Kamis, 18 Agustus 2016

Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung




TERIMAKASIHKU
Saya baru belajar menjadi penulis. Kisah yang saya tuangkan dalam novel ini hanya sebuah cerita fiksi yang berasal dari imajinasi liar disaat tak bisa tidur. 
Bila ada kesamaan tokoh, nama dan tempat itu hanya kebetulan saja.
Terimakasih untuk keluarga kecilku yang memberi ketenangan dalam menulis novel
CINTAKU TERTINGGAL DI RANGKASBITUNG
Tita Suminar, istriku yang sudah sabar 16 tahun mendampingiku
Yudha Hari Subhan, putra pertamaku, yang namanya kucatut sebagai tokoh utama dalam novel ini sekaligus orang yang pertama membaca dan menilai tulisan ini. Masih jelek katanya.
Fajar Gardanawan, putra keduaku, yang pengertian untuk tidak merebut laptop satu-satunya untuk dia bermain game.
Terimakasih untuk para sahabat yang ikut mengkritisi tentang novel ini ketika dalam proses penyusunannya.
Terimakasih untuk semuanya…
Rangkasbitung, 17 Agustus 2016

=ACHMAD SYARIF=


Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Pertama
Rangkasbitung, 13 Agustus 2000
Menjelang Tengah Malam, Jam 23.45 WIB
Pandangan mata Yayan merah menyala. Pensiunan PNS itu marah besar. Tatapan kebencian sangat terasa dari mata yang seakan mau loncat. Dengan suara membentak tertuju padaku  yang duduk dilantai tepat didepannya.
            “Aku sudah sangat bersabar dengan tingkah laku kalian. Sebagai orangtua ku sudah sangat bersabar. Kau tidak ada niatan sedikit pun untuk menikahi Mirna….tak ada niatan…kau hanya sekedar ingin mempermainkan anak kecil yang masih polos…aku tak terima itu.”
Yayan berkata dengan nada sinis.
            “Sudah pasti Mirna mudah kena bujuk rayumu, dia masih terlalu polos untuk membedakan mana  yang baik dan mana yang buruk. Mulai malam ini jauhi dia. Bila Mirna datang padamu, jangan kau layani, nanti juga dia akan melupakanmu…!” lanjut Yayan menghela nafas.
            Kucoba untuk tenang. Menahan amarah yang terpendam dalam dada. Sebuah amarah yang biasa terbit ketika dicerca. Amarah yang bisa terjadi kepada siapa saja ketika dianggap sebagai pembuat masalah.
            Aku samasekali tak menyangka. Malam itu ia akan dipanggil ayah Mirna. Dan tiba-tiba dipaksa untuk menghentikan hubungan asmara yang sudah terjalin sekian lama.
 “Braaaaaaaaak !!!! Jangan membangkitkan amarahku!!! ” Yayan menggebrak meja kayu didepannya. Asbak dan gelas kopi pun terpental karena kerasnya gebrakan.
            “Tak ada guna kalian terus berhubungan ! Percuma dilanjutkan, tidak akan pernah jelas !”
Teriakan ditengah malam itu pasti didengar tetangga. Dan tetangganya pasti sudah tau ada pertengkaran hebat di rumah itu. Tapi mereka tak berani keluar untuk melerai.
Tetangga Yayan memilih menutup pintu rapat-rapat.
“Tak perlu kita ikut campur, bisa-bisa kita yang celaka,”
Mungkin seperti itu bisik-bisik tetangga Yayan.
Sebagaimana umumnya rumah-rumah diperkampungan yang berdempetan. Dibanding rumah-rumah tetangganya, rumah Yayan bisa dibilang lebih bagus walau tak mentereng.
Didepan rumah Yayan juga terdapat parabola, saluran TV berlangganan. Menandakan Yayan lebih mapan dibandingkan tetangga lainnya.
Berumur lebih dari 60 tahun, terlihat jelas dari rambutnya yang sudah dipenuhi uban.
Yayan termasuk orang yang disegani dan dikenal sebagai jawara.
Ada juga yang mengatakan Yayan adalah guru spritual, tempat beberapa kalangan konsultasi tentang problem hidup dan pekerjaan mereka. Tak heran bila setiap malam Jum’at pasti ada mobil tamu parkir di rumahnya.
Tak hanya tamu dari Rangkasbitung atau Banten saja, tapi ada juga tamu-tamu dari kota-kota besar lain. Bisa dilihat dari  plat nomor mobil yang sering terparkir.
Yayan sangat marah bila ada orang yang menyebutnya dukun. Dia berkeras bahwa dia bukan paranormal atau dukun.
“Aing tukang nyareatan, lain dukun ! Dukun mah elmu hidung,”
 Begitu sering Yayan berkilah ketika ada yang membicarakan pekerjaannya.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, Yayan berasal dari  Ujung Kulon,  yang datang ke kampungku karena melarikan diri dari amukan warga. Katanya sih membunuh.
Dalam pelariannya, dulu Yayan berjualan nasi uduk di Pasar Rangkasbitung.
Saat itu Yayan dikenal sebagai pedagang kakilima yang rajin dan mudah bergaul.
Suatu hari ada 5 pemuda mabok yang memeras pedagang.
Kelima pemuda itu membuat resah. Setiap hari mereka minta jatah keamanan. Banyak pedagang lainnya yang minta bantuan ke jawara ini.
Yayan pun turun tangan. Kelima begundal itu dihajarnya seorang diri dengan tangan kosong.
Sejak itulah nama Yayan dikenal di Pasar Rangkasbitung sebagai jawara. Ia menjadi sosok yang disegani di kalangan pedagang dan preman yang ada di pasar.
Seorang centeng pasar senang dengan keberaniannya. Kebetulan tenaga centeng masih kurang, ia pun ditawari pekerjaan yang sama, jadi centeng.
Sekian lama menjadi centeng, rupanya nasib baik berpihak pada Yayan. Kepala pasar pun suka padanya. Awalnya karena Kepala pasar mengalami patah kaki karena kecelakaan dari motor Vespa barunya. Yayan yang punya keahlian mengobati patah tulang pun unjuk kebolehan. Hanya dalam waktu yang tak lama penguasa pasar pun kembali bisa berjalan normal.
Sebagai balas jasa, Yayan  diangkat menjadi pegawai tetap. Terlebih lagi di zaman itu sangat mudah untuk menjadi PNS.
Kini  Yayan sudah pensiun.
Kembali ke suasana di rumah Yayan. Saat itu jam 23.45 malam. Suasana hening. Yayan yang mengisap dalam-dalam rokok kreteknya. Kepulan asap seakan menjadi pertanda pria tua itu sedang murka.
“Plak…!!!” Yayan menamparkan peci yang dikenakannya. Peci hitam yang sudah berubah warna menjadi coklat karena dimakan usia.
Aku kaget bukan kepalang. Pundakku bergunjang bak tersengat listrik. Rasanya sudah sampai ke  ubun-ubun rasa sakit ini. Aku hanya bisa tertunduk. Tak ada kata yang bisa terucap.
Mataku mulai berkaca-kaca. Sungguh sakit hati ini dengan hinaan ayah Mirna.
Bibirku bergetar. Aku ingin marah, tak bisa. Aku ingin menangis keras-keras. Tapi mana mungkin itu kulakukan disini. Akan semakin merasa menang tua bangka ini.
“Tak ada bagusnya Aku dimata tua bangka ini,”
Kalimat ini hanya bisa ku katakana dalam hati.
Kamar tamu berukuran 4 x 3 meter itu pun terasa makin pengap. Kipas angin diatas rak TV tak berdaya dinginkan suasana.
Diluar tak ada yang masih terjaga. Hujan sore tadi membuat warga betah mendekam dirumah.  Menonton TV atau bercanda dengan anak istri. 
Sesekali terdengar gonggongan anjing kampung dari kejauhan. Malam beranjak. Hatiku makin kalut. Dinding ruang terasa menghimpit dari dua arah. Suara hening hanya ada detak jam dinding saja.
“Tak….tak…tak…tak….”
Detak jam itu laksana menggedor jantung. 
“Dug…dug….dug…dug..”
Suara  jangkrik terdengar bak genderang perang musuh. Atau mungkin terdengar seperti supporter Persib yang menyoraki lawan tanding.
“Huuuuuuh….!”
Aku adalah pemuda nakal di kampung ini. Sejak lulus SMA beberapa tahun lalu, Aku tak pernah bekerja. Jangankan bekerja, melamar pekerjaanmu Aku tak pernah. Tapi jujur, menjadi pengangguran bukan cita-citaku!
 Setiap hari, kerjaku hanya nongkrong di Poskamling ditengah kampung kami.  Sesekali Aku pergi mancing di kali Ciujung. Walau ku tau, pulang mancing tak ada ikan yang bisa kubawa pulang. 
Mancing di Ciujung bagiku bukan menangkap ikan. Tapi menjadi saat yang tepat untuk melihat keindahan Ciujung. Keindahan kebun-kebun jagung. Keindahan hamparan pasir. Sayangnya, hamparan pasir itu telah hilang karena dikeruk setiap hari oleh penambang pasir tanpa ijin.
Postur tubuhku terbilang bongsor. Kata orang sih wajahku pun tampan. Tak heran banyak gadis-gadis terpikat olehku.
Walau disukai oleh banyak dara, Aku justru ditakuti sebagian warga kampung itu. Terlebih ketika Aku mabuk pasti ada saja kelakuanku yang membuat mereka takut.
Hampir disetiap ada pertunjukan hIburan, Aku akan nampak seperti jagoan. Jarang ada yang mau berurusan denganku.
Berbalik 180 derajat dengan Aku malam ini. Dihadapan ayah Mirna Aku bagai tikus dalam cengkraman kucing lapar. Bukan Aku tak berani dengan tua bangka ini. Tapi Aku menghargai kekasihku Mirna. Apa jadinya kalau Aku sampai berkelahi dengan Yayan. Pasti Mirna akan sedih. Atau mungkin Mirna tak akan terima dan akan membenciku selamanya.
Posisi duduk pria tua itu bergeser membelakangiku. Dua kaki Yayan naik ke atas meja dihadapannya.
“Ku tau kalian saling suka, tapi kalian belum tau hidup yang sebenarnya,”  Yayan membentakku.
“Aku ingin yang terbaik untuk anakku. Kau harus sadar, untuk hidupmu saja susah, apalagi kau membawa anakku dalam hidupmu, tak masuk akal !”
Di pojok dapur kudengar  suara  tangis Mirna. Aku tau  Mirna terus menguping pertengkaran diruang tamu. Mungkin Mirna pasrah dengan putusan ayahnya.
Mirna berteriak dari dapur.
“Udahlah ayah….udah. Jalan hidupku adalah milikku. Tak ada hak  untuk tentukan hidupku. Jangan hina dia lagi……,”
Kembali ayah Mirna memukul meja dengan telapak tangan.
“Braaaaaak !”
”Diam kamu Mirna!”
Tangisan meraung Mina makin keras merobek malam. Gadis ini berguling di lantai keramik dapur. Histeris tak kuasa menahan diri.
Tangannya menjambak rambut ikal yang terlihat kusut.
Dari kamar keluar  perempuan tua. Dia langsung membentakku. Matanya melotot bak singa betina yang amarah Aku mengusik anaknya.
“Jangan ganggu keluarga kami! Cukup kami menahan diri…sudah waktu kau pergi!”
Dikampung itu Ibu Mirna dikenal sebagai wanita judes. Tak ada tetangganya yang berani membuat masalah dengannya.
“Percuma kalian pacaran, percuma, tak akan pernah ada ujungnya. Sebaiknya kau pergi !”
Nani, Ibu Mirna ini seakan hendak menerkamku. Aku  yang sedari tadi hanya diam, beranjak dari duduknya. Kakiku agak gemetar.
Ku hampiri ayah Mirna yang wajahnya masih ditekuk untuk bersalaman. “Yudha pulang bah,”
“Hemmm..hampura aing, teu kudu kadieu deui dia.”
Yayan seakan malas menyodorkan tangannya bersalaman.
Sedikit gemetar Aku melangkah ke dapur untuk menenangkan Mirna yang masih menangis. Ibu Mirna menghadangku. Menghalangiku dengan kedua tangan dibentang.
“Pergi !!!!”
Mirna masih tertunduk menangis menoleh sebentar ke arahku. Kemudan dia kembali tertunduk. Tangisnya tak jua berhenti.
Ibu Mirna mendorong tubuhku.
“Keluaaaaar!!!!”
Aku berbalik kembali ke ruang tamu. Melangkah menunduk lewat dihadapan Yayan yang membuang muka. Air mataku tak tertahan keluar.
Diluar rumah Mirna nampak lengang. Aku berjalan kaki sambil menangis. Tiba-tiba ku ingin berlari sambil menangis. Ku lari secepat yang Aku bisa. Bukan lari ketakutan. Tapi lari untuk membuang kesedihan. Berharap kesedihan itu akan berceceran sepanjang perjalanan pulang.
***

Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Dua
Rangkasbitung, 04 Desember 1999
Sore, Jam 17.10 WIB
Gerimis turun perlahan sore itu. Dari arah barat terlihat lembayung pertanda sebentar lagi ujung senja. Seorang pemuda dan gadis kecil sedang berjalan bergandengan di rel kereta api. Itu Aku dan Mirna. Kami berjalan meniti rel kereta api. Aku di sebelah kanan dan Mira yang usianya  sekitar 15 tahun di rel sebelah kiri.
Jalur kereta api Rangkasbitung-Merak memang tidak terlalu padat. Dalam sehari hanya dua kali kereta penumpang dan beberapa kereta pengangkut baturabara yang melintas di jalur itu.. Tak heran bila di rel kereta api ini menjadi tempat favorit nongkrong warga terutama anak-anak dan remaja pada sore bahkan malam hari.
Tanganku dan tangan kiri Mirna saling memegang. Kami berjalan sambil menjaga keseimbangan agar kaki tidak menginjak batu yang terhampar di bawah rel.
Sesekali dari salah satu dari kami tidak bisa menjaga  keseimbangan dan  dan  menginjak kerikil yang terhampar disepanjang rel.
Beberapa puluh langkah kemudian kami berhenti. Aku dan Mirna duduk berhadapan diatas bantalan rel.
Sambil duduk, kuambil beberapa batu kerikil. Batu-batu itu satu persatu kulempar kearah tiang telepon yang ada dipinggir rel kereta. Ada sekitar 5 meter jarak antara rel  tempat kami duduk dengan tiang telepon itu.
Beberapa lemparanku meleset. Ku incar lagi dengan lebih serius.
“Traaang..!!!”
Sebuah lemparannya mengena. Aku senyum puas bidikan mengena.
Mirna juga mengikuti yang kulakukan tadi. Diambilnya beberapa batu kerikil yang terhampar.
“1….2….3…..wuuuuuuus…..”
Lemparan wanita ini meleset. Tapi dia tidak menyerah. Sekali lagi dia melempar.
“Wuuuuus”
Kembali meleset.
Wanita belia tadi merajuk manja kepadaku.
“Hiiiiiiiiiih…..gak kena mulu………”
Wanita ABG tadi dengan tingkah genitnya merangkulku.
“Heheheheh, belum lihai….” Kataku.
Kami sepasang kekasih yang sedang bahagia. Mirna kemudian duduk disampingku. Ku menoleh ke Mirna. Kesempatan itu tak kusia-siakan. Kucium pipi Mirna dengan cepat.
Mirna pura-pura marah kucium. Tapi Aku tau dia sangat suka dengan itu.
“Hih…nyuri kesempatan….”
“Biarin…kan dicium sama pemiliknya, pewwww…”
“Mana pemiliknya?” Kata Mirna sambil memelototiku.
Muka kami berhadapan dan saling menatap.
“Ayo coba siapa yang kuat jangan ngedip..!” Tantang Mirna.
Aku dan Mirna saling menatap dan bertahan untuk tidak berkedip.
“Okeh….Aku…kalah….” Kataku menyerah .
“Kalah weeeeeeew…..kalah weeeeew…pencundang…” Kata Mirna kegirangan sambil mencubit pinggangku. Aku pun  menggelinjang kegelian. Antara sakit dan senang.
“Nyerah gak…nyerah gak?” Kata Mirna tanpa melepas cubitannya.
“Ampun neng…ampun…nyeraaaah,” Kataku  sambil tertawa cekikan.
Mirna melepas cubitannya.
“Kalo pinggangnya suka geli dicubit itu berarti doyan…”
“Doyan apa?”
“Doyan begituan.”
“Begituan apa?” Tanyaku pura-pura gak ngerti.
“Doyan makan kangkung..! hahahaha.” Kata Mirna sambil terbahak-bahak.
“Ijasah udah diambil neng di SMP ?”
“Udah. Minggu kemarin,”
“Terus neng mau lanjut sekolah kemana?”
“Gak mau nerusin sekolah ah..cape…”
“Terus  kemana dong?”
“Mau nyamper mamang di Tangerang. Atau mungkin di rumah aja nunggu yang ngelamar.”
“Idih masih kecil sudah mau kawin…”
“Biarin masih kecil juga, kecil juga bahenol kan? hehehehe…”
“Neng belum boleh kawin…umur aja baru 15 tahun..”
“Kata siapa gak boleh?”
“Kata KUA!”
“KUA nya mau gak kalo disuruh ngawinin neng, hayooooo?”
“Ngacooooo..!”
Aku dan Mirna adalah sejoli yang sudah beberapa tahun pacaran. Pertama kami pacaran saat Mirna kelas 1 SMP. Sedangkan Aku saat itu kelas 3 SMA.
Saat ini adalah tahun ketiga kami pacaran.
“A’, cepat nyari kerja dong..”
“Kerja apa?”
“Apa aja..”
“Kemana nyari kerjanya?”
“Ke Jakarta kek….ke Palembang kek….”
“Halaaaaah…..kayak yang iya aja nyuruh nyari kerja… baru berapa hari  gak ketemu aja kamu mulu…”
“Hhehehehehe, iya juga sih. Coba nyari kerjanya di Rangkas aja, biar kita tiap hari bisa tetep ketemu,”
“Iya ntar kerja bangunan..”
“ih…jangan kerja bangunan. Ntar tanganmu kasar kayak parutan…weiiii ..hehehe..”
“Terus kerja apa dong? Nambang pasir di Kali Ciujung ya…?”
“Jangan !!! tak rela Aku !!! Ntar kulitnya gosong ! hehehee….jangaaaaan heyyy… !!!!”
“Terus Aku kerja apa dong neng, ini jangan itu jangan?”
“Kerjain Aku dong…..!!! hahahahahahaa……”
Mirna mengatakannya sambil membusungkan dadanya.
“Oh…neng mau dikerjain ya? Sini dikerjain ma aa’ !”
“Iya mau banget….Tapi ada syaratnya……”
“Apa?”
“Panggil dulu penghulunya!”
“Kapan dipanggil penghulu?”
“Sekarang juga!”
“Penghulunya gak ada, lagi ngarit…”
“Dipanggil kernetnya penghulu juga gak papa…”
“Emang penghulu ada kernetnya….?  Kayak bis aja pake kernet..”
“Hehehehe…”
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Tiga
Rangkasbitung, 15 Agustus 2000
Jam 21.00 WIB
Tiga pemuda duduk ngobrol dipinggir warung Omah. Warung itu tempat favorit pemuda kampung itu nongkrong. Bahkan pemuda dari kampung lain pun kerap ada disitu.
Kendati pemilik warung sudah setengah baya, namun raut kecantikan masih nampak dari wajahnya.
Suami Omah dulu pedagang beras. Karena ketahuan punya istri muda mereka pun berpisah.  Resmilah Omah menjadi janda.
Omah terbilang genit. Ada yang mengatakan Omah Bispak. Bisa dipake itu kata mereka.  Melihat ukuran dada Omah yang besar pun banyak pria yang langsung klepar kleper.
Kulit Omah putih. Walau sudah beranak dua.  Omah rajin mengurus badan. Sebulan sekali salon kecantikan dikunjunginya. Maklumlah, dia hanya hidup sendiri. Mungkin tak banyak kebutuhan hidupnya. Anak  semua dibawa mantan suaminya.
Janda bahenol ini  menjual minuman jamu anggur cap kakek tua. Pemuda minum dan mabuk disitu sudah biasa.
Warung Omah letaknya di pertigaan jalan. Lumayan jauh dari rumah warga. Walau banyak pemuda kampung yang bergadang disitu, warga sekitar tak pernah protes.
Tak sekalipun warung Omah kena yang namanya razia.
“Kalo ada yang razia, saya tarik rudalnya,” begitu biasanya Omah menjawab bila ada yang mengakut-nakutinya.
Warung omah dibangun dari bilik bambu. Bagian depan warung dIbuat cantang dari lembaran papan albasiyah berukuran setinggi 1 meter. Lebar lembaran papan itu sekitar sejengkal. Lebar cantang itu sekitar 3 meter. Dalam setiap lembar papan cantang itu ada tulisan angka 1 sampai 7.
            Beberapa botol minuman keras kosong dan kulit kacang berserakan dihadapan para pemuda kampung itu.
“Panas sekali malam ini ya?” Kata Yadi, pemuda yang berkaos merah sambil mengupas kacang asin dihadapannya.
“Sepertinya mau hujan,” Timpal pemuda disebelahnya yang bernama Dirman.
“Mukamu mendung sekali Yud ? kayak nenek-nenek gak punya sirih, hahaha, ” Tanya Yadi ke Aku. Mungkin Yudi  mencoba menghIbur pikiranku yang sedang kusut.
Aku sebenarnya enggan menjawab. Kupandang muka Yadi sebentar. Sambil senyum kecil kuraih rokok di depan.
“Biasa aja, kehidupan,” Jawabku singkat sambil tersenyum kecut.
Dari dalam warung keluar Omah.
“Udah malem wey, mau tutup,”
Omah sambil berjongkok dekatku membersihkan kulit-kulit kacang yang berserakan.
“Tutup mah tutup aja, emangnya warungnya mau digotong teh ? gotong aja sendiri, hehehe…” Kata Yadi sambil mendengarkan radio kecil yang selalu dibawanya kemana-mana.
“Emangnya gue keong bawa-bawa rumah, masa artis disamakan dengan keong, sungguh terlalu….pewwww…” Kata Omah sambil  duduk disampingku
Wanita genit ini membakar rokok yang dari tadi terselip dijarinya.
”Tadi tersayangmu  kesini Yud, beli samphoo ! dia ngobrol sebentar ma teteh.”
“Puuuuuuuus…….”
Kepulan asap itu membentuk huruf O dari mulutnya janda yang sudah beberapa tahun hidup sendiri itu.
Aku hanya diam pura-pura tak mendengar omongan Omah. Ku kupas beberapa butir kacang dan mengumpulkan isinya.
“Denger gak sih !..Katanya mau kawin minggu depan.”
“Biarin teh, Aku mah apah atuh, hanya kain lap yang ngegantung di pinggir WC,” Kataku  mencoba berkelekar untuk menutupi kegundahan.
Omah tertawa terbahak-bahak puas meledekku.
 “Kalah kau Yud, malah si Tata yang beruntung dapetin si Mirna, payah !!” Jagoan kalah sama pegawai bank keliling, hahaha…., bisa jadi gosip selebritis nanti,..heheh,”
“Jodoh ada yang ngatur tante. Hilang satu tumbuh serIbu. Masih banyak calon perawan  yang akan dilahirkan,”
Ku tenggak sisa minuman di gelas kecil dihadapannya. Rasa minuman anggur yang campur pahit itu seakan ingin kembali keluar.
Omah sambil mencubitku.
“Udah ancur aja anak orang kau ngomong gitu. Habis manis sepah dIbuang…”
Aku sebenarnya sudah lama tau. Omah menyukaiku. Tapi ku tak tertarik pada Omah. Terlalu jauh umurnya terpaut dari umurku.
Tapi kadang-kadang Aku juga pernah iseng ngebayangin tidur dengan janda cantik ini. Pernah suatu ketika diwarung itu hanya ada Aku dan Omah. Ku peluk Omah dari belakang dan mencium pipinya. Entah setan apa yang mempengaruhiku satu itu.
Bukannya menolak dengan pelukanku, Omah malah balik menciumiku. Tangan Omah menarik dan mengarahkan tanganku memeluknya. Sepertinya Omah sudah pasrah menyerahkan dirinya padaku.
Aku kaget bukan kepalang. Kusangka Omah akan berontak ketika ku cium. Ternyata malah sebaliknya. Dia sepertinya sangat bernafsu padaku.
 Untunglah Aku cepat mengendalikan diri. Aku pura-pura merasa gerah, dan cepat beranjak keluar dari warung itu. Jadi tak ada hal-hal lan yang terjadi diantara kami.
Dalam pertemuan selanjutnya kami tak pernah membahas itu. Selamanya itu hanya menjadi rahasia kami berdua. Tapi sesekali, bila tak ada orang lain diwarung, dan hanya ada Aku, Omah suka menciumku. Aku sih senyum-senyum aja. Karena biasanya Omah akan menghadiahku sebungkus rokok filter kesukaanku.
 “Dasar mudasir !” begitu biasa dikatakan Omah ketika memberi hadiah rokok sehabis menciumiku.
 “Ayah Mirna terlalu berburuk sangka padamu Yud. Mereka hanya melihat sisi gelap orang-orang seperti kita. Karena khawatir anaknya akan celaka, itu alasan mereka menghalang-halangimu…kalo kata saya…” Kata Omah.
“Oh……..” Kataku sambil mengangguk-anggukan kepala seakan sedang mengolok-olok Omah yang sedang serius bicara.
Merasa diolok-olok Omah pun menghentikan omongannya.
 “Terserah lu. Emangnye gue pikirin. Sabodo teuin….Udah saya mau tidur, beresin gelas dan botolnya ke pinggir.”
Omah pun berdiri dari posisi duduknya dan berjalan mengunci pintu warungnya. Tapi baru mau melangkah dia ingat bahwa para pemuda itu belum membayar minuman dan rokok yang mereka ambil.
“Duitnya mana ?” Kata Omah sambil tangannya mengaitkan gembok.
“Gampang, besok juga kesini. Sekalian rokok sebungkus lagi !”
Kata Yadi yang masih asyik mendengarkan  lagu “Bujangan” yang dinyanyikan Koes Ploes Junior.
“Ngutang mulu, dasar tampang dong lu keren. Kantong lu pada lepet.”
Omah melemparkan sebungkus rokok warna putih yang diambil dari  rak  warungnya. Yadi dengan sigap menangkap sebungkus rokok yang dilemparkan Omah. Setelah itu Omah ngeloyor pergi masuk ke rumahnya yang bersebelahan dengan warung itu.
“Jangan berisik kalian ! artis mau bobo,” Teriak Omah dari dalam rumah.
“Apa perlu ditemenin teh ?” Teriak Yadi pula.
“Iya temenin. Tidur aja disitu !”
“Huuuuuuh kirain didalam…..!” Timpal Yadi yang tadi terlanjur kegirangan. Sudah terbayang olehnya bisa tidur bareng dengan Omah. Lumayan juga pikirnya.
“Belum cukup umur lu tidur ma artis, peeeew !” Teriak Omah dari dalam kamarnya yang dindingnya bersebelahan dengan anak-anak muda yang diluar.
“Ntar saya tambah umur dulu teh…..”
“Tambah bae olangan………………briiiiiisiiiiiik !!!!!!!!”
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Empat
Rangkasbitung, 16 Agustus 2000
Sore Jam 15.00 WIB
Sengaja sore itu Aku duduk menunggu Mirna dipinggir jalan desa. Biasanya setiap sore Mirna pergi ke rumah kakaknya. Sekitar 14.50 menit yang ditunggu lewat. Kulihat raut muka Mirna tak menampakkan kesedihan.
Ada tandatanya besar dihatiku.
“Aneh….kenapa Mirna seperti tidak sedang sedih. Apa dia senang hendak dikawinkan,”
“Entah kenapa dia berubah. Mungkinkah memang Mirna sudah berubah.Semakin berkecamuk cemburu hati pemuda ini.” Rasa cemburu mulai membakar hatiku.
Tak sadar kutarik  tangan Mirna. Mungkin Aku terlalu keras menarik tangan Mirna.
Mirna pun meringis kesakitan.
“Aduuuh…! Apa-apaan sih!”
“Kau mau menikah ? Kenapa tak pernah bilang padaku?”
”Jangan disini ngomongnya. Takut dilihat keluargaku!”
Mirna menarik tanganku mengajak ke warung Omah yang hanya beberapa meter dari situ.
Mereka pun masuk ke rumah Omah yang kebetulan Sepi. Di warung juga sepi tak ada orang. Pemilik warung rupanya sedang didalam rumah,  didapur.
Mirna adalah wanita yang sangat lembut. Bertahun-tahun berpacaran denganku hampir tak pernah Mirna marah. Dia  begitu menyangiku. Kendati dari awal kami jadian sudah ditentang oleh orangtuanya, tapi Mirna tetap bertahan.
Mirna menarikku duduk di sofa tamu. Ku turuti keinginan Mirna. Gadis kecil yang baru beberapa bulan lalu lulus SMP ini terus memegangi tanganku, seakan enggan lepas dariku.
Ku tatap wajah Mirna.
“Kamu mau dikawinkan? Kau tidak melawan?”
“Tidak, siapa yang mau dikawinkan?”
Mirna sambil memegang dan mengusap-usap telapak tanganku. Sepertinya Mirna ingin meredakan amarahku.
“Mirna hanya cinta padamu Yud. Hanya padamu. Tapi Aku  bingun mesti gimana? Orangtuaku tak setuju. Orangtuamu juga tak setuju. Lalu Aku harus bagaimana?”
Ku tatap wajah Mirna. Hatiku tersentuh dan luluh. Amarahku  pada Mirna sekejap hilang berganti dengan iba. Aku tau kekasihku juga tak rela menikah dengan pilihan ayahnya.
“Tata datang melamarku. Ayah menerima lamaran itu. Aku tak pernah diajak bicara,”
“Kapan?”
“Kemarin siang. Sebelum kau dimarahi  ayah,”
“Tata yang mana?”
“Yang dulu pernah ke rumah waktu kau sedang ngobrol denganku di pinggir rumah. Yang waktu ada hajatan di rumah Ida,”
“Yang mana ya orangnya? Aku lupa lagi orangnya…”
“Yang kerja di bank keliling, yang biasa pake motor RX King,”
“Oh….ya …ku tau. Bujang lapuk itu….dasar…”
 “Bawa ku pergi ! Mirna tak mau menikah dengan yang lain. Apalagi dengan yang baru ku kenal. Tak terbayang harus hidup dan tidur seranjang dengan orang yang tiba-tiba datang. Bawa ku pergi !”
Mirna berkata-kata dengan berlinang air mata.  Aku mendengarkan dengan hati iba. Bisa kubayangkan kepedihan hati Mirna.
“Kamu dengar gak sih? Bawa Aku pergi !”
“Pergi kemana Mir?
“Kemana saja. Kemana pun kau mau…”
Ku hanya termangu. Pikirannya tak karuan. Tak tau harus bagaimana.
”Kenapa bisa mendadak begini Mir? Kau tau Aku tak  punya uang. Lalu darimana bekal kita untuk pergi?
Aku mengatakannya  dengan nada bergetar. Sekarang Aku  malah takut Mirna marah. Aku tau Mirna pasti kecewa dengan ketidakberdayaanku.
Air mata Mirna semakin deras mengalir. Ku pegang pundak Mirna. Membelai rambut gadis cilik itu untuk menenangkannya.
“Kau hanya berani mencintaiku. Tapi kau pengecut untuk berani memilikiku. Terkadang hidup itu harus membuat keputusan. Sekaranglah kau harus membuat keputusan itu…”
Beberapa saat suasana hening. Kami seperti sedang mendalami pikiran lawan bicara.
“Hanya ada dua pilihan sekarang ini, bawa orangtuamu untuk membatalkan pernikahanku atau kita harus kabur dari sini…hanya itu pilihannya….putuskan sekarang….sudah tidak ada waktu….”
Aku pun sudah tak kuasa menahan kesedihan. Sangat terasa itu saat terakhir kuakan bertemu Mirna.
 “Maafkan Aku Mir…ku tak seperti yang kau harap….aku tak seperti harapanmu….aku tak berani membawamu kabur dari sini. Ku tak bisa membawa orangtuku ke rumahmu. Mereka juga menentang hubungan kita….maafkan Aku Mir….”
Air mata terasa menetes dari mataku. Aku tak malu menangis didepan orang yang kucintai ini.
Mirna menghela nafas panjang.  Namun dirinya mencoba tersenyum.
“Kamu lucu…, kamu kan cowok. Kenapa malah kamu yang menangis, bukannya seharusnya Aku yang menangis?”
Kedua tangannya memegang pipiku.
Antara isak tangis dan senyum Mirna terus mencoba berkata-kata.
“Aku perempuan. Aku ikut apa yang kau mau,”
Hasratku  seperti mendorongku untuk memeluk Mirna sekuat tenaga. Terasa bahwa ini akan jadi pelukan yang terakhir.
Mirna mengecup bibirku sambil menangis. Air matanya membasahiku. Begitu Aku yang juga tak mampu membendung tangis. Air  mata kami  terus tertumpah saling membasahi pipi.
“Sepertinya kita memang harus menyerah. Aku sudah membuktikan kesetianku. Selama 3 tahun kita berhubungan tak pernah sekalipun ku berpaling darimu…Mirna sudah buktikan itu Yud…”
“Ya…aku percaya itu Mir…”
“Jangan salahkan Aku. Jangan benci orangtuaku. Kau harus jadi orang kaya. Aku akan senang kalau suatu saat melihatmu jadi orang kaya. Biar orangtuaku menyesal tak setuju dengan kita,”
Sejenak kami berdua diam. Mirna kemudian melepas pelukannya. Dia berdiri dan melangkah ke pintu akan keluar.
Beberapa langkah sebelum mencapai pintu dia kembali berbalik dan setengah berlari memelukku sambil menangis.
“Kau jangan menangis. Mirna tak bisa pergi kalau kau masih menangis….”
Ku berusaha menahan tangis. Tangannya menyeka air matanya.
“Iya Mir….”
Mirna tersenyum walau nampak itu senyum yang sangat dipaksakan.
“Selamat tinggal Yud…semoga suatu saat kau bisa mendapat yang lebih baik dariku…”
Mirna membuka pintu dan keluar dari rumah Omah. Aku  hanya duduk lemas memandangi punggung Mirna  yang melangkah keluar pintu. Aku kembali menangis sendiri.
***

Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Lima
Rangkasbitung, 16 Agustus 2000
Malam Jam 23.15 WIB
Malam itu Aku tak bisa tidur. Pikirannya menerawang jauh. Kesedihan ditinggal Mirna masih sangat terasa. Kesedihan yang pasti akan menimpa siapapun ketika kehilangan sesuatu berharga yang dimilikinya. Aku merasa mengkhianati Mirna. Harusnya Aku  menjadi lelaki jantan yang berani mengambil resiko. Seharusnya Aku  datang ke ayah Mirna dan meminta pernikahan paksa Mirna dihentikan.
Sambil berbaring di kasur Aku meneteskan air mata. Terbayang masa-masa 3 tahun berpacaran dengan Mirna. Terbayang berbagai tempat yang pernah kami datangi bersama.
Ku kemudian bangun dari tempat tidur dan berjalan menuju cermin yang ada di lemari pakaian. Di depan cermin ku  pandang tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kupandang wajah sendiri dalam-dalam.
“Apa artinya jadi lelaki yang hanya bisa mencintai tapi tak bisa memiliki?  Untuk apa kau hidup sebenarnya?  Kenapa harus kau berikan kesedihan pada orang yang mencintaimu? “
Ku berkata setengah berbisik pada bayangnya sendiri di cermin. Kemudian Aku menangis Terasa menjadi manusia yang paling tak berguna.
            Tiba-tiba dari luar rumah terdengar ada orang memanggil.
            “Bos….dimana bos……Andi nih…”
            Aku diam saja dalam kamar. Aku  malas untuk menjawab.
            “Bos……..Andi nih..”
            Akhirnya terpaksa ku keluar kamar. Seorang  anak lelaki berusia sekitar 14 tahun sedang berdiri didepan pintu rumah. Kubuka pintu.
            “Apa Di?
“Ada surat dari Mirna.”
Andi menyodorkan sebuah buku novel  padaku. Ku tau ada pesan yang ingin disampaikan Mirna di buku itu. Biasanya Mirna akan menuliskan beberapa pesan di bagian-bagian yang kosong pada novel itu.
“Dihalaman belakang kata Mirna juga..”
“Iya ini lagi dicari,”
“Lagian si bos mah hari gini masih surat-suratan…”
“Masih mending gua surat-suratan, la elu…malah pukul-pukulan…”
Mataku mencari tulisan tangan Mirna yang di novel itu.
“Dirumahnya ada siapa?” tanyaku.
“Ada banyak orang lagi bikin kue,”
Ku baca tulisan di halaman belakang novel itu. Bentuk tulisan tangan itu sangat ku kenal. Surat dari Mirna.
“Besok Mirna kan menikah. Mulai hidup baru dengan orang yang baru ku kenal. Aku sudah bicara banyak dengannya. Dia siap menerimaku apa adanya.
Kita sudah tak berjodoh. Biarlah tubuhku dimiliki oleh yang lain tapi hatiku tetap untukmu sampai mati. Jangan salahkan Mirna, ini keterpaksaan.
Mirna sudah memberimu kesempatan untuk membatalkan pernikahan ini bersama. Tapi kau masih bimbang tak berani memutuskan. Mirna cinta kamu.
Kau tak perlu hadir. Jalani hidupmu, kujalani nasibku. Ada pesanku untukmu. Ku ingin suatu hari nanti kau jadi orang kaya. Kita ditentang karena kau tidak punya penghasilan. Mereka takut Mirna kelaparan. Mirna tak takut lapar jika bersamamu.
Jadilah orang kaya. Agar orangtuaku menyesal dan sadar kau tak seburuk yang mereka kira. Mirna ingin kau merubah prilAKU mu. Jadilah orang baik. Mulailah menata hidupmu. Suatu hari akan ada wanita sepertiku yang singgah dihatimu. Jangan sampai wanita itu akan sedih sepertiku saat ini.
Jika kau sudah berubah nasib. Jangan lupakan Mirna ya. Jangan benci orangtuaku. Mereka begitu karena mereka mencintaiku. Maafkan lah mereka demi Mirna.
Disaat Mirna sudah bersuami. Maka itulah hidupku. Mirna harus tetap menjalaninya. Salam manis tak akan habis, salam sayang tak akan hilang.
Mantanmu : Mirna Rahmawati.

Tanganku gemetar memegang kertas surat tadi. Antara ketidakberdayaan dan tak mau kehilangan kekasih.
Terbayang untuk membawa lari Mirna malam itu. Tapi Aku takut akibat yang akan terjadi. Pertengkaran melibatkan beberapa keluarga pasti akan terjadi.
Keluarga Mirna dan keluarga calon suaminya pasti akan mengamuk. Terbayang wajah orangtuanya yang sudah renta harus menerima pelampiasan amukan mereka.
Andi, pemuda kecil pembawa surat yang sedari tadi hanya duduk didekatnya seperti tau perasaanku.
”Terus gimana bang?”
“Pusing Di, Aku harus pergi jauh dulu,”
“Pergi kemana Bang?”tanya Andi.
“Kemana aja, yang penting jauh…”
Aku melangkah masuk ke dalam kamar.
Andi pun pergi dari rumah itu. Sepertinya Andi tau Aku sedang tak ingin diganggu.
Suara jangkrik yang meramaikan malam itu seperti orkestra yang ingin menghIburku. Aku hanya bisa diam. Malam ini Aku tak berdaya. Sungguh lunglai tubuh ini.
Separuh jiwaku telah pergi. ***

Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Enam
Rangkasbitung, 17 Agustus 2000
Jam 06.15 WIB.
Pagi itu kuhampiri Ibu yang sedang berjongkok mencuci piring. Ibuku punya 3  anak. Anak yang pertama dan kedua sudah berumah tangga. Keduanya tinggal di kampung lain. Di rumah ini hanya ada Aku dan Ibu.
Sejak ayah meninggal karena penyakit TBC, kami hidup sangat sederhana. Untuk makan sehari-hari, kami sekeluarga bergantung dari hasil penjualan kelapa. Mendiang ayah adalah petani yang rajin. Beberapa kebunnya ditanami kelapa. Lumayan, bisa untuk menyambung hidup.
Walaupun terkenal badung, tapi Aku  tak pernah menyusahkan Ibu dalam soal uang.
Selepas SMA, hampir tidak pernah Aku meminta uang jajan dari Ibu. Aku memang sudah merokok sejak SMA, tapi tak pernah minta uang untuk beli rokok dari Ibu.
Ibu mengenakan kaos hadiah dari toko bangunan. Dibagian bawah mengenakan sarung  pria yang ada gambar gajah sedang duduk.
“Bu, Yudha diajak teman kerja di Jakarta,”
Aku berdiri dibelakang Ibu sambil menyulut sebatang rokok. Ibu terus mencuci piring.
“Siapa yang ngajak?”
“Si Didi”
“Didi yang mana?”
“Ah…Ibu gak akan kenal. Orang Rangkas, dia belum pernah kesini,”
“Kerja apa ?”
“Gak tau, gimana disana aja,”
“Mendadak amat  ya?”
“Yang ngajaknya juga ngedadak bu..” Kataku.
Ibu  berdiri mengelap tangannya dengan kain. Beberapa piring belum selesai dicuci.
“Terusin dulu cuci piring itu !” Perintah Ibu.
“Iya bu..”
 “Kapan berangkatnya ?”
“Sebentar lagi bu, naik kereta jam 10,” Jawabku.
“Makan aja dulu, kamu kamu kan belum makan,”
“Iya bu…gampang…”
Ibu masuk ke kamar. Beberapa saat kemudian  keluar menyodorkan 2 lembar uang pecahan 10 rIbu.
“Ini buat ongkos,”
“Iya bu…taruh aja disitu…” Kataku sambil menunjuk ke tumpukan bata yang ada didekatnya.
“Udah-udah sini Ibu aja yang nerusin. Gak bersih kamu nyucinya. Malah bau sabun nantinya,”
Aku pun pergi ke jemuran mengambil handuk.  Setelah itu masuk ke kamar mandi.
Sambil mandi pikiranku masih teringat pada Mirna. Membayangkan kesedihan Mirna.
Tapi dihati kecil ini sudah mulai ada kekuatan. Diriku memang harus siap menerima kenyataan. Aku harus menjauh dari Mirna.
Seusai mandi dan berpakaian, Aku menyiapkan pakaian yang akan dibawa ke Jakarta. Tak banyak pakaian yang kubawa.
Dipikiranku hanya terpikir pergi secepatnya dari kampung itu. Ku tak mau melihat dan mendengar tentang pernikahan Mirna. Aku juga tak mau menceritakan masalahnya pada Ibu.
Ku hampiri Ibu yang sedang menyapu  halaman depan. Melihatku, Ibu sepertinya sudah tau anaknya akan segera berangkat.
“Berangkat nak?”
“Iya. Pamit ya bu…do’a kan…”
“Iya Ibu do”ain…”
“ Jangan lupa bawa sarung..”
“Iya bu…udah ada…”
“Naik apa ke Jakartanya?”
“Kereta aja bu..lebih murah…”
“Ya udah…hati-hati ya…”
Aku mencium tangan Ibu. Didepan pagar rumah mataku  mencari tukang ojek yang biasa mangkal dekat rumah. Seorang tukang ojek yang melihatnya langsung menghampiri dengan motor  Tornado.
“Kemana Yud”
“Ke stasiun…”
“Aya naon di stasiun Yud?”
“Aya gorengan, gehu, bala-bala, misro juga ada ka…” Kataku berkelakar.
“Hahaahaha….ditanya malah ngelantur…”
Tukang Ojek ini tertawa.
Sepuluh menit kemudian, Aku sudah ada  di stasiun Rangkasbitung. Stasiun ini nampak sangat indah. Bangunan stasiun ini sangat terlihat bentuknya khas peninggalan jaman penjajahan.
Di peron kududuk menunggu kereta Rangkasbitung-Tanah Abang. 
Hari itu stasiun tidak begitu ramai. Mungkin karena saat itu sudah siang. Penumpang kereta arah Jakarta biasanya padat dari subuh sampai  pagi hari. Kebanyakan mereka adalah karyawan swasta yang bekerja di Serpong atau Jakarta.
Kereta pun tiba. Kereta ini datang dari arah  Merak. Kami biasanya menyebutnya kereta Patas pagi.
Tak kurun lama Aku sudah duduk diatas kursi kereta. Dari jendela, mataku menatap suasana stasiun kereta.
Peluit Kepala Stasiun mulai ditiup. Kereta pun mulai merangkak bergerak.
“Rangkasbitung, Aku pergi,”
“Selamat tinggal Mirna, ini yang terbaik untukmu.”

Sepanjang jalan kulihat bendera merah putih berkibar. Hari ini tanggal 17 Agustus 2000. Hari Kemerdekaan. Aku lepas dan pergi dari Mirna. Tapi ini bukan arti kemerdekaanku. Ini adalah ketidakberdayaanku. Ini adalah pelarianku. Pelarian dari ketidakmampuanku menghadapi kenyataan…

****   
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Tujuh
Jakarta, 01 Juli 2016
Malam, Jam 21.17 WIB
Namaku  Yudha Hari Subhan. Saat ini Aku sedang bertamu dirumah seorang pejabat provinsi. Di sebuah ruang tamu yang besar kami berempat orang sedang mengobrol.
Ruang tamu ini terbilang mewah. Berbagai hiasan terpajang indah di dinding. Kursi sofa yang mereka duduki sangat bagus. Terlihat dari ukirannya yang mahal bermotif naga.
Disudut ruangan juga terpajang piano.
Sebuah lukisan keluarga terpampang di dinding. Seorang pria mengenakan jas lengkap dengan dasinya diapit  istri dan   anak perempuannya yang mengenakan toga sarjana.
Lantai rumah itu terbuat dari marmer,  terkesan sangat mewah. Dibeberapa bagian terdapat hamparan permadani berwarna merah. Sedangkan diatas, lampu-lampu hias besar memperlihatkan keanggunan bangunan besar itu.
Salah seorang dari tamu yang mengenakan jaket kulit coklat mulai membuka percakapannya. Dia Garda yang malam itu sengaja ku ajak untuk menagih hutang.
“Kami tau bapak lelah karena baru pulang kerja. Bapak tentu lelah. Tapi mohon ma’af kami hanya menjalankan tugas pimpian. Kami harap bapak memahaminya,”
Garda mencoba bicara sesopan mungkin.
Tuan rumah yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong itu menyimak apa yang diucapkan tamunya.
 “Kami tak mungkin datang kesini bila tanpa sebab, saya kira bapak sudah paham itu,”
“Iya saya paham. Anda melaksanakan tugas, tapi…” Jawab tuan rumah yang berbadan pendek gemuk sambil mengambil gelas air didepannya, minum.
Suasana hening sejenak.
“Saya sebenarnya sudah pernah ngobrol dengan Arwan, dia bilang bahwa tidak ada masalah. Dia baik-baik saja,” Lanjut tuan rumah tadi sambil menunduk gelisah.
“Ini surat kuasa penagihan kami. Itu Arwan yang tandatangan. Dia ingin uangnya kembali malam ini ! kata Garda mulai meninggi.
Aku tau Garda mudah terpancing emosi. Tapi masih kubiarkan.
“kami datang untuk menyelesaikan ini, bos kami menyuruh kami datang kesini. Masalah besar harus jadi kecil, masalah kecil bisa dihilangkan, gitu kan baiknya bos, heheheh,”
Kali ini nada bicara Garda menurun.
Tuan rumah hanya mengangguk-angguk sambil senyum kecut.
Tuan rumah ini adalah salah satu pejabat salah satu dinas   yang sangat berpengaruh di Jakarta. Wajahnya sudah tidak asing sering muncul dalam pemberitaan di TV atau media cetak.
“Saya lagi kolef, nanti semua saya selesaikan…” Kata tuan rumah agak terbata-bata.
Aku coba masuk dalam pembicaraan ini.
“Maaf   ya….bos..”
Perhatian tuan rumah pun beralih padaku.
“Apa bos sadar bahwa ini adalah masalah besar. Uang 1 Milyar yang bos ambil dari Arwan itu suap…..dia  bos janjikan proyek yang di Kuningan, tapi kan sampai saat ini tak pernah ada. Ini kan namanya penipuan, meminta uang dengan mengimingi-imingi orang yang gak ada buktinya. Ini jelas penipuan…!”
Aku menghentikan bicara sebentar. Melihat reaksi dari tuan rumah. Semua yang ada disitu menunggu kelanjutan kalimatku.
“Saya kira  Si Arwan masih termasuk bijak, dia hanya minta uangnya dikembalikan. Itu aja….masalah selesai. Kita anggap ini tak pernah terjadi….”
Tuan rumah mulai gugup. Dia mengambil gelas air dihadapannya dan meminumnya. Nampak jelas bahwa tangan tuan rumah gemetar ketika memegang gelas.
“Tapi saya sedang tidak ada uang. Kalo 50 Juta mungkin ada sekarang juga….saya minta waktu…pasti saya selesaikan…” Kata tuan rumah memelas dan terbata-bata.
Aku  tersenyum dan tertawa kecil.
“Hehehe….tenang aja bos….santai aja…”
Semua yang ada diruangan itu diam.
Aku coba mengalihkan perhatian tuan rumah  dengan  pura-pura menanyakan  poto besar keluarga yang terpajang di dinding ruang tamu.
“Itu poto anaknya bos dulu lulus kuliah dimana ? Hebat ya potonya lagi diwisuda….pasti pintar ya seperti ayahnya, hehehehe…”
“Sedang ngambil S2 di Australi…” Jawab tuan rumah singkat.
Aku senang pancinganku menarik orang ini ke yang ku mau.
“Oh….kalau di Australi kan jauh, jadi dia gak akan begitu malu….kecuali kalau di Australi anak bos suka nonton TV Indonesia ya…….”
Aku mengatakan itu sengaja dengan intonasi rendah tapi tenang.
Tuan rumah menatapku dan mengeryitkan alisnya.
“Maksudnya…..?”
Sambil kubakar rokok, Aku menjawab dengan tenang dan mata menatap mata tuan rumah.
“Ya kan kalau besok saya laporkan kasus penipuan ini ke polisi, dan bos ditahan, lalu wajah bos ramai mengisi pemberitaan koran dan televisi anak bos kan gak tau itu, atau teman-temannya juga gak tau….setidaknya tidak akan ada beban psikologis…karena ayahnya ditahan…”
Si tuan rumah sepertinya paham, bahwa ucapanku adalah ancaman halus. Apa jadinya bila pejabat seperti dirinya berurusan dengan polisi. Terlebih lagi memang dia merasa melakukan perbuatan itu.
“Sempruuuuuul, pintar orang ini,” Mungkin itulah gerutu orang itu dalam hatinya.
Tuan rumah kemudian memandangi kami satu persatu. Sepertinya dia sudah punya pilihan.
“Gini aja…..saya ada uang cash 200 juta….dan mobil Pajero Sport yang didepan bisa kalian bawa….BPKB nya ada, karena itu bukan mobil cicilan, mobil itu ditaksir 300 juta, jadi saya malam ini sudah ngangsur 500 juta,”
Aku langsung bangkit dan menyalami orang itu sebagai tanda setuju.
“Heheheheh…bos benar professional dan bijak,….kita hargai itu…”
 Yang punya rumah tergopoh-gopoh naik tangga rumahnya untuk mengambil uang dan BPKB mobilnya.
Sementara yang punya rumah sIbuk diatas, Aku menyuruh Garda mengambil selembar kertas kosong dan sehelai materai di mobil.
 Dalam beberapa menit Garda  menulis perjanjian diatas kertas itu dan siap untuk ditandatangani.
Tak lama yang punya rumah turun dari tangga dan menyerahkan beberapa gepok uang pecahan 100 rIbuan. Dari saku celananya dia mengeluarkan buku BPKB.
Buku itu pun ku baca dan kuperiksa. Aku mengangguk.
Tuan rumah kemudian menyodorkan kunci mobilnya.
“Ini kunci mobilnya,”
“Makasih bos, silahkan dibaca dan ditanda tangani. Ini kwitansi yang 200 juta…” Kataku.
Akhirnya transaksi pun selesai dengan cepat. Dengan ramah tamu-tamu tadi pamit pulang.
 “Terimakasih ya bos……semoga sukses selalu…”
Aku sekarang sudah ada dibelakang stir mobil Pajero Sport warna merah milik tuan rumah.
Setelah tamu-tamu tadi pergi, tuan rumah kembali masuk. Dalam hati mungkin dia menggerutu…”Sempruuuuuuul !”
***

Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Delapan
Blok M, 5 Juli 2016
Jam 10.35 WIB
Suasana restoran Jepang siang itu nampak sepi. Hanya beberapa pelayan yang nampak berdiri di sudut ruangan. Biasanya pelanggan mulai datang selepas jam kantor.
Alunan musik negeri Sakura itu diputar dengan lirih. seakan paham bahwa pelanggan yang datang  bukan ingin menikmati lagu.
Dimeja nomor 17 Aku duduk ditemani sahabat sekaligus asisten pribadiku, Garda. Anakbuah yang satu ini  kukenal sejak tahun 2010. Saat itu dia datang ke kantorku untuk mencari pekerjaan. 
Garda baru keluar dari LP Cipinang karena kasus pembunuhan. Dia bercerita  bahwa pembunuhan itu tidak disengaja. Saat itu dia bekerja sebagai penjaga keamanan salah satu tempat hIburan. Seorang pengunjung mabuk membuat keonaran. Dia menyeret orang mabuk itu keluar.
Beberapa teman pria mabuk itu tak terima. Mereka mengeroyok Garda. Pertarungan tak seimbang, lima lawan satu pun terjadi. Seorang dari mereka tewas diujung sangkur Garda. Dengan tubuh penuh luka Garda lari dari tempat itu. Seminggu kemudian polisi menangkapnya.
Garda memang orangnya mudah marah. Sering Aku  menasehatinya. Bila sedang marah, siapapun bisa jadi pelampiasan. Kadang teman sendiri pun harus merasakan bogem mentahnya. Hanya padaku Garda tak pernah berani marah.
Garda bertugas menjadi asisten pribadiku. Kebetulan dulu dia pernah kuliah ekonomi kendati mesti kandas ditengah jalan. Setidaknya dia bisa memeriksa pembukuan atau sekedar mengetik surat.
Tapi kesetiaan Garda memang sudah teruji. Setiap uang yang didapat dIbukukan dengan baik. Tak pernah sekalipun dia membohongiku. Terlebih masalah keuangan. Semua dikelola dan dilaporkan secara rinci kepadaku. Sepeserpun dia berani mencuri dariku. Dia pun tak pernah membantah perintahku. Garda tak ubahnya bagai seorang tentara yang selalu patuh pada komandannya.
Organisasi preman berkedok perusahaan ini  Aku dirikan beberapa tahun yang lalu. Berawal dari saran seorang teman teman  yang bernama Marbun. Marbun adalah membantuku mendirikan  Perseroan Terbatas alias PT atasnamaku. Selain mendirikan PT, Marbun juga seorang pengacara. Dia membantuku mendirikan sebuah yayasan penyalur tenaga kerja.
Aku kenal Marbun ketika mengurus sengketa tanah seorang pengusaha asal Medan. Dia menjadi lawyer dalam sengketa itu, dan Aku yang mendapat job pengamanan tanah itu. Dari situlah kami kenal dekat sampai saat ini.
Karyawanku kebanyakan adalah preman yang selama ini sudah menjadi anakbuahku menjadi anakbuahku. Yang membedakannya adalah sekarang Aku menggunakan badan usaha resmi. Kontrak kerja yang kulakukan dengan klien pun dIbuat resmi. Marbun yang mengatur setiap perjanjian kerja yang kubuat dengan klien.
            “Preman sekarang jangan mengandalkan otot, tapi harus mengkombinasikan otak dan otot,” Begitu yang sering dikatakannya.
            Nama perusahaan yang kudirikan adalah PT Cakra Yudha. Cakra adalah senjata sakti milik Kresna, tokoh pewayangan. Sedangkan Yudha tentu saja namaku.
Yayasan juga Aku beri nama Cakra. Lengkapnya Yayasan Cakra Yudha Mandiri. Keren kan?
Perusahaanku semakin hari semakin berkibar di Jakarta. Banyak bidang bisnis yang kujalankan, mulai dari parkir, penagihan hutang, pemasangan spanduk, pengamanan, penguasaan lahan, prostitusi, lapak judi dan prostitusi.
Pengguna jasa perusahaanku semakin banyak dari berbagai kalangan. Saat musim kampanye Pilkada pun Aku  kebanjiran order pengerahan massa kampanye.
Aku diberi tanggungjawab mengerahkan rIbuan massa bayaran. Dari kegiatan ini biasanya Aku mendapatkan hasil puluhan juta rupiah, itu sudah bersih setelah membayar  transport peserta kampanye.
Karena banyak politis yang menggunakan jasaku. Maka banyak politisi yang kukenal. Banyak dari mereka yang sering tampil di acara talk show TV. Aku kadang-kadang senyum-senyum sendiri melihat tingkah polah mereka.
Hanya ada satu bisnis hitam yang samasekali tak kusentuh. Narkoba ! Entah kenapa Aku sangat benci dengan bisnis ini. Selalu terpikir  hancurnya generasi muda karena penyakit yang satu ini.
“Kena Narkoba pasti bisa jadi pencuri dan rampok!” Itulah yang  Aku tau.
Beberapa aparat juga kukenal. Banyak mereka yang sering main ke kantorku. Mungkin mereka memang ditugaskan untuk memantau, atau mungkin memang mereka ingin berteman denganku.
Dikehidupanku sekarang, soal uang sudah bukan masalah. Semua Garda yang tanggungjawab mengelolanya. Dari menghimpun uang yang masuk, juga membayarkan segala tagihan yang harus dibayar.
Hanya satu hal yang tak bisa kuserahkan pada Garda. Pembinaan karyawan misalnya. Sifatnya yang mudah emosi tidak mungkin mampu  menasehati anakbuah. Bisa-bisa yang dinasehati malah babak belur dihajar Garda !
Untuk membina anak buah kupercayakan kepada masing-masing kepala cabang. Hampir semua wilayah di Jakarta ada cabang –cabang usahaku. Mereka biasanya membuat semacam basecamp untuk berkantor. Hanya kepala cabang atau pengurus senior yang biasa berkomunikasi langsung denganku.
Setiap awal bulan kepala cabang melaporkan perkembangan wilayahnya dalam rapat. Kendati preman tapi kami sudah tidak asing keluar masuk bank.
Dikalangan preman, Aku terbilang disegani. Sesekali kami juga bersitegang dengan kelompok lain. Tapi itu biasanya bisa diselesaikan dengan ngopi bersama. Atau bila masalahnya rumit, backing kami yang turun menengahi. Kami biasanya menyebut backing kami ini “Babeh”. Dia adalah seorang petinggi disebuah angkatan.
Babeh tidak pernah meminta setoran dariku. Yang kami dengar, Babeh akan masuk ke dunia politik saat pensiun nanti. Mungkin karena itulah Babeh mau menjadi induk bapak angkat  kami.
Sebagai orang yang menguasai beberapa bisnis ilegal tentu kami pernah berurusan dengan aparat. Sebagai pemimpin tentu Aku menggunakan segala cara untuk membebaskannya.
Disini peran  Marbun sangat besar. Kadang anakbuahku mujur bisa lepas, Kadang juga ada yang tak tertolong masuk bui. Ya itulah resiko hidup didunia preman.
Aku bertanggungjawab membiayai hidup keluarga yang ditahan.  Setiap hari Aku mengutus orang untuk mengirimi mereka  rokok dan makanan. 
Kendati seorang preman, Aku juga sering melakukan kegiatan bhakti.Yayasanku banyak menyantuni anak yatim dan orang tak mampu di Jakarta.
Untuk mencuci hartaku. Setidaknya kuberharap do’a anak yatim bisa menyelamatkan dari bahaya. Itulah nasehat Bang Madong sebelum meninggal beberapa tahun lalu.
Bang Madong kuanggap sebagai ayahku. Janda dan anak-anak bang Madok selalu kuperhatikan kebutuhannya setiap bulannya. Anak sulungnya pun ku biayai kuliahnya. Karena itulah cita-cita bang Madong.
“Anakku tak boleh seperti ayahnya. Mereka harus jadi orang pintar dan sekolah yang tinggi. Ayahnya orang gagal, tapi tidak anaknya!” Kalimat itu yang pernah dikatakan bang Madong.

