiringkan kepalanya. Sabetan pedang itu menebas angina. Tapi Lohjawi tak menyadari ditangan kiri Wisageni ada 2 buah pisau kecil yang terselip dijarinya. Pisau itu secepat kilat seperti anak panah menghujam perutnya. Hampir bersamaan dua pisau kecil itu mengoyak perut Lohjawi.
Lohjawi terjerembab kesakitan. Matanya tiba-tiba berkunang-kunang. Darahnya seperti mendidih. Gemetar dan kejang mulai dirasakan dalam hitungan detik. Baru Lohjawi sadar bahwa pisau terbang itu beracun. Dari mulutnya mulai keluar muntahan darah. Dan beberapa menit kemudian Lohjawi meregang nyawa.
Sejenak kemudian, Wisageni sudah mengamuk dengan ayunan pedangnya membelah barisan pasukan pemberontak.  Pasukan pemberontak mulai kocar kacir. Ki Truna melompat menghadang Wisageni.  Dua pria yang sama-sama bersenjatakan pedang ini kemudian bertarung.
Pertarungan yang tak berlangsung lama. Hal yang sama kembali terulang pada Ki Truna. Dua pisau kecil menembus dadanya. Kembali seperti kematian Lohjawi yang kejang dan memuntahkan darah sebelum ajalnya datang. Pisau beracun itu teramat berbahaya.
Sementara itu dibagian belakang pasukan pemberontak, Amuk Ranggalawe dan Raden Lanang Jaya memperhatikan Wisageni yang terus mengamuk memukul mundur pasukan pemberontak. Semangat pasukan Indrajaya kembali naik. Tiba-tiba Raden Lanang Jaya berbisik pada Amuk Ranggalawe.
“Mundur. Kita harus mundur..”
Amuk Ranggalawe paham dengan perintah Lanang Jaya. Sudah saatnya pasukan harus ditarik mundur.
“Mundur ! Semua mundur ! Pasukan panah siap-siap !
Pasukan pemberontak pun bergerak mundur. Pasukan panah yang dipimpin Lurah Medi kemudian menyerang dengan anak panah untuk menghadang agar prajurit Indrajaya tidak mengejar pemberontak yang bergerak mundur.
Pertempuran pun berakhir. Hari itu pemberontak gagal menguasai istana Pundi Intan.
=BERSAMBUNG=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar