TERIMAKASIHKU
Saya baru belajar menjadi penulis. Kisah yang saya
tuangkan dalam novel ini hanya sebuah cerita fiksi yang berasal dari imajinasi liar disaat tak bisa tidur.
Bila ada kesamaan tokoh, nama dan tempat itu hanya kebetulan saja.
Bila ada kesamaan tokoh, nama dan tempat itu hanya kebetulan saja.
Terimakasih untuk keluarga kecilku yang memberi ketenangan
dalam menulis novel
CINTAKU TERTINGGAL DI RANGKASBITUNG
Tita Suminar, istriku yang sudah sabar 16 tahun mendampingiku
Yudha Hari Subhan, putra pertamaku, yang namanya kucatut
sebagai tokoh utama dalam novel ini sekaligus orang yang pertama membaca dan
menilai tulisan ini. Masih jelek katanya.
Fajar Gardanawan, putra keduaku, yang pengertian untuk tidak
merebut laptop satu-satunya untuk dia bermain game.
Terimakasih untuk para sahabat yang ikut mengkritisi tentang
novel ini ketika dalam proses penyusunannya.
Terimakasih untuk semuanya…
=ACHMAD SYARIF=
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Pertama
Rangkasbitung, 13 Agustus 2000
Pandangan
mata Yayan merah menyala. Pensiunan PNS itu marah besar. Tatapan kebencian
sangat terasa dari mata yang seakan mau loncat. Dengan suara membentak tertuju
padaku yang duduk dilantai tepat
didepannya.
“Aku sudah sangat bersabar dengan
tingkah laku kalian. Sebagai orangtua ku sudah sangat bersabar. Kau tidak ada
niatan sedikit pun untuk menikahi Mirna….tak ada niatan…kau hanya sekedar ingin
mempermainkan anak kecil yang masih polos…aku tak terima itu.”
Yayan
berkata dengan nada sinis.
“Sudah
pasti Mirna mudah kena bujuk rayumu, dia masih terlalu polos untuk membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk.
Mulai malam ini jauhi dia. Bila Mirna datang padamu, jangan kau layani, nanti
juga dia akan melupakanmu…!” lanjut Yayan menghela nafas.
Kucoba
untuk tenang. Menahan amarah yang terpendam dalam dada. Sebuah amarah yang
biasa terbit ketika dicerca. Amarah yang bisa terjadi kepada siapa saja ketika
dianggap sebagai pembuat masalah.
Aku
samasekali tak menyangka. Malam itu ia akan dipanggil ayah Mirna. Dan tiba-tiba
dipaksa untuk menghentikan hubungan asmara yang sudah terjalin sekian lama.
“Braaaaaaaaak !!!! Jangan membangkitkan
amarahku!!! ” Yayan menggebrak meja kayu didepannya. Asbak dan gelas kopi pun
terpental karena kerasnya gebrakan.
“Tak ada guna kalian terus
berhubungan ! Percuma dilanjutkan, tidak akan pernah jelas !”
Teriakan ditengah
malam itu pasti didengar tetangga. Dan tetangganya pasti sudah tau ada
pertengkaran hebat di rumah itu. Tapi mereka tak berani keluar untuk melerai.
Tetangga Yayan memilih
menutup pintu rapat-rapat.
“Tak perlu kita ikut
campur, bisa-bisa kita yang celaka,”
Mungkin seperti itu
bisik-bisik tetangga Yayan.
Sebagaimana umumnya
rumah-rumah diperkampungan yang berdempetan. Dibanding rumah-rumah tetangganya,
rumah Yayan bisa dibilang lebih bagus walau tak mentereng.
Didepan rumah Yayan
juga terdapat parabola, saluran TV berlangganan. Menandakan Yayan lebih mapan
dibandingkan tetangga lainnya.
Berumur lebih dari 60
tahun, terlihat jelas dari rambutnya yang sudah dipenuhi uban.
Yayan termasuk orang
yang disegani dan dikenal sebagai jawara.
Ada juga yang
mengatakan Yayan adalah guru spritual, tempat beberapa kalangan konsultasi
tentang problem hidup dan pekerjaan mereka. Tak heran bila setiap malam Jum’at
pasti ada mobil tamu parkir di rumahnya.
Tak hanya tamu dari
Rangkasbitung atau Banten saja, tapi ada juga tamu-tamu dari kota-kota besar
lain. Bisa dilihat dari plat nomor mobil
yang sering terparkir.
Yayan sangat marah
bila ada orang yang menyebutnya dukun. Dia berkeras bahwa dia bukan paranormal
atau dukun.
“Aing tukang
nyareatan, lain dukun ! Dukun mah elmu hidung,”
Begitu sering Yayan berkilah ketika ada yang
membicarakan pekerjaannya.
Menurut cerita dari
mulut ke mulut, Yayan berasal dari Ujung
Kulon, yang datang ke kampungku karena
melarikan diri dari amukan warga. Katanya sih membunuh.
Dalam pelariannya,
dulu Yayan berjualan nasi uduk di Pasar Rangkasbitung.
Saat itu Yayan dikenal
sebagai pedagang kakilima yang rajin dan mudah bergaul.
Suatu hari ada 5
pemuda mabok yang memeras pedagang.
Kelima pemuda itu
membuat resah. Setiap hari mereka minta jatah keamanan. Banyak pedagang lainnya
yang minta bantuan ke jawara ini.
Yayan pun turun tangan.
Kelima begundal itu dihajarnya seorang diri dengan tangan kosong.
Sejak itulah nama Yayan dikenal di Pasar
Rangkasbitung sebagai jawara. Ia menjadi sosok yang disegani di kalangan
pedagang dan preman yang ada di pasar.
Seorang centeng pasar
senang dengan keberaniannya. Kebetulan tenaga centeng masih kurang, ia pun ditawari
pekerjaan yang sama, jadi centeng.
Sekian lama menjadi
centeng, rupanya nasib baik berpihak pada Yayan. Kepala pasar pun suka padanya.
Awalnya karena Kepala pasar mengalami patah kaki karena kecelakaan dari motor
Vespa barunya. Yayan yang punya keahlian mengobati patah tulang pun unjuk
kebolehan. Hanya dalam waktu yang tak lama penguasa pasar pun kembali bisa
berjalan normal.
Sebagai balas jasa,
Yayan diangkat menjadi pegawai tetap. Terlebih
lagi di zaman itu sangat mudah untuk menjadi PNS.
Kini Yayan sudah pensiun.
Kembali ke suasana di
rumah Yayan. Saat itu jam 23.45 malam. Suasana hening. Yayan yang mengisap
dalam-dalam rokok kreteknya. Kepulan asap seakan menjadi pertanda pria tua itu
sedang murka.
“Plak…!!!” Yayan
menamparkan peci yang dikenakannya. Peci hitam yang sudah berubah warna menjadi
coklat karena dimakan usia.
Aku kaget bukan
kepalang. Pundakku bergunjang bak tersengat listrik. Rasanya sudah sampai ke ubun-ubun rasa sakit ini. Aku hanya bisa
tertunduk. Tak ada kata yang bisa terucap.
Mataku mulai
berkaca-kaca. Sungguh sakit hati ini dengan hinaan ayah Mirna.
Bibirku bergetar. Aku
ingin marah, tak bisa. Aku ingin menangis keras-keras. Tapi mana mungkin itu
kulakukan disini. Akan semakin merasa menang tua bangka ini.
“Tak ada bagusnya Aku
dimata tua bangka ini,”
Kalimat ini hanya bisa
ku katakana dalam hati.
Kamar tamu berukuran 4
x 3 meter itu pun terasa makin pengap. Kipas angin diatas rak TV tak berdaya
dinginkan suasana.
Diluar tak ada yang
masih terjaga. Hujan sore tadi membuat warga betah mendekam dirumah. Menonton TV atau bercanda dengan anak
istri.
Sesekali terdengar
gonggongan anjing kampung dari kejauhan. Malam beranjak. Hatiku makin kalut.
Dinding ruang terasa menghimpit dari dua arah. Suara hening hanya ada detak jam
dinding saja.
“Tak….tak…tak…tak….”
Detak jam itu laksana
menggedor jantung.
“Dug…dug….dug…dug..”
Suara jangkrik terdengar bak genderang perang
musuh. Atau mungkin terdengar seperti supporter Persib yang menyoraki lawan
tanding.
“Huuuuuuh….!”
Aku adalah pemuda
nakal di kampung ini. Sejak lulus SMA beberapa tahun lalu, Aku tak pernah
bekerja. Jangankan bekerja, melamar pekerjaanmu Aku tak pernah. Tapi jujur,
menjadi pengangguran bukan cita-citaku!
Setiap hari, kerjaku hanya nongkrong di
Poskamling ditengah kampung kami. Sesekali
Aku pergi mancing di kali Ciujung. Walau ku tau, pulang mancing tak ada ikan
yang bisa kubawa pulang.
Mancing di Ciujung
bagiku bukan menangkap ikan. Tapi menjadi saat yang tepat untuk melihat
keindahan Ciujung. Keindahan kebun-kebun jagung. Keindahan hamparan pasir.
Sayangnya, hamparan pasir itu telah hilang karena dikeruk setiap hari oleh
penambang pasir tanpa ijin.
Postur tubuhku
terbilang bongsor. Kata orang sih wajahku pun tampan. Tak heran banyak
gadis-gadis terpikat olehku.
Walau disukai oleh
banyak dara, Aku justru ditakuti sebagian warga kampung itu. Terlebih ketika
Aku mabuk pasti ada saja kelakuanku yang membuat mereka takut.
Hampir disetiap ada
pertunjukan hIburan, Aku akan nampak seperti jagoan. Jarang ada yang mau
berurusan denganku.
Berbalik 180 derajat
dengan Aku malam ini. Dihadapan ayah Mirna Aku bagai tikus dalam cengkraman
kucing lapar. Bukan Aku tak berani dengan tua bangka ini. Tapi Aku menghargai
kekasihku Mirna. Apa jadinya kalau Aku sampai berkelahi dengan Yayan. Pasti Mirna
akan sedih. Atau mungkin Mirna tak akan terima dan akan membenciku selamanya.
Posisi duduk pria tua
itu bergeser membelakangiku. Dua kaki Yayan naik ke atas meja dihadapannya.
“Ku tau kalian saling
suka, tapi kalian belum tau hidup yang sebenarnya,” Yayan membentakku.
“Aku ingin yang
terbaik untuk anakku. Kau harus sadar, untuk hidupmu saja susah, apalagi kau
membawa anakku dalam hidupmu, tak masuk akal !”
Di pojok dapur
kudengar suara tangis Mirna. Aku tau Mirna terus menguping pertengkaran diruang
tamu. Mungkin Mirna pasrah dengan putusan ayahnya.
Mirna berteriak dari
dapur.
“Udahlah ayah….udah.
Jalan hidupku adalah milikku. Tak ada hak
untuk tentukan hidupku. Jangan hina dia lagi……,”
Kembali ayah Mirna
memukul meja dengan telapak tangan.
“Braaaaaak !”
”Diam kamu Mirna!”
Tangisan meraung Mina
makin keras merobek malam. Gadis ini berguling di lantai keramik dapur.
Histeris tak kuasa menahan diri.
Tangannya menjambak
rambut ikal yang terlihat kusut.
Dari kamar keluar perempuan tua. Dia langsung membentakku.
Matanya melotot bak singa betina yang amarah Aku mengusik anaknya.
“Jangan ganggu
keluarga kami! Cukup kami menahan diri…sudah waktu kau pergi!”
Dikampung itu Ibu Mirna
dikenal sebagai wanita judes. Tak ada tetangganya yang berani membuat masalah
dengannya.
“Percuma kalian
pacaran, percuma, tak akan pernah ada ujungnya. Sebaiknya kau pergi !”
Nani, Ibu Mirna ini
seakan hendak menerkamku. Aku yang
sedari tadi hanya diam, beranjak dari duduknya. Kakiku agak gemetar.
Ku hampiri ayah Mirna
yang wajahnya masih ditekuk untuk bersalaman. “Yudha pulang bah,”
“Hemmm..hampura aing,
teu kudu kadieu deui dia.”
Yayan seakan malas
menyodorkan tangannya bersalaman.
Sedikit gemetar Aku
melangkah ke dapur untuk menenangkan Mirna yang masih menangis. Ibu Mirna
menghadangku. Menghalangiku dengan kedua tangan dibentang.
“Pergi !!!!”
Mirna masih tertunduk
menangis menoleh sebentar ke arahku. Kemudan dia kembali tertunduk. Tangisnya
tak jua berhenti.
Ibu Mirna mendorong
tubuhku.
“Keluaaaaar!!!!”
Aku berbalik kembali
ke ruang tamu. Melangkah menunduk lewat dihadapan Yayan yang membuang muka. Air
mataku tak tertahan keluar.
Diluar rumah Mirna nampak
lengang. Aku berjalan kaki sambil menangis. Tiba-tiba ku ingin berlari sambil
menangis. Ku lari secepat yang Aku bisa. Bukan lari ketakutan. Tapi lari untuk
membuang kesedihan. Berharap kesedihan itu akan berceceran sepanjang perjalanan
pulang.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Dua
Rangkasbitung, 04 Desember 1999
Gerimis
turun perlahan sore itu. Dari arah barat terlihat lembayung pertanda sebentar
lagi ujung senja. Seorang pemuda dan gadis kecil sedang berjalan bergandengan
di rel kereta api. Itu Aku dan Mirna. Kami berjalan meniti rel kereta api. Aku
di sebelah kanan dan Mira yang usianya sekitar 15 tahun di rel sebelah kiri.
Jalur
kereta api Rangkasbitung-Merak memang tidak terlalu padat. Dalam sehari hanya
dua kali kereta penumpang dan beberapa kereta pengangkut baturabara yang
melintas di jalur itu.. Tak heran bila di rel kereta api ini menjadi tempat
favorit nongkrong warga terutama anak-anak dan remaja pada sore bahkan malam
hari.
Tanganku
dan tangan kiri Mirna saling memegang. Kami berjalan sambil menjaga
keseimbangan agar kaki tidak menginjak batu yang terhampar di bawah rel.
Sesekali
dari salah satu dari kami tidak bisa menjaga
keseimbangan dan dan menginjak kerikil yang terhampar disepanjang
rel.
Beberapa
puluh langkah kemudian kami berhenti. Aku dan Mirna duduk berhadapan diatas
bantalan rel.
Sambil
duduk, kuambil beberapa batu kerikil. Batu-batu itu satu persatu kulempar
kearah tiang telepon yang ada dipinggir rel kereta. Ada sekitar 5 meter jarak antara
rel tempat kami duduk dengan tiang
telepon itu.
Beberapa
lemparanku meleset. Ku incar lagi dengan lebih serius.
“Traaang..!!!”
Sebuah
lemparannya mengena. Aku senyum puas bidikan mengena.
Mirna
juga mengikuti yang kulakukan tadi. Diambilnya beberapa batu kerikil yang
terhampar.
“1….2….3…..wuuuuuuus…..”
Lemparan
wanita ini meleset. Tapi dia tidak menyerah. Sekali lagi dia melempar.
“Wuuuuus”
Kembali
meleset.
Wanita
belia tadi merajuk manja kepadaku.
“Hiiiiiiiiiih…..gak
kena mulu………”
Wanita
ABG tadi dengan tingkah genitnya merangkulku.
“Heheheheh,
belum lihai….” Kataku.
Kami
sepasang kekasih yang sedang bahagia. Mirna kemudian duduk disampingku. Ku
menoleh ke Mirna. Kesempatan itu tak kusia-siakan. Kucium pipi Mirna dengan
cepat.
Mirna
pura-pura marah kucium. Tapi Aku tau dia sangat suka dengan itu.
“Hih…nyuri
kesempatan….”
“Biarin…kan
dicium sama pemiliknya, pewwww…”
“Mana
pemiliknya?” Kata Mirna sambil memelototiku.
Muka
kami berhadapan dan saling menatap.
“Ayo
coba siapa yang kuat jangan ngedip..!” Tantang Mirna.
Aku
dan Mirna saling menatap dan bertahan untuk tidak berkedip.
“Okeh….Aku…kalah….”
Kataku menyerah .
“Kalah
weeeeeeew…..kalah weeeeew…pencundang…” Kata Mirna kegirangan sambil mencubit
pinggangku. Aku pun menggelinjang
kegelian. Antara sakit dan senang.
“Nyerah
gak…nyerah gak?” Kata Mirna tanpa melepas cubitannya.
“Ampun
neng…ampun…nyeraaaah,” Kataku sambil
tertawa cekikan.
Mirna
melepas cubitannya.
“Kalo
pinggangnya suka geli dicubit itu berarti doyan…”
“Doyan
apa?”
“Doyan
begituan.”
“Begituan
apa?” Tanyaku pura-pura gak ngerti.
“Doyan
makan kangkung..! hahahaha.” Kata Mirna sambil terbahak-bahak.
“Ijasah
udah diambil neng di SMP ?”
“Udah.
Minggu kemarin,”
“Terus
neng mau lanjut sekolah kemana?”
“Gak
mau nerusin sekolah ah..cape…”
“Terus kemana dong?”
“Mau
nyamper mamang di Tangerang. Atau mungkin di rumah aja nunggu yang ngelamar.”
“Idih
masih kecil sudah mau kawin…”
“Biarin
masih kecil juga, kecil juga bahenol kan? hehehehe…”
“Neng
belum boleh kawin…umur aja baru 15 tahun..”
“Kata
siapa gak boleh?”
“Kata
KUA!”
“KUA
nya mau gak kalo disuruh ngawinin neng, hayooooo?”
“Ngacooooo..!”
Aku
dan Mirna adalah sejoli yang sudah beberapa tahun pacaran. Pertama kami pacaran
saat Mirna kelas 1 SMP. Sedangkan Aku saat itu kelas 3 SMA.
Saat
ini adalah tahun ketiga kami pacaran.
“A’,
cepat nyari kerja dong..”
“Kerja
apa?”
“Apa
aja..”
“Kemana
nyari kerjanya?”
“Ke
Jakarta kek….ke Palembang kek….”
“Halaaaaah…..kayak
yang iya aja nyuruh nyari kerja… baru berapa hari gak ketemu aja kamu mulu…”
“Hhehehehehe,
iya juga sih. Coba nyari kerjanya di Rangkas aja, biar kita tiap hari bisa
tetep ketemu,”
“Iya
ntar kerja bangunan..”
“ih…jangan
kerja bangunan. Ntar tanganmu kasar kayak parutan…weiiii ..hehehe..”
“Terus
kerja apa dong? Nambang pasir di Kali Ciujung ya…?”
“Jangan
!!! tak rela Aku !!! Ntar kulitnya gosong ! hehehee….jangaaaaan heyyy… !!!!”
“Terus
Aku kerja apa dong neng, ini jangan itu jangan?”
“Kerjain
Aku dong…..!!! hahahahahahaa……”
Mirna
mengatakannya sambil membusungkan dadanya.
“Oh…neng
mau dikerjain ya? Sini dikerjain ma aa’ !”
“Iya
mau banget….Tapi ada syaratnya……”
“Apa?”
“Panggil
dulu penghulunya!”
“Kapan
dipanggil penghulu?”
“Sekarang
juga!”
“Penghulunya
gak ada, lagi ngarit…”
“Dipanggil
kernetnya penghulu juga gak papa…”
“Emang
penghulu ada kernetnya….? Kayak bis aja
pake kernet..”
“Hehehehe…”
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Tiga
Rangkasbitung, 15 Agustus 2000
Tiga pemuda duduk
ngobrol dipinggir warung Omah. Warung itu tempat favorit pemuda kampung itu
nongkrong. Bahkan pemuda dari kampung lain pun kerap ada disitu.
Kendati pemilik warung
sudah setengah baya, namun raut kecantikan masih nampak dari wajahnya.
Suami Omah dulu
pedagang beras. Karena ketahuan punya istri muda mereka pun berpisah. Resmilah Omah menjadi janda.
Omah terbilang genit.
Ada yang mengatakan Omah Bispak. Bisa dipake itu kata mereka. Melihat ukuran dada Omah yang besar pun
banyak pria yang langsung klepar kleper.
Kulit Omah putih.
Walau sudah beranak dua. Omah rajin
mengurus badan. Sebulan sekali salon kecantikan dikunjunginya. Maklumlah, dia
hanya hidup sendiri. Mungkin tak banyak kebutuhan hidupnya. Anak semua dibawa mantan suaminya.
Janda bahenol ini menjual minuman jamu anggur cap kakek tua.
Pemuda minum dan mabuk disitu sudah biasa.
Warung Omah letaknya
di pertigaan jalan. Lumayan jauh dari rumah warga. Walau banyak pemuda kampung
yang bergadang disitu, warga sekitar tak pernah protes.
Tak sekalipun warung
Omah kena yang namanya razia.
“Kalo ada yang razia,
saya tarik rudalnya,” begitu biasanya Omah menjawab bila ada yang mengakut-nakutinya.
Warung omah dibangun
dari bilik bambu. Bagian depan warung dIbuat cantang dari lembaran papan
albasiyah berukuran setinggi 1 meter. Lebar lembaran papan itu sekitar
sejengkal. Lebar cantang itu sekitar 3 meter. Dalam setiap lembar papan cantang
itu ada tulisan angka 1 sampai 7.
Beberapa botol minuman keras kosong
dan kulit kacang berserakan dihadapan para pemuda kampung itu.
“Panas sekali malam
ini ya?” Kata Yadi, pemuda yang berkaos merah sambil mengupas kacang asin
dihadapannya.
“Sepertinya mau
hujan,” Timpal pemuda disebelahnya yang bernama Dirman.
“Mukamu mendung sekali
Yud ? kayak nenek-nenek gak punya sirih, hahaha, ” Tanya Yadi ke Aku. Mungkin
Yudi mencoba menghIbur pikiranku yang
sedang kusut.
Aku sebenarnya enggan
menjawab. Kupandang muka Yadi sebentar. Sambil senyum kecil kuraih rokok di
depan.
“Biasa aja,
kehidupan,” Jawabku singkat sambil tersenyum kecut.
Dari dalam warung
keluar Omah.
“Udah malem wey, mau
tutup,”
Omah sambil berjongkok
dekatku membersihkan kulit-kulit kacang yang berserakan.
“Tutup mah tutup aja,
emangnya warungnya mau digotong teh ? gotong aja sendiri, hehehe…” Kata Yadi
sambil mendengarkan radio kecil yang selalu dibawanya kemana-mana.
“Emangnya gue keong
bawa-bawa rumah, masa artis disamakan dengan keong, sungguh terlalu….pewwww…”
Kata Omah sambil duduk disampingku
Wanita genit ini
membakar rokok yang dari tadi terselip dijarinya.
”Tadi tersayangmu kesini Yud, beli samphoo ! dia ngobrol
sebentar ma teteh.”
“Puuuuuuuus…….”
Kepulan asap itu
membentuk huruf O dari mulutnya janda yang sudah beberapa tahun hidup sendiri
itu.
Aku hanya diam
pura-pura tak mendengar omongan Omah. Ku kupas beberapa butir kacang dan
mengumpulkan isinya.
“Denger gak sih !..Katanya
mau kawin minggu depan.”
“Biarin teh, Aku mah
apah atuh, hanya kain lap yang ngegantung di pinggir WC,” Kataku mencoba berkelekar untuk menutupi kegundahan.
Omah tertawa
terbahak-bahak puas meledekku.
“Kalah kau Yud, malah si Tata yang beruntung
dapetin si Mirna, payah !!” Jagoan kalah sama pegawai bank keliling, hahaha….,
bisa jadi gosip selebritis nanti,..heheh,”
“Jodoh ada yang ngatur
tante. Hilang satu tumbuh serIbu. Masih banyak calon perawan yang akan dilahirkan,”
Ku tenggak sisa
minuman di gelas kecil dihadapannya. Rasa minuman anggur yang campur pahit itu
seakan ingin kembali keluar.
Omah sambil
mencubitku.
“Udah ancur aja anak
orang kau ngomong gitu. Habis manis sepah dIbuang…”
Aku sebenarnya sudah
lama tau. Omah menyukaiku. Tapi ku tak tertarik pada Omah. Terlalu jauh umurnya
terpaut dari umurku.
Tapi kadang-kadang Aku
juga pernah iseng ngebayangin tidur dengan janda cantik ini. Pernah suatu
ketika diwarung itu hanya ada Aku dan Omah. Ku peluk Omah dari belakang dan
mencium pipinya. Entah setan apa yang mempengaruhiku satu itu.
Bukannya menolak
dengan pelukanku, Omah malah balik menciumiku. Tangan Omah menarik dan
mengarahkan tanganku memeluknya. Sepertinya Omah sudah pasrah menyerahkan
dirinya padaku.
Aku kaget bukan
kepalang. Kusangka Omah akan berontak ketika ku cium. Ternyata malah
sebaliknya. Dia sepertinya sangat bernafsu padaku.
Untunglah Aku cepat mengendalikan diri. Aku
pura-pura merasa gerah, dan cepat beranjak keluar dari warung itu. Jadi tak ada
hal-hal lan yang terjadi diantara kami.
Dalam pertemuan
selanjutnya kami tak pernah membahas itu. Selamanya itu hanya menjadi rahasia kami
berdua. Tapi sesekali, bila tak ada orang lain diwarung, dan hanya ada Aku,
Omah suka menciumku. Aku sih senyum-senyum aja. Karena biasanya Omah akan
menghadiahku sebungkus rokok filter kesukaanku.
“Dasar mudasir !” begitu biasa dikatakan Omah
ketika memberi hadiah rokok sehabis menciumiku.
“Ayah Mirna terlalu berburuk sangka padamu
Yud. Mereka hanya melihat sisi gelap orang-orang seperti kita. Karena khawatir
anaknya akan celaka, itu alasan mereka menghalang-halangimu…kalo kata saya…”
Kata Omah.
“Oh……..” Kataku sambil
mengangguk-anggukan kepala seakan sedang mengolok-olok Omah yang sedang serius
bicara.
Merasa diolok-olok
Omah pun menghentikan omongannya.
“Terserah lu. Emangnye gue pikirin. Sabodo
teuin….Udah saya mau tidur, beresin gelas dan botolnya ke pinggir.”
Omah pun berdiri dari
posisi duduknya dan berjalan mengunci pintu warungnya. Tapi baru mau melangkah
dia ingat bahwa para pemuda itu belum membayar minuman dan rokok yang mereka
ambil.
“Duitnya mana ?” Kata
Omah sambil tangannya mengaitkan gembok.
“Gampang, besok juga
kesini. Sekalian rokok sebungkus lagi !”
Kata Yadi yang masih
asyik mendengarkan lagu “Bujangan” yang
dinyanyikan Koes Ploes Junior.
“Ngutang mulu, dasar
tampang dong lu keren. Kantong lu pada lepet.”
Omah melemparkan
sebungkus rokok warna putih yang diambil dari
rak warungnya. Yadi dengan sigap
menangkap sebungkus rokok yang dilemparkan Omah. Setelah itu Omah ngeloyor
pergi masuk ke rumahnya yang bersebelahan dengan warung itu.
“Jangan berisik kalian
! artis mau bobo,” Teriak Omah dari dalam rumah.
“Apa perlu ditemenin
teh ?” Teriak Yadi pula.
“Iya temenin. Tidur
aja disitu !”
“Huuuuuuh kirain
didalam…..!” Timpal Yadi yang tadi terlanjur kegirangan. Sudah terbayang
olehnya bisa tidur bareng dengan Omah. Lumayan juga pikirnya.
“Belum cukup umur lu
tidur ma artis, peeeew !” Teriak Omah dari dalam kamarnya yang dindingnya
bersebelahan dengan anak-anak muda yang diluar.
“Ntar saya tambah umur
dulu teh…..”
“Tambah bae
olangan………………briiiiiisiiiiiik !!!!!!!!”
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Empat
Rangkasbitung, 16 Agustus 2000
Sengaja sore itu Aku
duduk menunggu Mirna dipinggir jalan desa. Biasanya setiap sore Mirna pergi ke
rumah kakaknya. Sekitar 14.50 menit yang ditunggu lewat. Kulihat raut muka Mirna
tak menampakkan kesedihan.
Ada tandatanya besar
dihatiku.
“Aneh….kenapa Mirna
seperti tidak sedang sedih. Apa dia senang hendak dikawinkan,”
“Entah kenapa dia
berubah. Mungkinkah memang Mirna sudah berubah.Semakin berkecamuk cemburu hati
pemuda ini.” Rasa cemburu mulai membakar hatiku.
Tak sadar kutarik tangan Mirna. Mungkin Aku terlalu keras
menarik tangan Mirna.
Mirna pun meringis
kesakitan.
“Aduuuh…! Apa-apaan
sih!”
“Kau mau menikah ?
Kenapa tak pernah bilang padaku?”
”Jangan disini
ngomongnya. Takut dilihat keluargaku!”
Mirna menarik tanganku
mengajak ke warung Omah yang hanya beberapa meter dari situ.
Mereka pun masuk ke
rumah Omah yang kebetulan Sepi. Di warung juga sepi tak ada orang. Pemilik
warung rupanya sedang didalam rumah,
didapur.
Mirna adalah wanita
yang sangat lembut. Bertahun-tahun berpacaran denganku hampir tak pernah Mirna
marah. Dia begitu menyangiku. Kendati
dari awal kami jadian sudah ditentang oleh orangtuanya, tapi Mirna tetap
bertahan.
Mirna menarikku duduk
di sofa tamu. Ku turuti keinginan Mirna. Gadis kecil yang baru beberapa bulan
lalu lulus SMP ini terus memegangi tanganku, seakan enggan lepas dariku.
Ku tatap wajah Mirna.
“Kamu mau dikawinkan?
Kau tidak melawan?”
“Tidak, siapa yang mau
dikawinkan?”
Mirna sambil memegang
dan mengusap-usap telapak tanganku. Sepertinya Mirna ingin meredakan amarahku.
“Mirna hanya cinta
padamu Yud. Hanya padamu. Tapi Aku
bingun mesti gimana? Orangtuaku tak setuju. Orangtuamu juga tak setuju.
Lalu Aku harus bagaimana?”
Ku tatap wajah Mirna.
Hatiku tersentuh dan luluh. Amarahku
pada Mirna sekejap hilang berganti dengan iba. Aku tau kekasihku juga
tak rela menikah dengan pilihan ayahnya.
“Tata datang melamarku.
Ayah menerima lamaran itu. Aku tak pernah diajak bicara,”
“Kapan?”
“Kemarin siang.
Sebelum kau dimarahi ayah,”
“Tata yang mana?”
“Yang dulu pernah ke
rumah waktu kau sedang ngobrol denganku di pinggir rumah. Yang waktu ada
hajatan di rumah Ida,”
“Yang mana ya
orangnya? Aku lupa lagi orangnya…”
“Yang kerja di bank
keliling, yang biasa pake motor RX King,”
“Oh….ya …ku tau.
Bujang lapuk itu….dasar…”
“Bawa ku pergi ! Mirna tak mau menikah dengan
yang lain. Apalagi dengan yang baru ku kenal. Tak terbayang harus hidup dan
tidur seranjang dengan orang yang tiba-tiba datang. Bawa ku pergi !”
Mirna berkata-kata
dengan berlinang air mata. Aku
mendengarkan dengan hati iba. Bisa kubayangkan kepedihan hati Mirna.
“Kamu dengar gak sih?
Bawa Aku pergi !”
“Pergi kemana Mir?
“Kemana saja. Kemana
pun kau mau…”
Ku hanya termangu.
Pikirannya tak karuan. Tak tau harus bagaimana.
”Kenapa bisa mendadak
begini Mir? Kau tau Aku tak punya uang.
Lalu darimana bekal kita untuk pergi?
Aku mengatakannya dengan nada bergetar. Sekarang Aku malah takut Mirna marah. Aku tau Mirna pasti
kecewa dengan ketidakberdayaanku.
Air mata Mirna semakin
deras mengalir. Ku pegang pundak Mirna. Membelai rambut gadis cilik itu untuk
menenangkannya.
“Kau hanya berani
mencintaiku. Tapi kau pengecut untuk berani memilikiku. Terkadang hidup itu
harus membuat keputusan. Sekaranglah kau harus membuat keputusan itu…”
Beberapa saat suasana
hening. Kami seperti sedang mendalami pikiran lawan bicara.
“Hanya ada dua pilihan
sekarang ini, bawa orangtuamu untuk membatalkan pernikahanku atau kita harus
kabur dari sini…hanya itu pilihannya….putuskan sekarang….sudah tidak ada
waktu….”
Aku pun sudah tak
kuasa menahan kesedihan. Sangat terasa itu saat terakhir kuakan bertemu Mirna.
“Maafkan Aku Mir…ku tak seperti yang kau
harap….aku tak seperti harapanmu….aku tak berani membawamu kabur dari sini. Ku
tak bisa membawa orangtuku ke rumahmu. Mereka juga menentang hubungan
kita….maafkan Aku Mir….”
Air mata terasa
menetes dari mataku. Aku tak malu menangis didepan orang yang kucintai ini.
Mirna menghela nafas
panjang. Namun dirinya mencoba
tersenyum.
“Kamu lucu…, kamu kan
cowok. Kenapa malah kamu yang menangis, bukannya seharusnya Aku yang menangis?”
Kedua tangannya
memegang pipiku.
Antara isak tangis dan
senyum Mirna terus mencoba berkata-kata.
“Aku perempuan. Aku
ikut apa yang kau mau,”
Hasratku seperti mendorongku untuk memeluk Mirna
sekuat tenaga. Terasa bahwa ini akan jadi pelukan yang terakhir.
Mirna mengecup bibirku
sambil menangis. Air matanya membasahiku. Begitu Aku yang juga tak mampu
membendung tangis. Air mata kami terus tertumpah saling membasahi pipi.
“Sepertinya kita
memang harus menyerah. Aku sudah membuktikan kesetianku. Selama 3 tahun kita
berhubungan tak pernah sekalipun ku berpaling darimu…Mirna sudah buktikan itu
Yud…”
“Ya…aku percaya itu
Mir…”
“Jangan salahkan Aku.
Jangan benci orangtuaku. Kau harus jadi orang kaya. Aku akan senang kalau suatu
saat melihatmu jadi orang kaya. Biar orangtuaku menyesal tak setuju dengan
kita,”
Sejenak kami berdua
diam. Mirna kemudian melepas pelukannya. Dia berdiri dan melangkah ke pintu
akan keluar.
Beberapa langkah
sebelum mencapai pintu dia kembali berbalik dan setengah berlari memelukku
sambil menangis.
“Kau jangan menangis. Mirna
tak bisa pergi kalau kau masih menangis….”
Ku berusaha menahan
tangis. Tangannya menyeka air matanya.
“Iya Mir….”
Mirna tersenyum walau
nampak itu senyum yang sangat dipaksakan.
“Selamat tinggal
Yud…semoga suatu saat kau bisa mendapat yang lebih baik dariku…”
Mirna membuka pintu
dan keluar dari rumah Omah. Aku hanya
duduk lemas memandangi punggung Mirna
yang melangkah keluar pintu. Aku kembali menangis sendiri.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Lima
Rangkasbitung, 16 Agustus 2000
Malam Jam 23.15 WIB
Malam itu Aku tak bisa
tidur. Pikirannya menerawang jauh. Kesedihan ditinggal Mirna masih sangat
terasa. Kesedihan yang pasti akan menimpa siapapun ketika kehilangan sesuatu
berharga yang dimilikinya. Aku merasa mengkhianati Mirna. Harusnya Aku menjadi lelaki jantan yang berani mengambil
resiko. Seharusnya Aku datang ke ayah Mirna
dan meminta pernikahan paksa Mirna dihentikan.
Sambil berbaring di
kasur Aku meneteskan air mata. Terbayang masa-masa 3 tahun berpacaran dengan Mirna.
Terbayang berbagai tempat yang pernah kami datangi bersama.
Ku kemudian bangun
dari tempat tidur dan berjalan menuju cermin yang ada di lemari pakaian. Di
depan cermin ku pandang tubuhku dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Kupandang wajah sendiri dalam-dalam.
“Apa artinya jadi
lelaki yang hanya bisa mencintai tapi tak bisa memiliki? Untuk apa kau hidup sebenarnya? Kenapa harus kau berikan kesedihan pada orang
yang mencintaimu? “
Ku berkata setengah
berbisik pada bayangnya sendiri di cermin. Kemudian Aku menangis Terasa menjadi
manusia yang paling tak berguna.
Tiba-tiba
dari luar rumah terdengar ada orang memanggil.
“Bos….dimana
bos……Andi nih…”
Aku
diam saja dalam kamar. Aku malas untuk
menjawab.
“Bos……..Andi
nih..”
Akhirnya
terpaksa ku keluar kamar. Seorang anak
lelaki berusia sekitar 14 tahun sedang berdiri didepan pintu rumah. Kubuka
pintu.
“Apa
Di?
“Ada surat dari Mirna.”
Andi menyodorkan
sebuah buku novel padaku. Ku tau ada
pesan yang ingin disampaikan Mirna di buku itu. Biasanya Mirna akan menuliskan
beberapa pesan di bagian-bagian yang kosong pada novel itu.
“Dihalaman belakang kata
Mirna juga..”
“Iya ini lagi dicari,”
“Lagian si bos mah
hari gini masih surat-suratan…”
“Masih mending gua
surat-suratan, la elu…malah pukul-pukulan…”
Mataku mencari tulisan
tangan Mirna yang di novel itu.
“Dirumahnya ada
siapa?” tanyaku.
“Ada banyak orang lagi
bikin kue,”
Ku baca tulisan di
halaman belakang novel itu. Bentuk tulisan tangan itu sangat ku kenal. Surat
dari Mirna.
“Besok Mirna kan menikah. Mulai hidup baru dengan orang yang baru ku
kenal. Aku sudah bicara banyak dengannya. Dia siap menerimaku apa adanya.
Kita sudah tak berjodoh. Biarlah tubuhku dimiliki oleh yang lain tapi
hatiku tetap untukmu sampai mati. Jangan salahkan Mirna, ini keterpaksaan.
Mirna sudah memberimu kesempatan untuk membatalkan pernikahan ini
bersama. Tapi kau masih bimbang tak berani memutuskan. Mirna cinta kamu.
Kau tak perlu hadir. Jalani hidupmu, kujalani nasibku. Ada pesanku
untukmu. Ku ingin suatu hari nanti kau jadi orang kaya. Kita ditentang karena
kau tidak punya penghasilan. Mereka takut Mirna kelaparan. Mirna tak takut
lapar jika bersamamu.
Jadilah orang kaya. Agar orangtuaku menyesal dan sadar kau tak seburuk
yang mereka kira. Mirna ingin kau merubah prilAKU mu. Jadilah orang baik.
Mulailah menata hidupmu. Suatu hari akan ada wanita sepertiku yang singgah
dihatimu. Jangan sampai wanita itu akan sedih sepertiku saat ini.
Jika kau sudah berubah nasib. Jangan lupakan Mirna ya. Jangan benci
orangtuaku. Mereka begitu karena mereka mencintaiku. Maafkan lah mereka demi Mirna.
Disaat
Mirna sudah bersuami. Maka itulah hidupku. Mirna harus tetap menjalaninya.
Salam manis tak akan habis, salam sayang tak akan hilang.
Mantanmu : Mirna Rahmawati.
Tanganku gemetar
memegang kertas surat tadi. Antara ketidakberdayaan dan tak mau kehilangan
kekasih.
Terbayang untuk
membawa lari Mirna malam itu. Tapi Aku takut akibat yang akan terjadi.
Pertengkaran melibatkan beberapa keluarga pasti akan terjadi.
Keluarga Mirna dan
keluarga calon suaminya pasti akan mengamuk. Terbayang wajah orangtuanya yang
sudah renta harus menerima pelampiasan amukan mereka.
Andi, pemuda kecil
pembawa surat yang sedari tadi hanya duduk didekatnya seperti tau perasaanku.
”Terus gimana bang?”
“Pusing Di, Aku harus
pergi jauh dulu,”
“Pergi kemana
Bang?”tanya Andi.
“Kemana aja, yang
penting jauh…”
Aku melangkah masuk ke
dalam kamar.
Andi pun pergi dari
rumah itu. Sepertinya Andi tau Aku sedang tak ingin diganggu.
Suara jangkrik yang
meramaikan malam itu seperti orkestra yang ingin menghIburku. Aku hanya bisa
diam. Malam ini Aku tak berdaya. Sungguh lunglai tubuh ini.
Separuh jiwaku telah
pergi. ***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Enam
Rangkasbitung, 17 Agustus 2000
Jam 06.15 WIB.
Pagi itu kuhampiri Ibu
yang sedang berjongkok mencuci piring. Ibuku punya 3 anak. Anak yang pertama dan kedua sudah
berumah tangga. Keduanya tinggal di kampung lain. Di rumah ini hanya ada Aku
dan Ibu.
Sejak ayah meninggal
karena penyakit TBC, kami hidup sangat sederhana. Untuk makan sehari-hari, kami
sekeluarga bergantung dari hasil penjualan kelapa. Mendiang ayah adalah petani
yang rajin. Beberapa kebunnya ditanami kelapa. Lumayan, bisa untuk menyambung
hidup.
Walaupun terkenal
badung, tapi Aku tak pernah menyusahkan
Ibu dalam soal uang.
Selepas SMA, hampir
tidak pernah Aku meminta uang jajan dari Ibu. Aku memang sudah merokok sejak
SMA, tapi tak pernah minta uang untuk beli rokok dari Ibu.
Ibu mengenakan kaos
hadiah dari toko bangunan. Dibagian bawah mengenakan sarung pria yang ada gambar gajah sedang duduk.
“Bu, Yudha diajak
teman kerja di Jakarta,”
Aku berdiri dibelakang
Ibu sambil menyulut sebatang rokok. Ibu terus mencuci piring.
“Siapa yang ngajak?”
“Si Didi”
“Didi yang mana?”
“Ah…Ibu gak akan
kenal. Orang Rangkas, dia belum pernah kesini,”
“Kerja apa ?”
“Gak tau, gimana
disana aja,”
“Mendadak amat ya?”
“Yang ngajaknya juga
ngedadak bu..” Kataku.
Ibu berdiri mengelap tangannya dengan kain.
Beberapa piring belum selesai dicuci.
“Terusin dulu cuci
piring itu !” Perintah Ibu.
“Iya bu..”
“Kapan berangkatnya ?”
“Sebentar lagi bu,
naik kereta jam 10,” Jawabku.
“Makan aja dulu, kamu
kamu kan belum makan,”
“Iya bu…gampang…”
Ibu masuk ke kamar.
Beberapa saat kemudian keluar
menyodorkan 2 lembar uang pecahan 10 rIbu.
“Ini buat ongkos,”
“Iya bu…taruh aja
disitu…” Kataku sambil menunjuk ke tumpukan bata yang ada didekatnya.
“Udah-udah sini Ibu
aja yang nerusin. Gak bersih kamu nyucinya. Malah bau sabun nantinya,”
Aku pun pergi ke
jemuran mengambil handuk. Setelah itu
masuk ke kamar mandi.
Sambil mandi pikiranku
masih teringat pada Mirna. Membayangkan kesedihan Mirna.
Tapi dihati kecil ini
sudah mulai ada kekuatan. Diriku memang harus siap menerima kenyataan. Aku
harus menjauh dari Mirna.
Seusai mandi dan
berpakaian, Aku menyiapkan pakaian yang akan dibawa ke Jakarta. Tak banyak
pakaian yang kubawa.
Dipikiranku hanya
terpikir pergi secepatnya dari kampung itu. Ku tak mau melihat dan mendengar
tentang pernikahan Mirna. Aku juga tak mau menceritakan masalahnya pada Ibu.
Ku hampiri Ibu yang
sedang menyapu halaman depan. Melihatku,
Ibu sepertinya sudah tau anaknya akan segera berangkat.
“Berangkat nak?”
“Iya. Pamit ya bu…do’a
kan…”
“Iya Ibu do”ain…”
“ Jangan lupa bawa
sarung..”
“Iya bu…udah ada…”
“Naik apa ke
Jakartanya?”
“Kereta aja bu..lebih
murah…”
“Ya udah…hati-hati
ya…”
Aku mencium tangan Ibu.
Didepan pagar rumah mataku mencari
tukang ojek yang biasa mangkal dekat rumah. Seorang tukang ojek yang melihatnya
langsung menghampiri dengan motor Tornado.
“Kemana Yud”
“Ke stasiun…”
“Aya naon di stasiun
Yud?”
“Aya gorengan, gehu,
bala-bala, misro juga ada ka…” Kataku berkelakar.
“Hahaahaha….ditanya
malah ngelantur…”
Tukang Ojek ini
tertawa.
Sepuluh menit
kemudian, Aku sudah ada di stasiun
Rangkasbitung. Stasiun ini nampak sangat indah. Bangunan stasiun ini sangat
terlihat bentuknya khas peninggalan jaman penjajahan.
Di peron kududuk
menunggu kereta Rangkasbitung-Tanah Abang.
Hari itu stasiun tidak
begitu ramai. Mungkin karena saat itu sudah siang. Penumpang kereta arah Jakarta
biasanya padat dari subuh sampai pagi
hari. Kebanyakan mereka adalah karyawan swasta yang bekerja di Serpong atau
Jakarta.
Kereta pun tiba.
Kereta ini datang dari arah Merak. Kami
biasanya menyebutnya kereta Patas pagi.
Tak kurun lama Aku
sudah duduk diatas kursi kereta. Dari jendela, mataku menatap suasana stasiun
kereta.
Peluit Kepala Stasiun
mulai ditiup. Kereta pun mulai merangkak bergerak.
“Rangkasbitung, Aku
pergi,”
“Selamat tinggal Mirna,
ini yang terbaik untukmu.”
Sepanjang jalan kulihat bendera merah putih
berkibar. Hari ini tanggal 17 Agustus 2000. Hari Kemerdekaan. Aku lepas dan
pergi dari Mirna. Tapi ini bukan arti kemerdekaanku. Ini adalah
ketidakberdayaanku. Ini adalah pelarianku. Pelarian dari ketidakmampuanku
menghadapi kenyataan…
****
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Tujuh
Jakarta, 01 Juli 2016
Namaku
Yudha Hari Subhan. Saat ini Aku sedang bertamu dirumah seorang pejabat
provinsi. Di sebuah ruang tamu yang besar kami berempat orang
sedang mengobrol.
Ruang tamu ini
terbilang mewah. Berbagai hiasan terpajang indah di dinding. Kursi sofa yang
mereka duduki sangat bagus. Terlihat dari ukirannya yang mahal bermotif naga.
Disudut ruangan juga terpajang piano.
Sebuah lukisan
keluarga terpampang di dinding. Seorang pria mengenakan jas lengkap dengan
dasinya diapit istri dan anak perempuannya yang mengenakan toga
sarjana.
Lantai rumah itu
terbuat dari marmer, terkesan sangat
mewah. Dibeberapa bagian terdapat hamparan permadani berwarna merah. Sedangkan
diatas, lampu-lampu hias besar memperlihatkan keanggunan bangunan besar itu.
Salah seorang dari
tamu yang mengenakan jaket kulit coklat mulai membuka percakapannya. Dia Garda
yang malam itu sengaja ku ajak untuk menagih hutang.
“Kami tau bapak lelah
karena baru pulang kerja. Bapak tentu lelah. Tapi mohon ma’af kami hanya
menjalankan tugas pimpian. Kami harap bapak memahaminya,”
Garda mencoba bicara
sesopan mungkin.
Tuan rumah yang hanya
mengenakan celana pendek dan kaos oblong itu menyimak apa yang diucapkan
tamunya.
“Kami tak mungkin datang kesini bila tanpa
sebab, saya kira bapak sudah paham itu,”
“Iya saya paham. Anda
melaksanakan tugas, tapi…” Jawab tuan rumah yang berbadan pendek gemuk sambil
mengambil gelas air didepannya, minum.
Suasana hening
sejenak.
“Saya sebenarnya sudah
pernah ngobrol dengan Arwan, dia bilang bahwa tidak ada masalah. Dia baik-baik
saja,” Lanjut tuan rumah tadi sambil menunduk gelisah.
“Ini surat kuasa
penagihan kami. Itu Arwan yang tandatangan. Dia ingin uangnya kembali malam ini
! kata Garda mulai meninggi.
Aku tau Garda mudah
terpancing emosi. Tapi masih kubiarkan.
“kami datang untuk
menyelesaikan ini, bos kami menyuruh kami datang kesini. Masalah besar harus
jadi kecil, masalah kecil bisa dihilangkan, gitu kan baiknya bos, heheheh,”
Kali ini nada bicara
Garda menurun.
Tuan rumah hanya
mengangguk-angguk sambil senyum kecut.
Tuan rumah ini adalah
salah satu pejabat salah satu dinas yang sangat berpengaruh di Jakarta. Wajahnya
sudah tidak asing sering muncul dalam pemberitaan di TV atau media cetak.
“Saya lagi kolef,
nanti semua saya selesaikan…” Kata tuan rumah agak terbata-bata.
Aku coba masuk dalam
pembicaraan ini.
“Maaf ya….bos..”
Perhatian tuan rumah
pun beralih padaku.
“Apa bos sadar bahwa
ini adalah masalah besar. Uang 1 Milyar yang bos ambil dari Arwan itu suap…..dia
bos janjikan proyek yang di Kuningan,
tapi kan sampai saat ini tak pernah ada. Ini kan namanya penipuan, meminta uang
dengan mengimingi-imingi orang yang gak ada buktinya. Ini jelas penipuan…!”
Aku menghentikan
bicara sebentar. Melihat reaksi dari tuan rumah. Semua yang ada disitu menunggu
kelanjutan kalimatku.
“Saya kira Si Arwan masih termasuk bijak, dia hanya
minta uangnya dikembalikan. Itu aja….masalah selesai. Kita anggap ini tak
pernah terjadi….”
Tuan rumah mulai
gugup. Dia mengambil gelas air dihadapannya dan meminumnya. Nampak jelas bahwa
tangan tuan rumah gemetar ketika memegang gelas.
“Tapi saya sedang
tidak ada uang. Kalo 50 Juta mungkin ada sekarang juga….saya minta waktu…pasti
saya selesaikan…” Kata tuan rumah memelas dan terbata-bata.
Aku tersenyum dan tertawa kecil.
“Hehehe….tenang aja
bos….santai aja…”
Semua yang ada
diruangan itu diam.
Aku coba mengalihkan
perhatian tuan rumah dengan pura-pura menanyakan poto besar keluarga yang terpajang di dinding
ruang tamu.
“Itu poto anaknya bos
dulu lulus kuliah dimana ? Hebat ya potonya lagi diwisuda….pasti pintar ya
seperti ayahnya, hehehehe…”
“Sedang ngambil S2 di
Australi…” Jawab tuan rumah singkat.
Aku senang pancinganku
menarik orang ini ke yang ku mau.
“Oh….kalau di Australi
kan jauh, jadi dia gak akan begitu malu….kecuali kalau di Australi anak bos
suka nonton TV Indonesia ya…….”
Aku mengatakan itu
sengaja dengan intonasi rendah tapi tenang.
Tuan rumah menatapku
dan mengeryitkan alisnya.
“Maksudnya…..?”
Sambil kubakar rokok,
Aku menjawab dengan tenang dan mata menatap mata tuan rumah.
“Ya kan kalau besok
saya laporkan kasus penipuan ini ke polisi, dan bos ditahan, lalu wajah bos
ramai mengisi pemberitaan koran dan televisi anak bos kan gak tau itu, atau
teman-temannya juga gak tau….setidaknya tidak akan ada beban psikologis…karena
ayahnya ditahan…”
Si tuan rumah
sepertinya paham, bahwa ucapanku adalah ancaman halus. Apa jadinya bila pejabat
seperti dirinya berurusan dengan polisi. Terlebih lagi memang dia merasa
melakukan perbuatan itu.
“Sempruuuuuul, pintar
orang ini,” Mungkin itulah gerutu orang itu dalam hatinya.
Tuan rumah kemudian
memandangi kami satu persatu. Sepertinya dia sudah punya pilihan.
“Gini aja…..saya ada
uang cash 200 juta….dan mobil Pajero Sport yang didepan bisa kalian bawa….BPKB
nya ada, karena itu bukan mobil cicilan, mobil itu ditaksir 300 juta, jadi saya
malam ini sudah ngangsur 500 juta,”
Aku langsung bangkit
dan menyalami orang itu sebagai tanda setuju.
“Heheheheh…bos benar
professional dan bijak,….kita hargai itu…”
Yang punya rumah tergopoh-gopoh naik tangga
rumahnya untuk mengambil uang dan BPKB mobilnya.
Sementara yang punya
rumah sIbuk diatas, Aku menyuruh Garda mengambil selembar kertas kosong dan
sehelai materai di mobil.
Dalam beberapa menit Garda menulis perjanjian diatas kertas itu dan siap
untuk ditandatangani.
Tak lama yang punya
rumah turun dari tangga dan menyerahkan beberapa gepok uang pecahan 100 rIbuan.
Dari saku celananya dia mengeluarkan buku BPKB.
Buku itu pun ku baca
dan kuperiksa. Aku mengangguk.
Tuan rumah kemudian
menyodorkan kunci mobilnya.
“Ini kunci mobilnya,”
“Makasih bos, silahkan
dibaca dan ditanda tangani. Ini kwitansi yang 200 juta…” Kataku.
Akhirnya transaksi pun
selesai dengan cepat. Dengan ramah tamu-tamu tadi pamit pulang.
“Terimakasih ya bos……semoga sukses selalu…”
Aku sekarang sudah ada
dibelakang stir mobil Pajero Sport warna merah milik tuan rumah.
Setelah tamu-tamu tadi
pergi, tuan rumah kembali masuk. Dalam hati mungkin dia
menggerutu…”Sempruuuuuuul !”
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Delapan
Blok M, 5 Juli 2016
Jam 10.35 WIB
Suasana
restoran Jepang siang itu nampak sepi. Hanya beberapa pelayan yang nampak
berdiri di sudut ruangan. Biasanya pelanggan mulai datang selepas jam kantor.
Alunan
musik negeri Sakura itu diputar dengan lirih. seakan paham bahwa pelanggan yang
datang bukan ingin menikmati lagu.
Dimeja
nomor 17 Aku duduk ditemani sahabat sekaligus asisten pribadiku, Garda. Anakbuah
yang satu ini kukenal sejak tahun 2010.
Saat itu dia datang ke kantorku untuk mencari pekerjaan.
Garda
baru keluar dari LP Cipinang karena kasus pembunuhan. Dia bercerita bahwa pembunuhan itu tidak disengaja. Saat itu
dia bekerja sebagai penjaga keamanan salah satu tempat hIburan. Seorang
pengunjung mabuk membuat keonaran. Dia menyeret orang mabuk itu keluar.
Beberapa
teman pria mabuk itu tak terima. Mereka mengeroyok Garda. Pertarungan tak
seimbang, lima lawan satu pun terjadi. Seorang dari mereka tewas diujung
sangkur Garda. Dengan tubuh penuh luka Garda lari dari tempat itu. Seminggu
kemudian polisi menangkapnya.
Garda
memang orangnya mudah marah. Sering Aku
menasehatinya. Bila sedang marah, siapapun bisa jadi pelampiasan. Kadang
teman sendiri pun harus merasakan bogem mentahnya. Hanya padaku Garda tak
pernah berani marah.
Garda
bertugas menjadi asisten pribadiku. Kebetulan dulu dia pernah kuliah ekonomi
kendati mesti kandas ditengah jalan. Setidaknya dia bisa memeriksa pembukuan
atau sekedar mengetik surat.
Tapi
kesetiaan Garda memang sudah teruji. Setiap uang yang didapat dIbukukan dengan
baik. Tak pernah sekalipun dia membohongiku. Terlebih masalah keuangan. Semua
dikelola dan dilaporkan secara rinci kepadaku. Sepeserpun dia berani mencuri dariku.
Dia pun tak pernah membantah perintahku. Garda tak ubahnya bagai seorang
tentara yang selalu patuh pada komandannya.
Organisasi
preman berkedok perusahaan ini Aku
dirikan beberapa tahun yang lalu. Berawal dari saran seorang teman teman yang bernama Marbun. Marbun adalah membantuku
mendirikan Perseroan Terbatas alias PT
atasnamaku. Selain mendirikan PT, Marbun juga seorang pengacara. Dia membantuku
mendirikan sebuah yayasan penyalur tenaga kerja.
Aku
kenal Marbun ketika mengurus sengketa tanah seorang pengusaha asal Medan. Dia
menjadi lawyer dalam sengketa itu, dan Aku yang mendapat job pengamanan tanah
itu. Dari situlah kami kenal dekat sampai saat ini.
Karyawanku
kebanyakan adalah preman yang selama ini sudah menjadi anakbuahku menjadi
anakbuahku. Yang membedakannya adalah sekarang Aku menggunakan badan usaha
resmi. Kontrak kerja yang kulakukan dengan klien pun dIbuat resmi. Marbun yang
mengatur setiap perjanjian kerja yang kubuat dengan klien.
“Preman sekarang jangan mengandalkan
otot, tapi harus mengkombinasikan otak dan otot,” Begitu yang sering dikatakannya.
Nama perusahaan yang kudirikan
adalah PT Cakra Yudha. Cakra adalah senjata sakti milik Kresna, tokoh
pewayangan. Sedangkan Yudha tentu saja namaku.
Yayasan
juga Aku beri nama Cakra. Lengkapnya Yayasan Cakra Yudha Mandiri. Keren kan?
Perusahaanku
semakin hari semakin berkibar di Jakarta. Banyak bidang bisnis yang kujalankan,
mulai dari parkir, penagihan hutang, pemasangan spanduk, pengamanan, penguasaan
lahan, prostitusi, lapak judi dan prostitusi.
Pengguna
jasa perusahaanku semakin banyak dari berbagai kalangan. Saat musim kampanye
Pilkada pun Aku kebanjiran order
pengerahan massa kampanye.
Aku
diberi tanggungjawab mengerahkan rIbuan massa bayaran. Dari kegiatan ini
biasanya Aku mendapatkan hasil puluhan juta rupiah, itu sudah bersih setelah
membayar transport peserta kampanye.
Karena
banyak politis yang menggunakan jasaku. Maka banyak politisi yang kukenal.
Banyak dari mereka yang sering tampil di acara talk show TV. Aku kadang-kadang
senyum-senyum sendiri melihat tingkah polah mereka.
Hanya
ada satu bisnis hitam yang samasekali tak kusentuh. Narkoba ! Entah kenapa Aku
sangat benci dengan bisnis ini. Selalu terpikir
hancurnya generasi muda karena penyakit yang satu ini.
“Kena
Narkoba pasti bisa jadi pencuri dan rampok!” Itulah yang Aku tau.
Beberapa
aparat juga kukenal. Banyak mereka yang sering main ke kantorku. Mungkin mereka
memang ditugaskan untuk memantau, atau mungkin memang mereka ingin berteman
denganku.
Dikehidupanku
sekarang, soal uang sudah bukan masalah. Semua Garda yang tanggungjawab
mengelolanya. Dari menghimpun uang yang masuk, juga membayarkan segala tagihan
yang harus dibayar.
Hanya
satu hal yang tak bisa kuserahkan pada Garda. Pembinaan karyawan misalnya.
Sifatnya yang mudah emosi tidak mungkin mampu menasehati anakbuah. Bisa-bisa yang dinasehati
malah babak belur dihajar Garda !
Untuk
membina anak buah kupercayakan kepada masing-masing kepala cabang. Hampir semua
wilayah di Jakarta ada cabang –cabang usahaku. Mereka biasanya membuat semacam
basecamp untuk berkantor. Hanya kepala cabang atau pengurus senior yang biasa
berkomunikasi langsung denganku.
Setiap
awal bulan kepala cabang melaporkan perkembangan wilayahnya dalam rapat. Kendati
preman tapi kami sudah tidak asing keluar masuk bank.
Dikalangan
preman, Aku terbilang disegani. Sesekali kami juga bersitegang dengan kelompok
lain. Tapi itu biasanya bisa diselesaikan dengan ngopi bersama. Atau bila
masalahnya rumit, backing kami yang turun menengahi. Kami biasanya menyebut
backing kami ini “Babeh”. Dia adalah seorang petinggi disebuah angkatan.
Babeh
tidak pernah meminta setoran dariku. Yang kami dengar, Babeh akan masuk ke
dunia politik saat pensiun nanti. Mungkin karena itulah Babeh mau menjadi induk
bapak angkat kami.
Sebagai
orang yang menguasai beberapa bisnis ilegal tentu kami pernah berurusan dengan
aparat. Sebagai pemimpin tentu Aku menggunakan segala cara untuk
membebaskannya.
Disini
peran Marbun sangat besar. Kadang
anakbuahku mujur bisa lepas, Kadang juga ada yang tak tertolong masuk bui. Ya
itulah resiko hidup didunia preman.
Aku
bertanggungjawab membiayai hidup keluarga yang ditahan. Setiap hari Aku mengutus orang untuk
mengirimi mereka rokok dan makanan.
Kendati
seorang preman, Aku juga sering melakukan kegiatan bhakti.Yayasanku banyak
menyantuni anak yatim dan orang tak mampu di Jakarta.
Untuk
mencuci hartaku. Setidaknya kuberharap do’a anak yatim bisa menyelamatkan dari
bahaya. Itulah nasehat Bang Madong sebelum meninggal beberapa tahun lalu.
Bang
Madong kuanggap sebagai ayahku. Janda dan anak-anak bang Madok selalu
kuperhatikan kebutuhannya setiap bulannya. Anak sulungnya pun ku biayai
kuliahnya. Karena itulah cita-cita bang Madong.
“Anakku
tak boleh seperti ayahnya. Mereka harus jadi orang pintar dan sekolah yang
tinggi. Ayahnya orang gagal, tapi tidak anaknya!” Kalimat itu yang pernah dikatakan
bang Madong.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Sembilan
Jakarta, 10 Juli 2016
Pagi itu Aku keluar
dari rumah yang ada di daerah Serpong. Sebuah kawasan perumah real estate yang
ku cicil dan sudah lunas beberapa tahun lalu.
Mobil Pajero Sport
yang kukendarai melaju perlahan seiring lalu lintas yang tersendat. Pagi itu Aku ada janji dengan
seorang relasi, pengusaha keturunan Tionghoa. Ini kali kedua dia minta
bantuanku.
Sebelumnya dalam
sengketa tanah di daerah Sunter dia menggunakan jasa pengamananku. Hampir 3
bulan anakbuahku menjaga tempat itu. Akhirnya ditingkat banding dia menang.
Lumayan juga hasil yang kudapat saat itu. Maklum obyek sengketanya lahan dikawasan segitiga emas.
Pagi itu kami janjian
ketemu di sebuah restoran. Aku tak mau terlambat datang menemui orang ini.
Mobilku mulai masuk ke area parkir restoran di daerah Kemang itu. Disinilah
tempat kami sepakat untuk bertemu.
Sambil menyetir,
pandanganku berputar mencari tempat parkir.
Tak sengaja mataku
melihat ada dua orang sedang berdiri tak jauh dari sebuah sepeda motor RX King
warna hitam. Kedua orang ini mengenakan jaket kulit berwarna hitam.
Kulihat salah seorang
dari mereka menunjuk mobilku. Ada gambar besar logo perusahaanku di kaca
belakang. Logo Cakra ! Sepertinya mereka mengincarku.
“Doooor….doooor…..!!!!”
Tiba-tiba terdengan
suara tembakan. Seperti ada suara letusan
di bagian samping mobilku. Persis dibawah jendela kanan. Instingku cepat
menerka, bahwa Akulah sasaran tembakan mereka.
Aku merunduk dan
membanting setir. Tongkat perseneling langsung kutarik untuk laju mundur. Dua
orang kulihat bergegas naik ke motor
mengejar.
Dari spion kulihat
penumpang motor mengarahkan pistol ke arahku. Kubanting setir ke kanan untuk
menghindari tembakan.
“Dooor…!!! Doooor !! bleeeetak…bleeeetak….!!!
Kembali ada bagian
mobilku yang kena peluru.
Kembali ku lihat
spion. Dua orang itu masih mengejar.
Area parkir itu cukup
luas. Ku lihat orang-orang berlarian ketakutan menyaksikan adegan itu
kejar-kejaran bersenjata itu.
Mobilku melaju kencang.
Begitu pula motor penembak dibelakangku.
Tiba-tiba terpikir
olehku untuk menginjak rem mendadak. Sambil stir ke buang ke kanan untuk
menghadang motor dibelakang.
“Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttt….nguk…nguk
!!!!”
“Bruuuuaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!!!
Terdengar suara
benturan keras dari belakang mobilku. Dari spion ku lihat dua orang penembak
tadi terkapar.
Orang-orang menjerit.
Aku tak mau kena
masalah. Meski posisiku sebagai korban penembakan, tapi tentunya tak semudah
itu ketika diperiksa yang berwajib.
Kupilih tancap gas,
keluar dari area restoran itu.
Seraya ku telepon bos
yang janjian ketemu denganku.
“Sorry bos…..didepan
restoran Aku tadi diberondong peluru…gila tuh orang. Siang bolong mainin
bedil….nanti kita jadwalin aja bos, okeeeh, okeeeeh, siap.”
Hari itu Aku masih
mujur bisa lolos dari kematian. Aku
memilih putar arah kembali ke rumahku di BSD.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Sepuluh
Stasiun Parungpanjang, 16 Juli 2016
Masih
ingat kan namaku? Namaku Yudha Hari
Subhan. Aku saat ini ada diatas kereta
api Rangkas Jaya yang mengarah ke Rangkasbitung, Banten. Aku naik dari Stasiun
Tanah Abang.
Tadi sahabat dan
asistenku Garda yang mengantar ke stasiun. Sengaja tak kubawa mobil. Aku ingin menikmati suasana
naik kereta api. Aku ingin mengenang masa-masa itu. Suasana yang sama seperti
ketika pertama kali datang ke Jakarta. Itu 16 tahun silam.
Umurku
sekarang 37 tahun. Masih lajang. Bujang lapuk istilah orang-orang biasanya
menamakan orang sepertiku yang telat menikah. Sebutan yang kadang membuat
kupingku merah. Tapi untuk apa Aku harus pusing dengan sebutan itu. Memang
itulah hidupku.
Aku belum menikah bukan
karena tak laku. Banyak wanita yang mencoba masuk ke hatiku. Tapi semua harus
kecewa dengan sikap dinginku. Aku masih belum terpikir untuk punya teman
wanita. Sudah 16 tahun belum terpikir. Hmmmmm…ya, itulah Aku, Yudha Hari
Subhan.
Terlahir
dari keluarga petani di desa mungkin bukan keinginanku. Andai bisa memilih dari
rahim siap Aku dilahirkan, mungkin Aku akan memilih lahir dari rahim Ibu Tien
Soeharto, atau ingin punya bapak milyader sekelas Abu Rizal Bakrie. Tapi itu
kan kalau bisa memilih. Karena lahir itu kita tak pernah memilih. Maka lahir
dari seorang rahim petani, itulah takdirku, dan Aku bersyukur untuk itu.
Nama kampungku, sebut
saja, Babakan. Orang ada yang menyebutnya Babakan Sisi Cai, artinya kampung
yang ada dipinggir kali. Kali Ciujung memang melintasi kampung kelahiranku.
Babakan adalah salah satu
kampung yang ada dipinggiran kota Rangkasbitung. Jaraknya hanya sekitar 4
kilometer. Waktu sekolah SMA dulu Aku biasa jalan kaki menyusuri rel kereta
api. Maklumlah saat itu tak ada angkutan umum yang masuk ke kampungku.
Rangkasbitung ? Aku lebih
senang menyebutnya Rangkasbitung. Walau sebenarnya tempatku tinggal bukan lagi
masuk ke wilayah administrasi kecamatan Rangkasbitung. Sudah lama ada
pemekaran. Dan kecamatan pemekaran itu diberi nama Cibadak.
Kenapa namanya Cibadak?
Konon menurut cerita yang tidak bisa dipastikan kebenarannya, Cibadak berasal
dari kata air tempat pemandian badak. Badak? Bukankah badak adalah binatang
langka yang ada di Ujung Kulon? Tadi sudah kukatakan, ini dari informasi yang
tak kujamin kebenarannya!
Ngomong-ngomong soal nama
Rangkasbitung, mungkin diantara kita sudah tahu atau setidaknya pernah dengar.
Tapi bagaimana dengan nama Lebak? Mungkin ada belum tahu ya?
Memang nama Rangkasbitung
seakan lebih tenar dari nama Lebak itu sendiri. Padahal Rangkasbitung itu hanya
nama kencamatan dan kabupatennya namanya Lebak.
Tapi jangan lupa, pada
tahun 2013 lalu nama Lebak jadi terkenal. Ada yang ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi, tempatnya di Lebak. Kasus suap kepada hakim konstitusi,
itu yang ku lihat di televisi.
Ada
lagi yang bisa dikait-kaitkan dengan nama Lebak atau Rangkasbitung. Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Dia
adalah adalah penulis Belanda yang terkenal. Mantan
asisten residen Lebak ini menulis sebuah buku yang berjudul Max Havelaar. Buku novel ini berisi
kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang prIbumi. Dalam buku itu kisah
percintaan antara Saijah dan Adinda. Maka di Rangkasbitung ada jalan, gedung
bahkan nama perusahaan yang menggunakan nama Multatuli.
Selain terkenal dengan
Multatuli, Lebak juga dikenal dengan suku Baduy. Orang Baduy sendiri tak suka
disebut Baduy. Mereka lebih suka disebut Urang Kanekes. Suku ini sangat dikenal karena masih kuat menjaga tradisi
sukunya.
Populasi mereka sekitar
5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi
dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
Tubuhku tidak terlalu
tinggi, tidak pula terlalu pendek. Tinggi
yang ideal rata-rata orang Indonesia. Postur tubuhku bisa dibilang
gemuk. Mungkin karena Aku jarang olahraga.
Banyak teman yang memberi
saran agar Aku berolahraga. Mereka berkata,
mendekati usia 40 lemak mulai menumpuk diperut.
Yah biarin lah. Yang penting sampai saat ini Aku sehat wal afiat.
Kulitku putih. Kadang ada
yang memanggilku si bule. Tapi Aku bukan bule sungguhan. Aku asli orang
Rangkasbitung. Asli lho! seperti slogan salah satu iklan minyak kayu putih di
TV yang biasa kita tonton.
Diusiaku
hampir mencapai kepala empat ini Aku masih perjaka tingting. What? Kalian gak
percaya kalau Aku masing tingting? Ya terserah mau percaya atau gak! Yang jelas
namaku belum pernah tercatat menikah di KUA mana pun se antero Nusantara. Kalau
kalian masih tak percaya, silahkan tanya aja sendiri ke KUA !
Terkait statusku yang
masih lajang, Aku berharap kalian tak salah duga. Aku masih normal. Melihat
wanita cantik tentu saja dadaku akan berdegub kencang. Deg….deg….deg….
Apalagi kalau wanita
cantik itu berpakaian seksi. Maka degub jantungku akan semakin kencang. Deeeeeggg….deeeegggg….deeeeeg…!!!!
Aku enggan menikah karena
ada cerita kelam dalam hidupku. Ada cerita asmara yang lebih seru dari sekedar
sinetron yang tayang di TV swasta. Mungkin karena hatiku sudah tak bisa pindah
ke lain hati.
Tapi Aku tetap berharap,
suatu ketika Aku punya istri, anak dan kebahagian bersama mereka. Untuk apa
semua yang kumiliki saat ini?
Hal
lain yang juga perlu kukatakan pada kalian. Kendati dalam usia 37 tahun tak jua
beristri. Tapi Aku pantang yang namanya “jajan” perempuan.
Setidaknya pesan dari
Ustad Udin, guru ngajiku saat masih SD masih selalu kucamkan. “Anak-anak.
Jangan kalian berzina. Sekali kalian berzina, berhubungan intim dengan wanita
yang bukan istri maka dosa besar untuk kalian. Sialnya selama 40 bulan, orang
sekampung kebawa sial..” Kira-kira seperti itulah nasehat Ustad Udin pada kami.
Hal
lain yang membuat Aku takut “jajan” perempuan kengeri jika dengar yang namanya
penyakit seks menular. Ada yang namanya Sipilis
alias Rajasinga alias kencing nanah. Hiiiiih…ngeri ! Dan ada lagi penyakit yang
paling kutakuti. Itu HIV AIDS !
Tapi
walau pun tak pernah “jajan” perempuan, Aku tidak pernah alergi berdekatan
dengan Pekerja Seks Komersial atau PSK. Aku Bahkan bisa dibilang Aku kerap
bicara dengan mereka. Ya karena Aku adalah mereka !
Aku
tidak munafik. Ada hasil kerja mereka yang juga kumakan. Ya, karena inilah
duniaku. Aku terima kalau kalian mencemoohkanku. Aku terima. Toh, kalian tidak
sedang ada didepanku.
“Peeeeeeeeeeeeem”
Klakson kereta api yang
kutumpangi berbunyi. Pertanda kereta harus segera melangkah menuju stasiun
berikutnya. Kereta mulai melaju. Stasiun Parungpanjang mulai kami tinggalkan.
Kota Rangkasbitung semakin dekat.
Mataku melihat sekitar
tempatku duduk. Suasana kereta nampak sepi. Tak banyak penumpang yang ada saat
itu. Tepat didepanku seorang wanita dan anaknya yang berumur sekitar 5 tahun.
Sesekali Aku tersenyum ke
tetangga kursiku itu. Namun Ibu muda ini hanya senyum kecut. Sepertinya dia
takut melihatku. Sementara anaknya nampak terkantuk-kantuk.
Kereta
ini sungguh sepi. Tak ramai seperti dulu ketika Aku pertama pergi ke Jakarta.
Ya ketika 16 tahun yang lalu Aku meninggalkan kampung halaman. Tak ada pedagang
yang hilir mudik berburu pembeli. Tak ada petugas kotak amal jariyah
yang berceramah mencari simpati. Tak pengamen yang bernyanyi silih berganti.
Perombakan sistem di
perusahaan kereta api itu memang terjadi besar-besaran. Semua pedagang,
pengamen dan aktifitas yang dianggap menganggu kenyaman penumpang kini
dilarang.
Semua stasiun dipagar dan
dijaga ketat oleh penjaga. Tak ada lagi kondektur yang mengutip lebaran uang rIbuan
dari penumbang tak berkarcis. Semua sudah tertib. Aku pun dIbuat gelisah karena
dilarang merokok diatas kereta. Mulut asam tak tertahan.
Kereta yang kutumpangi
terus melaju. Cilejet, Tenjo, Daru, Tigaraksa, Maja, Citeras, dan………..stasiun
yang paling ku rindukan. Stasiun Rangkasbitung.
Kota serIbu cerita…Kota serIbu kenangan…
Dan kota serIbu duka untukku….
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Sebelas
Tanah Abang, 17 Agustus 2000
11.30 WIB.
Saat
kali pertama menginjakkan kaki di
Jakarta usiaku baru 20 tahun. Ya…aku, Yudha Hari Subhan yang sudah 16 tahun
tinggal di Jakarta. Waktu yang sangat lama bagi pemuda seusiaku. Ya saat itu
tentunya.
Selama
16 tahun itu Aku tak pernah sekalipun pulang. Hari raya Idul Fitri atau pun
Idul Adha Aku tak pernah pulang. Sebagai manusia biasa, dan sebagai seorang
anak yang masih memiliki Ibu Aku juga punya rasa rindu. Tapi semua rindu itu
akan tahan. Aku tahan untuk tak pulang.
Kalau Aku niat, mungkin
bukan hal sulit untuk setiap hari pulang pergi Rangkas-Jakarta. Karena banyak
orang Rangkas yang tiap hari pulang pergi ke Jakarta bekerja menjadi karyawan.
Ada beberapa dari mereka yang ku kenal di Jakarta.
Yang
kuingat hari itu hari Kemerdekaan RI. Entah peringatan yang keberapa Aku lupa.
Yang Aku ingat itu tahun tahun 2000. Kenapa ku ingat betul bahwa hari
itu hari kemerdekaan? Karena sepanjang jalan, diatas kereta api ekonomi
Rangkas-Jakarta kulihat warga sedang melakukan berbagai perlombaan. Ada balap
karung, panjat pinang dan perlombaan lainnya.
Masih
kuingat ketika menginjakkan kaki di stasiun Tanah Abang turun dari Kereta
Ekonomi Rangkas-Jakarta. Tak tahu kemana Aku akan pergi. Tiada sanak keluarga
atau teman yang bisa ku sambangi di kota Metropolitan ini. Aku hanya pernah
melihat Jakarta di TV hitam putih punya pamanku. Hanya itu.
Hari itu cuaca begitu terik.
Matahari dengan congkak memperlihatkan keperkasaannya. Gigitan dewa Surya itu
seakan mengupas batok kepalaku. Kakiku memakai sepatu merk Dragon Fly putih,
atau orang-orang menamakannya sepatu capung. Aku melangkah tak tentu arah. Ku ikuti saja keinginan
mataku.
Terlihat tulisan bangunan bertingkat, Blok F.
Mungkin inilah tempat belanja pakaian murah yang terkenal itu. Sering kudengar
kalau di kampung bahwa harga pakaian yang paling murah itu di Tanah Abang.
Mungkin inilah yang mereka maksud. Aku terus melangkah menyusuri jalan di depan
Blok F ini.
Melangkah sambil melihat aktifitas pedagang
yang sIbuk menawarkan dagangan ditengah macetnya lalu lintas. Suara-suara dari
pengeras yang memekakkan telinga.
Sambil berjalan ku bakar rokokku.
Sesekali Aku terpaksa menyelinap disela-sela kerumunan pedagang dan pembeli.
Panas sekali siang ini.
Tak
jauh dari Blok F Aku melihat plang nama jalan disebrang. Aku pun seperti
tertarik untuk menyusuri jalan itu. Kebon Kacang 3 nama jalan itu. Aku terus
melangkah.
Peluh mengucur membasahi
bajuku yang lusuh. Haus dan lapar tak tertahan memaksaku untuk berhenti dan
mencari pedagang makanan. Kulihat pasar
kecil yang mulai sepi. Didekat bangunan Pos Kamling Aku berhenti. Beberapa
orang sedang duduk di sebuah warung kopi. Pilihanku masuk warung itu.
Aku kemudian memesan mie rebus pakai telor. Kurasa itu cukup untuk
makan siang hari ini. Kendati ada warung nasi tak jauh dari warung yang ku
duduki, tapi teringat minimnya uang dikantong, maka mie rebus adalah pilihan
yang sangat sesuai dengan kantongku.
Beberapa menit kemudian mie rebus
pesananku sudah tersedia. Kulahap segera mie itu tanpa menunggu hangat. Rasa
lapar membuatku lupa segalanya. Lupa dengan sekelilingku.
Segelas teh hangat menjadi penutup
makan siangku. Keringat mengucur deras dari keningku. Entah pertanda cuaca
panas yang tak terkira, atau mungkin reaksi mie instan bergambar pria bersorban
bertabur lada yang baru berpindah ke perut ini. Perduli amat……yang penting Aku
sudah kenyang.
Sebatang
rokok pun kubakar. Tinggal satu batang lagi. Waduuuuuuh. Amunisi sudah habis.
Kapal mulai oleng jendral, begitu biasa Aku dikampung berseloroh ketika
kehabisan rokok.
Sambil menghembuskan
kepulan asap rokok, mulai mataku menjelejah sekitarku. Baru kusadar beberapa
pasang mata sedari awal datang sesekali melirik ke arahku. Entah apa yang
mereka obrolkan. Instingku mengatakan mereka sedang membicarakan Aku.
Kedua pria ini duduk
sekitar 4 meter didepanku. Seorang dari
mereka bertubuh tinggi kerempeng. Dia mengenakan rompi hitam yang
yang sudah lusuh. Beberapa bordiran gambar di rompi itu sudah sudah
susah dibaca. Sesekali pria ini tertawa terbahak-bahak. Tawa mereka begitu
keras. Temannya yang bertubuh pendek tambun juga turut tertawa. Entah apa yang
mereka tertawakan.
Aku pura-pura tak melihat mereka. Tapi
sudah bisa melihat, dua orang ini punya maksud tidak baik padaku. Instingku
juga berkata mereka mengincarku.
“Kalian
gila bila memakanku. Aku gak bawa duit. Tak ada apapun yang bisa kalian ambil.”
Kataku dalam hati.
Tak sedikit pun rasa gentarku. Apa yang
harus kutakutkan? Matipun rasanya saat
ini Aku sudah siap. Keputusasaan ditinggal Mirna membuatku seperti ingin
mati. Berpisah dengan Mirna sudah
merupakan kematian bagiku.
Tapi
Aku tak mau bunuh diri. Karena Aku tahu matinya orang bunuh diri adalah murtad.
Itu kata Ustad Udin, guru ngajiku.
Saat
ini Aku merasa menjadi mayat hidup.
Apalah gunanya hidup tanpa ada lagi harapan. Ya, harapan yang kumiliki
bertahun-tahun. Harapan untuk bisa memiliki Mirna seutuhnya.
Pria
bertubuh kerempeng tadi menghampiriku.
Dia minta api.
“Minta
api”
Aku
menyodorkan rokokku yang masih menyala.
“Makasih.”
Kata orang tadi.
Pria ini duduk
disampingku. Pemilik warung melirik sebentar dan pura-pura membersihkan piring
yang berserakan. Aku tahu pemilik warung itu sedikit ketakutan. Nampak jelas
dari raut mukanya yang gelisah.
“Lu
darimana?” Kata pria tadi.
“Rangkas
bang..”
“Rangkas?”
“Banten
bang..”
Temannya
yang bertubuh gemuk ikut menghampiri kami. Dia duduk persis disebelah kananku.
Kini Aku diapit dua orang berwajah
sangar. Tapi Aku tetap tenang. Sesekali Aku menenggak sisa teh panas yang mulai
menghangat.
“Bagi
duit dong…buat nambah……” Kata pria gemuk yang ada disebelah kananku sambil
mencolek tanganku.
Aku
menoleh ke orang yang barusan bicara.
“Apa
yang mau dikasih bang, saya gak punya duit…”
“Noban
aja…cukup…!” Kata Orang ini sambil menjentik-jentik telunjuknya di meja triplek
didepannya.
“Tok….tok….tok…”
“Boro-boro
bang…, gak ada…sungguh..”
Entah kenapa dihatiku
seperti ada keinginan kuat agar kedua orang ini memukulku. Agar Aku bisa
menghajar mereka dengan keras, sekeras-kerasnya.
“Luh
jangan pelit gitu lah sama kita-kita. Kita mintanya baik-baik sebagai tanda
persahabatan.”
Nada bicara si gemuk tadi
terkesan mengancam.
“Iya
lah. Lu masuk ke wilayah gua, lu hargai kita dong…” Timpal temannya.
Aku
mecoba tetap tenang. Tanganku seperti tak sabar ingin segera meninju kedua
orang ini. Naluriku sudah bergerak membaca situasi bila perkelahian terjadi.
Menyikut yang dikanan, sekaligus menyikut yang dikiri, sambil loncat meraih
botol kecap yang ada didepanku. Itu yang kubayangkan bila perkelahian terjadi.
“Mana…sini…jangan
bikin gua marah!”
Si kerempeng membentak.
Kulihat pemilik warung
yang sedari tadi pura-pura mencuci piring kulihat melangkah ke luar jalan
belakang.
“Sungguh
gak ada bang. Abang maksa juga gak ada yang bisa kuberikan..!”
Tiba-tiba
sudut mata kiriku melihat pria gemuk disebelah kanan melayangkan tangannya,
sepertinya hendak mencengkram krah bajuku.
Spontan
tangan kananku menepisnya dengan telapak tangan terbuka. Kudorong telapak
tangannya dengan tapak tangan kiriku. Dan sikut tanganku kusodokkan ke mukanya.
“Paaaaaaak!”
Tepat di batang hidungnya.
“Wadaaaaaaaaaau!!!!
Dalam hitungan
sepersekian detik sikut kiriku juga bergerak menghujam tepat ke hidung si
kerempeng yang ada disebelah kiriku.
“Baaaaaaak! Adaaaaaaoooooooow !
Erangan
kesakitan terdengar hampir bersamaan seiring kedua orang ini terjerembab masuk
ke kolong bangku yang kami duduki.
Kakiku
seperti otomatis melayang menginjak kepala pria dikananku.
“Daaaaaaaaaaag !!! Haaaaaaaooooooow
!!!
Pria gemuk tadi menjerit kesakitan.
Sementara pria krempeng tadi masih
terjerembab. Kepalanya menempel dikaki meja, sedangkan sebelah kakinya masih
ada diatas bangku, menyentuh pinggangku.
Kupegang
pergelangan kaki orang ini. Sekuat tenaga kutarik kaki ini ke luar warung.
Bagai orang kesurupan kugusur
orang ini. Kepala ditanah, sementara tangannya menggapai-gapai seakan mencari pegangan.
Aku tak terus menarik orang ini sekuat tenaga.
“Haaaarrrrrrruh
!!!!” Teriak orang ini kesakitan.
Diluar
warung cengkraman dipergelangan kaki itu kulepas. Kuhempaskan sebelah kaki
orang ini ke tanah. Kakiku kembali melayang dan menghujam kelehernya.
“Akkkkkkkkkkh!!!!.”
Orang-orang
berkerumun. Namun mereka tak berani mendekat apalagi memisahkan. Mataku
berpaling kearah warung. Masih ku lihat pria gemuk tadi terbaring mengerang
memegangi hidungnya yang bercucuran darah.
“Ada
apa ini?”
Datang
suara dari arah belakangku. Ketika menengok, ku lihat seorang pria separuh baya
menatapku. Matanya melotot menahan marah.
Orang
ini menghampiriku. Tanpa riskan orang ini meraih tanganku. Aku tak bisa
menolak.
“Udah-udah
cukup! Cukup! Ini salah paham!”
“Mereka
yang mulai..”
“Iya,
Aku tahu.”
Orang
ini menuntunku masuk ke dalam pasar. Di dekat sebuah WC umum dia menarikku
duduk dibangku kayu pajang yang ada.
“Lu
darimana?”
“Rangkas..”
“Dmana
Rangkas na?”
“Di
Rangkasnya. Dikotanya.”
“Sama,
aing geh ti Rangkas..ti Malingping”
“Ohw….”
“Anak-anak
tadi anakbuah gua. Udah lupakan. Nanti diberesin ama gua.”
Aku hanya diam dan mengangguk.
“Udah makan?”
“Udah, tadi waktu rIbut saya baru
beres makan.”
“Nama gua Masdar. Orang sini
biasanya manggil gua Madong. Ngopi…ya?”
Orang ini menawari kopi.
Aku mengangguk tanda setuju dengan
tawarannya.
Orang
ini merogoh sesuatu dari kantong bajunya. Rupanya beberapa bungkus kopi sachet
ada dikantongnya.
Dia
menghampir perempuan tukang kopi yang tak jauh dari WC umum itu.
“Min,
seduh kopi. Kopi kupu-kupu ini. Jangan manis-manis, dua!”
“Aih.
Disini juga ada kopi kupu-kupu ya bang?”
“Bawa
dari kampung. Setiap pulang saya beli beberapa pak kopi kupu-kupu. Gak cocok ey
dengan kopi yang lain…hehehe,”
“Heheheh…”
“Kamu
sebenernya mau kemana?
“Gak
tau bang. Gak ada tujuan…yang penting keluar dari kampung, nyari kerjaan..”
“Susah ey nyari kerja di Jakarta..”
“Iya bang…pasti susah..sering saya
dengar itu di TV.”
“Kalo gak ada keluarga, tinggal aja
dulu di tempatku. Masa kamu mau tidur di emperan toko jadi gembel.”
Tak berapa lama dua orang yang ku
hajar tadi menghampiri kami. Madong
tersenyum melihat mereka.
“Beres olahraganya?”
“Hih. Bang Madong. Patah hidung
saya. Si Bonsay juga tuh..” Kata yang kerempeng sambil menunjuk kearah
temannya.
“Udah
biasa salah paham. Ini …namanya…siapa namamu?” Kata Madong sambil menunjuk padaku.
“Yudha…bang,”
“Oh..iya
Yudha. Ini salah paham. Yudha ini satu kampung ama gua. Mungkin dia masih sodara jauh dari gua.
Udah lu bertiga salaman saling memaafkan. Semua beres. Gak ada dendam!!!”
Aku
cepat-cepat mendahuli menyalami dua orang tadi.
“Maaf
ya bang….”
Dua
orang tadi menggangguk saat bersalaman denganku.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Duabelas
Rangkabitung, 16 Juli 2016
Hari
mulai gelap ketika Kereta Api Rangkas Jaya memasuki Stasiun Rangkasbitung. Aku
turun dari kereta membawa tas rangsel besarnya.
Beberapa
tukang ojek menghampiri dan menawarkan jasa. Aku hanya menggelengkan kepala sambil
tersenyum. Ia memilih berjalan daripada naik ojek atau angkot yang banyak
melintas di jalan stasiun itu.
Aku
melangkah melewati deretan pedagang pakaian. Beberapa penunggu toko yang
dilewatinya menyapa menawarkan dagangannya.
“Baju
pak….baju,”
Aku
terus berlajalan menuju kearah barat stasiun. Dari ujung deretan toko, ia
menyebrangi pintu perlintasan kereta api. Ia berjalan menuju Gang KIbun. Di depan
Hotel Wijaya aroma buah durian menyengat hidung. Jalan ini memang tempat
mangkalnya pedagang durian.
Panjang
jalan Gang KIbun sekitar 500 Meter.
Hampir semua trotoar ditempati oleh pedagang durian. Nampak beberapa
orang sedang menawar.
Kupilih
masuk Hotel Wijaya. Hanya dalam beberapa
menit ia sudah sudah berada di dalam kamar Hotel yang ada di jantung kota
Rangkasbitung itu.
Setelah
mandi, ia kemudian keluar dari Hotel. Kembali tercium aroma durian yang
menyengat.
Aku
terus berjalan kaki ke ujung jalan. Multatuli. Jalan ini adalah jalan
protokolnya Rangkasbitung. Terang benderang dan lebar.
Langkah
kaki terus melaju. Sepertinya ada kehausan ingin melihat pemandangan di kota
itu. Kota yang sudah ditinggalkannya selama 16 tahun.
Kota
itu sudah banyak berubah. Beberapa bangunan sudah berubah bentuknya. Di depan
rumah sakit Misi matanya menelanjangi beberapa bangunan tua. Beberapa bangunan
bekas perumahan tentara.
Rumah
sakit Misi pun sekarang sudah nampak berubah. Di samping nampak bangunan
bertingkat sedang dalam proses pengerjaan. Melihat bentuknya sepertinya itu
perluasan dari bangunan rumah sakit yang sudah ada.
Di
depan SMP 1 Aku menyebrang jalan. Ia
teringat dulu pernah datang ke sekolah itu dalam sebuah acara. Saat itu Aku
masih sekolah SMP. Dia datang untuk mengambil beasiswa dari Yayasan Saija
Adinda. Sebuah yayasan yang banyak membantu siswa berprestasi.
Ada
yang nampak berbeda di mataku. Dulu jalan itu tak selebar dan seindah sekarang.
Dulu bersama teman-temannya sering jalan kaki ke alun-alun untuk menonton layar
tancep.
Tak
terasa kakinya tiba-tiba di alun-alun Rangkasbitung. Sebuah tulisan besar
“Rangkasbitung” dipasang tepat di bagian depan alun-alun. Terlihat beberapa
orang anak-anak muda berpoto ria di sini.
Suasana
alun-alun mala mini begitu ramai. Ratusan orang sedang bersantai bersama
pasangan atau keluarganya. Anak-anak kecil yang naik motor mini. Para pemuda
yang main basket. Dan pedagang mainan yang ikut meramaikan alun-alun malam itu.
Dari
trotoar alun-alun Aku melihat ke sebrang. Dikiriku, bangunan rumah sakit
Ajidarmo nampak mulai usang. Mungkin karena merupakan bangunan lama yang
dilindungi dan tak bisa dibangun dengan sesuka hati, bentuk bangunan itu tak
banyak berubah.
Berbeda
dengan bangunan rumah sakit yang disebelah barat. Bangunan bertingkat itu masih
nampak baru. Aku baru pertama kali
melihatnya.
Dulu
ketika sering mengantar ayahnya berobat karena TBC yang menggerogotinya,
bangunan itu belum ada.
Dari
sebrang kanan tempat Aku berdiri, tepat disamping tembok LP, ada auning yang
terpasang. Rupanya itu disiapkan untuk pegang kakilima. Pujasera. Disini
kebanyakan didominasi oleh anak-anak muda yang nongkrong melihat lalu-lalang
pengguna jalan.
Aku
melangkah menuju sebuah mesjid besar. Mesjid Mesjid Agung Al-Araf, Rangkasbitung,
demikian tulisan besar yang terbaca olehnya. Inilah mesjid kebanggaan warga
Rangkasbitung katanya.
Aku
pun memasuki masjid itu. Ada puluhan orang di dalam masjid yang sedang menunggu
kumandang sholat Isyak. Melangkah mencari tempat berwudhu.
Tak
berapa lama azan berkumandang. Panggilan cinta dari Allah. Begitu sejuk, begitu
merdu. Aku meneteskan air mata. Setelah bertahun-tahun tak pulang ke kota
tercinta.
Laa
ilaaha illallah ! Tiada Tuhan selain Allah. Hati terasa damai. Suara imam pun
terasa sangat menyentuh kalbu. Ia merasa shalatnya kali ini sangat berbeda.
Shalat yang bercampur kesedihan, kegembiraan dan keharuan.
Setelah
shalat berjamaah beberapa orang keluar dari masjid. Namun ada juga yang masih
bertahan. Ada yang tetap duduk berzikir. Begitu juga Aku yang memilih untuk
tetap duduk berzikir.
Terbayang
perjalanan hidup yang dialami. Sesak penyesalan terasa didadanya.
“Berilah
terang jalan hamba yaa Rob….”
Setelah
puas berzikir, Aku bangkit dari duduknya lalu
melangkah ke teras mesjid yang menghadap persis ke alun-alun.
Udara
dingin membuatku menggigil. Angin diteras masjid lumayan kencang. Seorang pria
yang tadi juga ikut sholat berjamaah menghampirku..
“Maaf,
adik darimana ? Sepertinya bukan orang sini?
“Alhamdulillah,
saya orang sini asli pak,”
“Oh…maaf.
Dimana rumah mu dik ?
“Di
Cibadak pak. Tapi saya sudah lama tinggal di Jakarta,”
Mereka
terus bercakap seperti sudah lama kenal. Aku langsung akrab dengan pria bernama
Ali itu.
Ali
bercerita bahwa banyak yang berubah tentang wajah Rangkasbitung. Mulai pabrik
minyak yang sudah bangkrut, bioskop Appolo dan Mandala yang hanya tinggal cerita.
Mereka
juga berbincang tentang suku Baduy.
“Suku
Baduy masih patuh melakukakan seba Baduy kesini setiap tahunnya. Mereka masih
kuat memegang teguh tradisi.” Kata Ali.
Setelah
berpamitan, Aku naik ojek kembali ke Hotel Wijaya. Aku perlu tidur.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Tigabelas
Rangkasbitung, 17 Juli
Pagi, Jam 09.10 WIB
Pagi-pagi sekali ku sudah terjaga dari tidur. Perjalanan
yang melelahkan membuatku nyenyak. Rumahku sebenarnya tak jauh dari tempatnya menginap.
Cukup
10 menit naik ojek untuk sampai ke kampungnya. Namun lelah malam itu membuatnya
memilih tidur setelah sebentar berjalan-jalan di alun-alun.
Tak
lama setelah memanggil tukang ojek yang mangkal di depan hotel, sepeda motor
pun melaju. Melaju menuju kampung halaman yang sudah 16 tahun kutinggalkan.
Sesampainya
didepan rumah. Berkali-kali kuketuk pintu dan memanggil-manggil Ibu. Pintu
terkuat, wajah Ibu menyebul keluar. Wajah yang begitu dirindukan. Wajahku.
Wajah yang orang yang selalu disebut dalam do’anya.
Kupeluk
Ibu yang wajahnya terlihat terkejut. Sepertinya ia tak menyangka anak yang 16
tahun hilang itu akan kembali.
Tangisan
Ibu pun meledak.
“Maafkan
Yudha ya bu…baru sekarang pulang”
“Iya
nak, pasti Ibu ma’afkan. Ayo masuk… Nuhun gusti anak abdi balik deui….”
Kedua
orang ini terus mengobrol melepas kerinduan.
***
Cintaku Tertinggal Di Rangkasbitung
Bagian Empatbelas
Rangkasbitung, 17 Juli 2016
Siang, Jam 11.30 WIB.
Aku
menangis dihadapan seonggok batu nisan. Bulir-bulir air mata menetes dipipi. Tangisku
tak tertahan. Raungan keras tangisku meledak
seketika. Tangisan histeris sambil memeluk batu nisan bertuliskan Mirna binti
Yayan.
Mang
Amat yang biasa menjadi kuncen di TPU itu memegang pundakku.
“Sabar
jang, sabar. Doakan saja biar Mirna tenang dalam kuburnya.”
Aku
masih tak berhenti dari tangis.. Mang Amat sepertinya mengerti kesedihan yang
kurasakan.. Dia pun melangkah menjauhku. Ia hanya mengawasi sambil menikmat
rokok kreteknya.
Tak
berapa lama Aku bangkit. kuhampiri Mang
Amat.
“Kamana
wae maneh teh Yud?”
“Gawe
mang di Jakarta,”
“Lila
pisan ey tara manggih maneh. Maneh mah tara balik mun lebaran nyah?”
“Hehehe…muhun
tara mang..”
“Dasar
ah…maneh teh…kudu karunya atuh ka Ibu maneh…”
“Muhun
mang”
Kami
kemudian berjalan kaki beriringan.
“Kasihan
itu si Mirna. Meninggalnya masih dalam usia muda”
“Muhun
mang. Saya juga baru denger barusan dari Ibu kalo Mirna sudah gak ada. Sakit
apa gitu mang?” Tanyaku penasaran.
“Kata
orang-orang sih kena TBC”
“Terus
anak-anaknya Mirna dimana sekarang mang?”
“Anak-anak
yang mana?
“Kan
Mirna dulu mau menikah dengan Tata mang?
“Tata
mana?
Malah
orangtua ini nampak seperti bingung.
“Trus
Mirna nikahnya dengan siapa mang?” Cecarku.
“Atuh
Mirna mah waktu meninggal juga masih belum pernah menikah. Kan pacarannya cuma
sama kamu, lalu dia kamu tinggal,” Kata orangtua itu sambil terus melangkah.
Aku
kebingungan dengan yang dikatakan mang Amat.
“Yang
saya tahu Mirna waktu itu sudah dilamar oleh Tata. Orangtuanya sudah setuju. Mirna
sendiri yang ngomong ke saya mang…”
Mang
Amat menghentikan langkahnya sejenak. Kemudian dia kembali melangkah.
“Oh..itu.
Setelah dilamar si Tata. Mirna malah hilang. Kemana-mana dicari gak ketemu.
Abah Yayan kena denda sama keluarga si Tata. Mesti mengembalikan uang dua kali
lipat. Lima bulan kemudian Mirna baru balik lagi kerumah. Katanya sih kerja di
Tangerang,”
Tak
sadar ku pegangi tangan mang Amat.
“Jadi
Mirna belum pernah nikah mang?
“Enya
belum atuh !!!!. Pernah beberapa kali ayahnya mau menjodohkan Mirna. Tapi Mirna
gak mau. Dia malah mengancam mau kabur lagi kalau dipaksa menikah. ..”
Air
mataku kembali deras mengalir. Matanya berkunang-kunang. Jiwanya terguncang.
Setelah 16 tahun ternyata baru kutau. Orang kucintai masih memegang teguh
cintanya. Masih berjuang untuk menjaga kesetiaannya.
“Udah
Yud jangan menangis. Semua sudah menjalani nasibnya. Ayo kita ke masjid. Sholat
Ashar sama-sama.
Aku
dan mang Amat kemudian melangkah menuju masjid.
Dalam
sujud berulang kali memohon ampun kepada Allah. Betapa Aku telah berbuat dosa
kepada almarhum Mirna. Yang sampai akhir hayatnya masih berharap bisa menjadi
istriku.
Selamat
Jalan Mirna…
Aku,
Yudha Hari Subhan akan selalu mengenangmu…….
TAMAT
komentari ya, bagus apa jelek,...hehehe...salam...
BalasHapusLuar biasa
BalasHapusMntap
BalasHapus