***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Sembilan
Jakarta, 10 Juli 2016
Pagi Jam 09.15
Pagi itu Aku keluar dari rumah yang ada di daerah Serpong. Sebuah kawasan perumah real estate yang ku cicil dan sudah lunas beberapa tahun lalu.
Mobil Pajero Sport yang kukendarai melaju perlahan seiring lalu lintas yang  tersendat. Pagi itu Aku ada janji dengan seorang relasi, pengusaha keturunan Tionghoa. Ini kali kedua dia minta bantuanku.
Sebelumnya dalam sengketa tanah di daerah Sunter dia menggunakan jasa pengamananku. Hampir 3 bulan anakbuahku menjaga tempat itu. Akhirnya ditingkat banding dia menang. Lumayan juga hasil yang kudapat saat itu. Maklum obyek sengketanya  lahan dikawasan segitiga emas.
Pagi itu kami janjian ketemu di sebuah restoran. Aku tak mau terlambat datang menemui orang ini. Mobilku mulai masuk ke area parkir restoran di daerah Kemang itu. Disinilah tempat kami sepakat untuk bertemu.
Sambil menyetir, pandanganku berputar mencari tempat parkir.
Tak sengaja mataku melihat ada dua orang sedang berdiri tak jauh dari sebuah sepeda motor RX King warna hitam. Kedua orang ini mengenakan jaket kulit berwarna hitam.
Kulihat salah seorang dari mereka menunjuk mobilku. Ada gambar besar logo perusahaanku di kaca belakang. Logo Cakra ! Sepertinya mereka mengincarku.
“Doooor….doooor…..!!!!”
Tiba-tiba terdengan suara tembakan.  Seperti ada suara letusan di bagian samping mobilku. Persis dibawah jendela kanan. Instingku cepat menerka, bahwa Akulah sasaran tembakan mereka.
Aku merunduk dan membanting setir. Tongkat perseneling langsung kutarik untuk laju mundur. Dua orang  kulihat bergegas naik ke motor mengejar.
Dari spion kulihat penumpang motor mengarahkan pistol ke arahku. Kubanting setir ke kanan untuk menghindari tembakan.
“Dooor…!!! Doooor  !! bleeeetak…bleeeetak….!!!
Kembali ada bagian mobilku yang kena peluru.
Kembali ku lihat spion. Dua orang itu masih mengejar.
Area parkir itu cukup luas. Ku lihat orang-orang berlarian ketakutan menyaksikan adegan itu kejar-kejaran bersenjata itu.
Mobilku melaju kencang. Begitu pula motor penembak dibelakangku.
Tiba-tiba terpikir olehku untuk menginjak rem mendadak. Sambil stir ke buang ke kanan untuk menghadang motor dibelakang.
“Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttt….nguk…nguk !!!!”
“Bruuuuaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!!!
Terdengar suara benturan keras dari belakang mobilku. Dari spion ku lihat dua orang penembak tadi terkapar.
Orang-orang menjerit.
Aku tak mau kena masalah. Meski posisiku sebagai korban penembakan, tapi tentunya tak semudah itu ketika diperiksa yang berwajib.
Kupilih tancap gas, keluar dari area restoran itu.
Seraya ku telepon bos yang janjian ketemu denganku.
“Sorry bos…..didepan restoran Aku tadi diberondong peluru…gila tuh orang. Siang bolong mainin bedil….nanti kita jadwalin aja bos, okeeeh, okeeeeh, siap.”
Hari itu Aku masih mujur bisa lolos dari kematian. Aku  memilih putar arah kembali ke rumahku di BSD.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Sepuluh
Stasiun Parungpanjang, 16 Juli 2016
16.32 WIB.
            Masih ingat kan namaku? Namaku  Yudha Hari Subhan. Aku  saat ini ada diatas kereta api Rangkas Jaya yang mengarah ke Rangkasbitung, Banten. Aku naik dari Stasiun Tanah Abang.
Tadi sahabat dan asistenku Garda yang mengantar ke  stasiun. Sengaja  tak kubawa mobil. Aku ingin menikmati suasana naik kereta api. Aku ingin mengenang masa-masa itu. Suasana yang sama seperti ketika pertama kali datang ke Jakarta. Itu 16 tahun silam.
            Umurku sekarang 37 tahun. Masih lajang. Bujang lapuk istilah orang-orang biasanya menamakan orang sepertiku yang telat menikah. Sebutan yang kadang membuat kupingku merah. Tapi untuk apa Aku harus pusing dengan sebutan itu. Memang itulah hidupku.
Aku belum menikah bukan karena tak laku. Banyak wanita yang mencoba masuk ke hatiku. Tapi semua harus kecewa dengan sikap dinginku. Aku masih belum terpikir untuk punya teman wanita. Sudah 16 tahun belum terpikir. Hmmmmm…ya, itulah Aku, Yudha Hari Subhan.
            Terlahir dari keluarga petani di desa mungkin bukan keinginanku. Andai bisa memilih dari rahim siap Aku dilahirkan, mungkin Aku akan memilih lahir dari rahim Ibu Tien Soeharto, atau ingin punya bapak milyader sekelas Abu Rizal Bakrie. Tapi itu kan kalau bisa memilih. Karena lahir itu kita tak pernah memilih. Maka lahir dari seorang rahim petani, itulah takdirku, dan Aku bersyukur untuk itu.
Nama kampungku, sebut saja, Babakan. Orang ada yang menyebutnya Babakan Sisi Cai, artinya kampung yang ada dipinggir kali. Kali Ciujung memang melintasi kampung kelahiranku.
Babakan adalah salah satu kampung yang ada dipinggiran kota Rangkasbitung. Jaraknya hanya sekitar 4 kilometer. Waktu sekolah SMA dulu Aku biasa jalan kaki menyusuri rel kereta api. Maklumlah saat itu tak ada angkutan umum yang masuk ke kampungku.
Rangkasbitung ? Aku lebih senang menyebutnya Rangkasbitung. Walau sebenarnya tempatku tinggal bukan lagi masuk ke wilayah administrasi kecamatan Rangkasbitung. Sudah lama ada pemekaran. Dan kecamatan pemekaran itu diberi nama Cibadak.
Kenapa namanya Cibadak? Konon menurut cerita yang tidak bisa dipastikan kebenarannya, Cibadak berasal dari kata air tempat pemandian badak. Badak? Bukankah badak adalah binatang langka yang ada di Ujung Kulon? Tadi sudah kukatakan, ini dari informasi yang tak kujamin kebenarannya!
Ngomong-ngomong soal nama Rangkasbitung, mungkin diantara kita sudah tahu atau setidaknya pernah dengar. Tapi bagaimana dengan nama Lebak? Mungkin ada belum tahu ya?
Memang nama Rangkasbitung seakan lebih tenar dari nama Lebak itu sendiri. Padahal Rangkasbitung itu hanya nama kencamatan dan kabupatennya namanya Lebak.
Tapi jangan lupa, pada tahun 2013 lalu nama Lebak jadi terkenal. Ada yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, tempatnya di Lebak. Kasus suap kepada hakim konstitusi, itu yang ku lihat di televisi.
            Ada lagi yang bisa dikait-kaitkan dengan nama Lebak atau Rangkasbitung. Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Dia adalah adalah penulis Belanda yang terkenal. Mantan asisten residen Lebak ini menulis sebuah buku yang berjudul  Max Havelaar. Buku novel ini berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang prIbumi. Dalam buku itu kisah percintaan antara Saijah dan Adinda. Maka di Rangkasbitung ada jalan, gedung bahkan nama perusahaan yang menggunakan nama Multatuli.
Selain terkenal dengan Multatuli, Lebak juga dikenal dengan suku Baduy. Orang Baduy sendiri tak suka disebut Baduy. Mereka lebih suka disebut Urang Kanekes. Suku ini sangat dikenal karena masih kuat menjaga tradisi sukunya.
Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
Tubuhku tidak terlalu tinggi, tidak pula terlalu pendek. Tinggi  yang ideal rata-rata orang Indonesia. Postur tubuhku bisa dibilang gemuk. Mungkin karena Aku jarang olahraga.
Banyak teman yang memberi saran agar Aku berolahraga.  Mereka berkata, mendekati usia 40 lemak mulai menumpuk diperut.  Yah biarin lah. Yang penting sampai saat ini Aku  sehat wal afiat.
Kulitku putih. Kadang ada yang memanggilku si bule. Tapi Aku bukan bule sungguhan. Aku asli orang Rangkasbitung. Asli lho! seperti slogan salah satu iklan minyak kayu putih di TV yang biasa kita tonton.
            Diusiaku hampir mencapai kepala empat ini Aku masih perjaka tingting. What? Kalian gak percaya kalau Aku masing tingting? Ya terserah mau percaya atau gak! Yang jelas namaku belum pernah tercatat menikah di KUA mana pun se antero Nusantara. Kalau kalian masih tak percaya, silahkan tanya aja sendiri ke KUA !
Terkait statusku yang masih lajang, Aku berharap kalian tak salah duga. Aku masih normal. Melihat wanita cantik tentu saja dadaku akan berdegub kencang. Deg….deg….deg….
Apalagi kalau wanita cantik itu berpakaian seksi. Maka degub jantungku akan semakin kencang. Deeeeeggg….deeeegggg….deeeeeg…!!!!
Aku enggan menikah karena ada cerita kelam dalam hidupku. Ada cerita asmara yang lebih seru dari sekedar sinetron yang tayang di TV swasta. Mungkin karena hatiku sudah tak bisa pindah ke lain hati.
Tapi Aku tetap berharap, suatu ketika Aku punya istri, anak dan kebahagian bersama mereka. Untuk apa semua yang kumiliki saat ini?
            Hal lain yang juga perlu kukatakan pada kalian. Kendati dalam usia 37 tahun tak jua beristri. Tapi Aku pantang yang namanya “jajan” perempuan.
Setidaknya pesan dari Ustad Udin, guru ngajiku saat masih SD masih selalu kucamkan. “Anak-anak. Jangan kalian berzina. Sekali kalian berzina, berhubungan intim dengan wanita yang bukan istri maka dosa besar untuk kalian. Sialnya selama 40 bulan, orang sekampung kebawa sial..” Kira-kira seperti itulah nasehat Ustad Udin pada kami.
            Hal lain yang membuat Aku takut “jajan” perempuan kengeri jika dengar yang namanya penyakit seks menular. Ada yang namanya Sipilis alias Rajasinga alias kencing nanah. Hiiiiih…ngeri ! Dan ada lagi penyakit yang paling kutakuti. Itu HIV AIDS !
            Tapi walau pun tak pernah “jajan” perempuan, Aku tidak pernah alergi berdekatan dengan Pekerja Seks Komersial atau PSK. Aku Bahkan bisa dibilang Aku kerap bicara dengan mereka. Ya karena Aku adalah mereka !
            Aku tidak munafik. Ada hasil kerja mereka yang juga kumakan. Ya, karena inilah duniaku. Aku terima kalau kalian mencemoohkanku. Aku terima. Toh, kalian tidak sedang ada didepanku.
            “Peeeeeeeeeeeeem”
Klakson kereta api yang kutumpangi berbunyi. Pertanda kereta harus segera melangkah menuju stasiun berikutnya. Kereta mulai melaju. Stasiun Parungpanjang mulai kami tinggalkan. Kota Rangkasbitung semakin dekat.
Mataku melihat sekitar tempatku duduk. Suasana kereta nampak sepi. Tak banyak penumpang yang ada saat itu. Tepat didepanku seorang wanita dan anaknya yang berumur sekitar 5 tahun.
Sesekali Aku tersenyum ke tetangga kursiku itu. Namun Ibu muda ini hanya senyum kecut. Sepertinya dia takut melihatku. Sementara anaknya nampak terkantuk-kantuk.
            Kereta ini sungguh sepi. Tak ramai seperti dulu ketika Aku pertama pergi ke Jakarta. Ya ketika 16 tahun yang lalu Aku meninggalkan kampung halaman. Tak ada pedagang  yang hilir mudik berburu  pembeli. Tak ada petugas kotak amal jariyah yang berceramah mencari simpati. Tak pengamen yang bernyanyi silih berganti.
Perombakan sistem di perusahaan kereta api itu memang terjadi besar-besaran. Semua pedagang, pengamen dan aktifitas yang dianggap menganggu kenyaman penumpang kini dilarang.
Semua stasiun dipagar dan dijaga ketat oleh penjaga. Tak ada lagi kondektur yang mengutip lebaran uang rIbuan dari penumbang tak berkarcis. Semua sudah tertib. Aku pun dIbuat gelisah karena dilarang merokok diatas kereta. Mulut asam tak tertahan.
Kereta yang kutumpangi terus melaju. Cilejet, Tenjo, Daru, Tigaraksa, Maja, Citeras, dan………..stasiun yang paling ku rindukan. Stasiun Rangkasbitung.  Kota serIbu cerita…Kota serIbu kenangan…
Dan kota serIbu duka untukku….
***

Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Sebelas
Tanah Abang, 17 Agustus 2000
11.30 WIB.
            Saat  kali pertama menginjakkan kaki di Jakarta usiaku baru 20 tahun. Ya…aku, Yudha Hari Subhan yang sudah 16 tahun tinggal di Jakarta. Waktu yang sangat lama bagi pemuda seusiaku. Ya saat itu tentunya.
            Selama 16 tahun itu Aku tak pernah sekalipun pulang. Hari raya Idul Fitri atau pun Idul Adha Aku tak pernah pulang. Sebagai manusia biasa, dan sebagai seorang anak yang masih memiliki Ibu Aku juga punya rasa rindu. Tapi semua rindu itu akan tahan. Aku tahan untuk tak pulang.
Kalau Aku niat, mungkin bukan hal sulit untuk setiap hari pulang pergi Rangkas-Jakarta. Karena banyak orang Rangkas yang tiap hari pulang pergi ke Jakarta bekerja menjadi karyawan. Ada beberapa dari mereka yang ku kenal di Jakarta.
            Yang kuingat hari itu hari Kemerdekaan RI. Entah peringatan yang keberapa Aku lupa. Yang   Aku ingat itu tahun  tahun 2000. Kenapa ku ingat betul bahwa hari itu hari kemerdekaan? Karena sepanjang jalan, diatas kereta api ekonomi Rangkas-Jakarta kulihat warga sedang melakukan berbagai perlombaan. Ada balap karung, panjat pinang dan perlombaan lainnya.
            Masih kuingat ketika menginjakkan kaki di stasiun Tanah Abang turun dari Kereta Ekonomi Rangkas-Jakarta. Tak tahu kemana Aku akan pergi. Tiada sanak keluarga atau teman yang bisa ku sambangi di kota Metropolitan ini. Aku hanya pernah melihat Jakarta di TV hitam putih punya pamanku. Hanya itu.
            Hari itu cuaca begitu terik. Matahari dengan congkak memperlihatkan keperkasaannya. Gigitan dewa Surya itu seakan mengupas batok kepalaku. Kakiku memakai sepatu merk Dragon Fly putih, atau orang-orang menamakannya sepatu capung. Aku melangkah  tak tentu arah. Ku ikuti saja keinginan mataku.
 Terlihat tulisan bangunan bertingkat, Blok F. Mungkin inilah tempat belanja pakaian murah yang terkenal itu. Sering kudengar kalau di kampung bahwa harga pakaian yang paling murah itu di Tanah Abang. Mungkin inilah yang mereka maksud. Aku terus melangkah menyusuri jalan di depan Blok F ini.
 Melangkah sambil melihat aktifitas pedagang yang sIbuk menawarkan dagangan ditengah macetnya lalu lintas. Suara-suara dari pengeras yang memekakkan telinga.
            Sambil berjalan ku bakar rokokku. Sesekali Aku terpaksa menyelinap disela-sela kerumunan pedagang dan pembeli. Panas sekali siang ini.
            Tak jauh dari Blok F Aku melihat plang nama jalan disebrang. Aku pun seperti tertarik untuk menyusuri jalan itu. Kebon Kacang 3 nama jalan itu. Aku terus melangkah.
Peluh mengucur membasahi bajuku yang lusuh. Haus dan lapar tak tertahan memaksaku untuk berhenti dan mencari pedagang makanan. Kulihat  pasar kecil yang mulai sepi. Didekat bangunan Pos Kamling Aku berhenti. Beberapa orang sedang duduk di sebuah warung kopi. Pilihanku masuk warung itu.
            Aku kemudian memesan  mie rebus pakai telor. Kurasa itu cukup untuk makan siang hari ini. Kendati ada warung nasi tak jauh dari warung yang ku duduki, tapi teringat minimnya uang dikantong, maka mie rebus adalah pilihan yang sangat sesuai dengan kantongku.
            Beberapa menit kemudian mie rebus pesananku sudah tersedia. Kulahap segera mie itu tanpa menunggu hangat. Rasa lapar membuatku lupa segalanya. Lupa dengan sekelilingku.
            Segelas teh hangat menjadi penutup makan siangku. Keringat mengucur deras dari keningku. Entah pertanda cuaca panas yang tak terkira, atau mungkin reaksi mie instan bergambar pria bersorban bertabur lada yang baru berpindah ke perut ini. Perduli amat……yang penting Aku sudah kenyang.
            Sebatang rokok pun kubakar. Tinggal satu batang lagi. Waduuuuuuh. Amunisi sudah habis. Kapal mulai oleng jendral, begitu biasa Aku dikampung berseloroh ketika kehabisan rokok.
Sambil menghembuskan kepulan asap rokok, mulai mataku menjelejah sekitarku. Baru kusadar beberapa pasang mata sedari awal datang sesekali melirik ke arahku. Entah apa yang mereka obrolkan. Instingku mengatakan mereka sedang membicarakan Aku.
Kedua pria ini duduk sekitar 4 meter  didepanku. Seorang dari mereka bertubuh tinggi kerempeng. Dia mengenakan rompi  hitam yang  yang sudah lusuh. Beberapa bordiran gambar di rompi itu sudah sudah susah dibaca. Sesekali pria ini tertawa terbahak-bahak. Tawa mereka begitu keras. Temannya yang bertubuh pendek tambun juga turut tertawa. Entah apa yang mereka tertawakan.
            Aku pura-pura tak melihat mereka. Tapi sudah bisa melihat, dua orang ini punya maksud tidak baik padaku. Instingku juga berkata mereka mengincarku.
“Kalian gila bila memakanku. Aku gak bawa duit. Tak ada apapun yang bisa kalian ambil.” Kataku dalam hati.
            Tak sedikit pun rasa gentarku. Apa yang harus kutakutkan? Matipun rasanya  saat ini Aku sudah siap. Keputusasaan ditinggal Mirna membuatku seperti ingin mati.  Berpisah dengan Mirna sudah merupakan kematian bagiku.
Tapi Aku tak mau bunuh diri. Karena Aku tahu matinya orang bunuh diri adalah murtad. Itu kata Ustad Udin, guru ngajiku.
            Saat ini Aku  merasa menjadi mayat hidup. Apalah gunanya hidup tanpa ada lagi harapan. Ya, harapan yang kumiliki bertahun-tahun. Harapan untuk bisa memiliki Mirna seutuhnya.
            Pria  bertubuh kerempeng tadi menghampiriku. Dia minta api.
            “Minta api”
            Aku menyodorkan rokokku yang masih menyala.
            “Makasih.” Kata orang tadi.
Pria ini duduk disampingku. Pemilik warung melirik sebentar dan pura-pura membersihkan piring yang berserakan. Aku tahu pemilik warung itu sedikit ketakutan. Nampak jelas dari raut mukanya yang gelisah.
            “Lu darimana?” Kata pria tadi.
            “Rangkas bang..”
            “Rangkas?”
            “Banten bang..”
            Temannya yang bertubuh gemuk ikut menghampiri kami. Dia duduk persis disebelah kananku. Kini Aku diapit  dua orang berwajah sangar. Tapi Aku tetap tenang. Sesekali Aku menenggak sisa teh panas yang mulai menghangat.
            “Bagi duit dong…buat nambah……” Kata pria gemuk yang ada disebelah kananku sambil mencolek tanganku.
            Aku menoleh ke orang yang barusan bicara.
            “Apa yang mau dikasih bang, saya gak punya duit…”
            “Noban aja…cukup…!” Kata Orang ini sambil menjentik-jentik telunjuknya di meja triplek didepannya.
            “Tok….tok….tok…”
            “Boro-boro bang…, gak ada…sungguh..”
Entah kenapa dihatiku seperti ada keinginan kuat agar kedua orang ini memukulku. Agar Aku bisa menghajar mereka dengan keras, sekeras-kerasnya.
            “Luh jangan pelit gitu lah sama kita-kita. Kita mintanya baik-baik sebagai tanda persahabatan.”
Nada bicara si gemuk tadi terkesan mengancam.
            “Iya lah. Lu masuk ke wilayah gua, lu hargai kita dong…” Timpal temannya.
            Aku mecoba tetap tenang. Tanganku seperti tak sabar ingin segera meninju kedua orang ini. Naluriku sudah bergerak membaca situasi bila perkelahian terjadi. Menyikut yang dikanan, sekaligus menyikut yang dikiri, sambil loncat meraih botol kecap yang ada didepanku. Itu yang kubayangkan bila perkelahian terjadi.
            “Mana…sini…jangan bikin gua marah!”
 Si kerempeng membentak.
Kulihat pemilik warung yang sedari tadi pura-pura mencuci piring kulihat melangkah ke luar jalan belakang.
            “Sungguh gak ada bang. Abang maksa juga gak ada yang bisa kuberikan..!”
            Tiba-tiba sudut mata kiriku melihat pria gemuk disebelah kanan melayangkan tangannya, sepertinya hendak mencengkram krah bajuku.
            Spontan tangan kananku menepisnya dengan telapak tangan terbuka. Kudorong telapak tangannya dengan tapak tangan kiriku. Dan sikut tanganku kusodokkan ke mukanya.
            “Paaaaaaak!” Tepat di batang hidungnya.
            “Wadaaaaaaaaaau!!!!
Dalam hitungan sepersekian detik sikut kiriku juga bergerak menghujam tepat ke hidung si kerempeng yang ada disebelah kiriku.
            “Baaaaaaak! Adaaaaaaoooooooow !
            Erangan kesakitan terdengar hampir bersamaan seiring kedua orang ini terjerembab masuk ke kolong bangku yang kami duduki.
Kakiku seperti otomatis melayang menginjak kepala pria dikananku.
            “Daaaaaaaaaaag !!! Haaaaaaaooooooow !!!
            Pria gemuk tadi menjerit kesakitan.
            Sementara pria krempeng tadi masih terjerembab. Kepalanya menempel dikaki meja, sedangkan sebelah kakinya masih ada diatas bangku, menyentuh pinggangku.
            Kupegang pergelangan kaki orang ini. Sekuat tenaga kutarik kaki ini  ke luar warung.
Bagai orang kesurupan kugusur orang ini. Kepala ditanah, sementara tangannya menggapai-gapai seakan mencari pegangan. Aku tak terus menarik orang ini sekuat tenaga.
            “Haaaarrrrrrruh !!!!” Teriak orang ini kesakitan.
            Diluar warung cengkraman dipergelangan kaki itu kulepas. Kuhempaskan sebelah kaki orang ini ke tanah. Kakiku kembali melayang dan menghujam kelehernya.
            “Akkkkkkkkkkh!!!!.”
            Orang-orang berkerumun. Namun mereka tak berani mendekat apalagi memisahkan. Mataku berpaling kearah warung. Masih ku lihat pria gemuk tadi terbaring mengerang memegangi hidungnya yang bercucuran darah.
            “Ada apa ini?”
            Datang suara dari arah belakangku. Ketika menengok, ku lihat seorang pria separuh baya menatapku. Matanya melotot menahan marah.
            Orang ini menghampiriku. Tanpa riskan orang ini meraih tanganku. Aku tak bisa menolak.
            “Udah-udah cukup! Cukup! Ini salah paham!”
            “Mereka yang mulai..”
            “Iya, Aku tahu.”
            Orang ini menuntunku masuk ke dalam pasar. Di dekat sebuah WC umum dia menarikku duduk dibangku kayu pajang yang ada.
            “Lu darimana?”
            “Rangkas..”
            “Dmana Rangkas na?”
            “Di Rangkasnya. Dikotanya.”
            “Sama, aing geh ti Rangkas..ti Malingping”
            “Ohw….”
            “Anak-anak tadi anakbuah gua. Udah lupakan. Nanti diberesin ama gua.”
            Aku hanya diam dan mengangguk.
            “Udah makan?”
            “Udah, tadi waktu rIbut saya baru beres makan.”
            “Nama gua Masdar. Orang sini biasanya manggil gua Madong. Ngopi…ya?”
            Orang ini menawari kopi.
            Aku mengangguk tanda setuju dengan tawarannya.
Orang ini merogoh sesuatu dari kantong bajunya. Rupanya beberapa bungkus kopi sachet ada dikantongnya.
            Dia menghampir perempuan tukang kopi yang tak jauh dari WC umum itu.
            “Min, seduh kopi. Kopi kupu-kupu ini. Jangan manis-manis, dua!”
            “Aih. Disini juga ada kopi kupu-kupu ya bang?”
            “Bawa dari kampung. Setiap pulang saya beli beberapa pak kopi kupu-kupu. Gak cocok ey dengan kopi yang lain…hehehe,”
            “Heheheh…”
            “Kamu sebenernya mau kemana?
            “Gak tau bang. Gak ada tujuan…yang penting keluar dari kampung, nyari kerjaan..”
            “Susah ey nyari kerja di Jakarta..”
            “Iya bang…pasti susah..sering saya dengar itu di TV.”
            “Kalo gak ada keluarga, tinggal aja dulu di tempatku. Masa kamu mau tidur di emperan toko jadi gembel.”
            Tak berapa lama dua orang yang ku hajar tadi menghampiri kami.  Madong tersenyum melihat mereka.
            “Beres olahraganya?”
            “Hih. Bang Madong. Patah hidung saya. Si Bonsay juga tuh..” Kata yang kerempeng sambil menunjuk kearah temannya.
            “Udah biasa salah paham. Ini …namanya…siapa namamu?” Kata Madong sambil menunjuk padaku.
            “Yudha…bang,”
            “Oh..iya Yudha. Ini salah paham. Yudha ini satu kampung ama  gua. Mungkin dia masih sodara jauh dari gua. Udah lu bertiga salaman saling memaafkan. Semua beres. Gak ada dendam!!!”
            Aku cepat-cepat mendahuli menyalami dua orang tadi.
            “Maaf ya bang….”
            Dua orang tadi menggangguk saat bersalaman denganku.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Duabelas
Rangkabitung, 16 Juli 2016
Jam 17.31 WIB.
Hari mulai gelap ketika Kereta Api Rangkas Jaya memasuki Stasiun Rangkasbitung. Aku turun dari kereta membawa tas rangsel besarnya.
Beberapa tukang ojek menghampiri dan menawarkan jasa.  Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Ia memilih berjalan daripada naik ojek atau angkot yang banyak melintas di jalan stasiun itu.
Aku melangkah melewati deretan pedagang pakaian. Beberapa penunggu toko yang dilewatinya menyapa menawarkan dagangannya.
“Baju pak….baju,”
Aku terus berlajalan menuju kearah barat stasiun. Dari ujung deretan toko, ia menyebrangi pintu perlintasan kereta api. Ia berjalan menuju Gang KIbun. Di depan Hotel Wijaya aroma buah durian menyengat hidung. Jalan ini memang tempat mangkalnya pedagang durian.
Panjang jalan Gang KIbun sekitar 500 Meter.  Hampir semua trotoar ditempati oleh pedagang durian. Nampak beberapa orang sedang menawar.
Kupilih  masuk Hotel Wijaya. Hanya dalam beberapa menit ia sudah sudah berada di dalam kamar Hotel yang ada di jantung kota Rangkasbitung itu.
Setelah mandi, ia kemudian keluar dari Hotel. Kembali tercium aroma durian yang menyengat.
Aku terus berjalan kaki ke ujung jalan. Multatuli. Jalan ini adalah jalan protokolnya Rangkasbitung. Terang benderang dan lebar.  
Langkah kaki terus melaju. Sepertinya ada kehausan ingin melihat pemandangan di kota itu. Kota yang sudah ditinggalkannya selama 16 tahun.
Kota itu sudah banyak berubah. Beberapa bangunan sudah berubah bentuknya. Di depan rumah sakit Misi matanya menelanjangi beberapa bangunan tua. Beberapa bangunan bekas perumahan tentara.
Rumah sakit Misi pun sekarang sudah nampak berubah. Di samping nampak bangunan bertingkat sedang dalam proses pengerjaan. Melihat bentuknya sepertinya itu perluasan dari bangunan rumah sakit yang sudah ada.
Di depan SMP 1  Aku menyebrang jalan. Ia teringat dulu pernah datang ke sekolah itu dalam sebuah acara. Saat itu Aku masih sekolah SMP. Dia datang untuk mengambil beasiswa dari Yayasan Saija Adinda. Sebuah yayasan yang banyak membantu siswa berprestasi.
Ada yang nampak berbeda di mataku. Dulu jalan itu tak selebar dan seindah sekarang. Dulu bersama teman-temannya sering jalan kaki ke alun-alun untuk menonton layar tancep.
Tak terasa kakinya tiba-tiba di alun-alun Rangkasbitung. Sebuah tulisan besar “Rangkasbitung” dipasang tepat di bagian depan alun-alun. Terlihat beberapa orang anak-anak muda berpoto ria di sini.
Suasana alun-alun mala mini begitu ramai. Ratusan orang sedang bersantai bersama pasangan atau keluarganya. Anak-anak kecil yang naik motor mini. Para pemuda yang main basket. Dan pedagang mainan yang ikut meramaikan alun-alun malam itu.
Dari trotoar alun-alun Aku melihat ke sebrang. Dikiriku, bangunan rumah sakit Ajidarmo nampak mulai usang. Mungkin karena merupakan bangunan lama yang dilindungi dan tak bisa dibangun dengan sesuka hati, bentuk bangunan itu tak banyak berubah.
Berbeda dengan bangunan rumah sakit yang disebelah barat. Bangunan bertingkat itu masih nampak baru. Aku  baru pertama kali melihatnya.
Dulu ketika sering mengantar ayahnya berobat karena TBC yang menggerogotinya, bangunan itu belum ada.
Dari sebrang kanan tempat Aku berdiri, tepat disamping tembok LP, ada auning yang terpasang. Rupanya itu disiapkan untuk pegang kakilima. Pujasera. Disini kebanyakan didominasi oleh anak-anak muda yang nongkrong melihat lalu-lalang pengguna jalan.
Aku melangkah menuju sebuah mesjid besar. Mesjid Mesjid Agung Al-Araf, Rangkasbitung, demikian tulisan besar yang terbaca olehnya. Inilah mesjid kebanggaan warga Rangkasbitung katanya.
Aku pun memasuki masjid itu. Ada puluhan orang di dalam masjid yang sedang menunggu kumandang sholat Isyak. Melangkah mencari tempat berwudhu.
Tak berapa lama azan berkumandang. Panggilan cinta dari Allah. Begitu sejuk, begitu merdu. Aku meneteskan air mata. Setelah bertahun-tahun tak pulang ke kota tercinta.
Laa ilaaha illallah ! Tiada Tuhan selain Allah. Hati terasa damai. Suara imam pun terasa sangat menyentuh kalbu. Ia merasa shalatnya kali ini sangat berbeda. Shalat yang bercampur kesedihan, kegembiraan dan keharuan.
Setelah shalat berjamaah beberapa orang keluar dari masjid. Namun ada juga yang masih bertahan. Ada yang tetap duduk berzikir. Begitu juga Aku yang memilih untuk tetap duduk berzikir.
Terbayang perjalanan hidup yang dialami. Sesak penyesalan terasa didadanya.
“Berilah terang jalan hamba yaa Rob….”
Setelah puas berzikir, Aku bangkit dari duduknya lalu  melangkah ke teras mesjid yang menghadap persis ke alun-alun.
Udara dingin membuatku menggigil. Angin diteras masjid lumayan kencang. Seorang pria yang tadi juga ikut sholat berjamaah menghampirku..
“Maaf, adik darimana ? Sepertinya bukan orang sini?
“Alhamdulillah, saya orang sini asli pak,”
“Oh…maaf. Dimana rumah mu dik ?
“Di Cibadak pak. Tapi saya sudah lama tinggal di Jakarta,”
Mereka terus bercakap seperti sudah lama kenal. Aku langsung akrab dengan pria bernama Ali itu.
Ali bercerita bahwa banyak yang berubah tentang wajah Rangkasbitung. Mulai pabrik minyak yang sudah bangkrut, bioskop Appolo dan Mandala yang hanya tinggal cerita.
Mereka juga berbincang tentang suku Baduy.
“Suku Baduy masih patuh melakukakan seba Baduy kesini setiap tahunnya. Mereka masih kuat memegang teguh tradisi.” Kata Ali.
Setelah berpamitan, Aku naik ojek kembali ke Hotel Wijaya. Aku perlu tidur.
***

Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Tigabelas
Rangkasbitung, 17 Juli
Pagi, Jam 09.10 WIB
 Pagi-pagi sekali ku sudah terjaga dari tidur. Perjalanan yang melelahkan membuatku nyenyak. Rumahku  sebenarnya tak jauh dari tempatnya menginap.
Cukup 10 menit naik ojek untuk sampai ke kampungnya. Namun lelah malam itu membuatnya memilih tidur setelah sebentar berjalan-jalan di alun-alun.
Tak lama setelah memanggil tukang ojek yang mangkal di depan hotel, sepeda motor pun melaju. Melaju menuju kampung halaman yang sudah 16 tahun kutinggalkan.
Sesampainya didepan rumah. Berkali-kali kuketuk pintu dan memanggil-manggil Ibu. Pintu terkuat, wajah Ibu menyebul keluar. Wajah yang begitu dirindukan. Wajahku. Wajah yang orang yang selalu disebut dalam do’anya.
Kupeluk Ibu yang wajahnya terlihat terkejut. Sepertinya ia tak menyangka anak yang 16 tahun hilang itu akan kembali.
Tangisan Ibu pun meledak.
“Maafkan Yudha ya bu…baru sekarang pulang”
“Iya nak, pasti Ibu ma’afkan. Ayo masuk… Nuhun gusti anak abdi balik deui….”
Kedua orang ini terus mengobrol melepas kerinduan.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Empatbelas
Rangkasbitung, 17 Juli 2016
Siang, Jam 11.30 WIB.
Aku menangis dihadapan seonggok batu nisan. Bulir-bulir air mata menetes dipipi. Tangisku tak  tertahan. Raungan keras tangisku meledak seketika. Tangisan histeris sambil memeluk batu nisan bertuliskan Mirna binti Yayan.
Mang Amat yang biasa menjadi kuncen di TPU itu memegang pundakku.
“Sabar jang, sabar. Doakan saja biar Mirna tenang dalam kuburnya.”
Aku masih tak berhenti dari tangis.. Mang Amat sepertinya mengerti kesedihan yang kurasakan.. Dia pun melangkah menjauhku. Ia hanya mengawasi sambil menikmat rokok kreteknya.
Tak berapa lama Aku  bangkit. kuhampiri Mang Amat.
“Kamana wae maneh teh Yud?”
“Gawe mang di Jakarta,”
“Lila pisan ey tara manggih maneh. Maneh mah tara balik mun lebaran nyah?”
“Hehehe…muhun tara mang..”
“Dasar ah…maneh teh…kudu karunya atuh ka Ibu maneh…”
“Muhun mang”
Kami kemudian berjalan kaki  beriringan.
“Kasihan itu si Mirna. Meninggalnya masih dalam usia muda”
“Muhun mang. Saya juga baru denger barusan dari Ibu kalo Mirna sudah gak ada. Sakit apa gitu mang?” Tanyaku penasaran.
“Kata orang-orang sih kena TBC”
“Terus anak-anaknya Mirna dimana sekarang mang?”
“Anak-anak yang mana?
“Kan Mirna dulu mau menikah dengan Tata mang?
“Tata mana?
Malah orangtua ini nampak seperti bingung.
“Trus Mirna nikahnya dengan siapa mang?” Cecarku.
“Atuh Mirna mah waktu meninggal juga masih belum pernah menikah. Kan pacarannya cuma sama kamu, lalu dia kamu tinggal,” Kata orangtua itu sambil terus melangkah.
Aku kebingungan dengan yang dikatakan mang Amat.
“Yang saya tahu Mirna waktu itu sudah dilamar oleh Tata. Orangtuanya sudah setuju. Mirna sendiri yang ngomong ke saya mang…”
Mang Amat menghentikan langkahnya sejenak. Kemudian dia kembali melangkah.
“Oh..itu. Setelah dilamar si Tata. Mirna malah hilang. Kemana-mana dicari gak ketemu. Abah Yayan kena denda sama keluarga si Tata. Mesti mengembalikan uang dua kali lipat. Lima bulan kemudian Mirna baru balik lagi kerumah. Katanya sih kerja di Tangerang,”
Tak sadar ku pegangi tangan mang Amat.
“Jadi Mirna belum pernah nikah mang?
“Enya belum atuh !!!!. Pernah beberapa kali ayahnya mau menjodohkan Mirna. Tapi Mirna gak mau. Dia malah mengancam mau kabur lagi kalau dipaksa menikah. ..”
Air mataku kembali deras mengalir. Matanya berkunang-kunang. Jiwanya terguncang. Setelah 16 tahun ternyata baru kutau. Orang kucintai masih memegang teguh cintanya. Masih berjuang untuk menjaga kesetiaannya.
“Udah Yud jangan menangis. Semua sudah menjalani nasibnya. Ayo kita ke masjid. Sholat Ashar sama-sama.
Aku dan mang Amat kemudian melangkah menuju masjid.
Dalam sujud berulang kali memohon ampun kepada Allah. Betapa Aku telah berbuat dosa kepada almarhum Mirna. Yang sampai akhir hayatnya masih berharap bisa menjadi istriku.
Selamat Jalan Mirna…
Aku, Yudha Hari Subhan akan selalu mengenangmu…….

TAMAT

3 komentar: